11.21.2009

November 21st

Happy birthday, my dear brother.
The one that I barely remember.
The face that I can't memorize well.

Still,
I cry and cry everytime I come to your cemetary.

Still,
I ask Mom to say happy birthday to you.
Every year, exactly at this date.

Because,
You are the only sibling I have.
Ever.

Happy 25th Anniversary!
Mexron Ronny Herbert Sihombing

10.19.2009

The Sense of Being a Human

We sometimes forget about the sense of being a human.

I am writing this while watching information about the funeral of Azhari's mother. Rahma was interviewed about what kind of person her mother was. On the cemetery, Rahma walked surrounding by lots of microphones and cameras.

I may say that the Azharis love media attention. But, did the journalists need to question her in mourning?

Few days ago, I watched a talk show re-run by TVone in the midnight. They talked about the death of Saefudin Jaelani and M. Syahrir. What bothered me most was this particular clip in which TVone's reporter interviewed SJ's sister. (Or was it MS'? I can't remember well.)

What did the faceless reporter ask her? I don't know the exact questions, but based on her answers, the question was likely about how and why SJ (or MS) could involve in terrorism and who persuaded who.

I may understand the importance of this issue in our country. But, could the respective television company remember the sense of being a human? That lady just lost her brother! Her family will be called as the family of a terrorist, and yet her face wasn't blurred at all!

I understand what professionalism should be. But, did that sister have a vital role in solving terrorism issue in our country? If she had, she wouldn't agree to be interviewed by a mass media.

This controversy was once a huge topic back in my college time. Do you still remember the Lion Air's accident in Solo? ANTV had the so-called exclusive footage of that accident since one of their cameramen was involved in it. The cameraman recorded the moment when the flight attendants helped the passengers to get out of the crashed plane.

So, the cameraman preferred holding camera rather than helping the victims? The cameraman could walk around, obviously.

I ask myself a lot regarding this issue. What should I do if I am involved in the similar circumstances?
________________________________

Ps.
Another inspiration of this writing is the upcoming Japanese documentary drama about Tomohiko Mitsuyama, a real newsperson who involved in Hanshin-Awaji earthquake disaster in 1995. Mitsuyama was conflicted about pointing the camera at disaster victims and to struggle and worry about his work.

10.07.2009

The Infotainment-esque Facebook

Ironis.

Saya melihat facebook page seorang teman yang sedang berada di Padang saat gempa itu terjadi. Saya tersentuh dengan wall posts penuh perhatian yang mereka berikan kepada teman itu, namun kemudian the nocturnal-mona mengambil alih sisi melankolis itu.

Karena, hal pertama yang akan dilakukan oleh seseorang setelah gempa terjadi adalah menyalakan komputer, laptop, atau blackberry-nya, lalu log in ke facebooknya.

Oke. Memang bukan seperti itu.

Ada juga sih, sisi baiknya. Bila kemudian si teman itu merespon dalam beberapa hari kemudian, itu adalah tanda positif kalau dia ternyata selamat dari gempa itu. Horay!

Wall dan status di facebook jadi tempat curhat sudah jadi umum. Thanks to hide/remove option di setiap feed yang masuk ke homepage saya, tetapi ini tidak menghalangi saya untuk berpikir kalau Facebook sudah menjadi infotainment-esque. Paling tidak, infotainment versi Indonesia.

Sekilas infotainment Indonesia.

Infotainment adalah mutasi dari genre berita dunia hiburan Indonesia, karena genre ini tidak lagi berfokus pada kata berita, melainkan pada kata informasi. Itulah etimologinya, yakni informasi dan entertainment. Tetapi kemudian, ketika kapitalisme telah menunjukkan kuasanya di genre itu, infotainment kemudian mencoba mengkomodifikasi idealisme jurnalisme dengan menggunakan kata "jurnalisme infotainment", "infotainment investigasi", atau "wartawan infotainment". Dalam ranah jurnalisme ideal, "jurnalisme infotainment" sama artinya dengan "sampah", "infotainment investigasi" sama dengan "gosip, paparazzi, opini, dan berbagai hal tanpa basis fakta", sementara "wartawan infotainment" adalah "pekerja media", ameliorasi dari "gosiper".

Jurnalisme itu adalah ruang publik. Media massa adalah yang menyalurkan content ruang publik ke ruang pribadi. Itulah salah satu alasan utama kenapa infotainment tidak akan pernah terkategorikan di ranah itu, karena karakter infotainment Indonesia adalah ruang pribadi memasuki ruang publik. Mengapa sakaratul maut Sukma Ayu harus disiarkan di televisi? Kenapa saya harus tahu apa isi kamar atau tas si orang itu? Mengapa mereka menggunakan media televisi untuk menyampaikan kekecewaan atau ancaman ke mantan istri atau suaminya? Intinya, mengapa content ini ada di televisi saya?

Anda bisa bilang, "Mon, kalau ga suka, pilih aja channel lain, atau matiin tv lu!"

Saya jawab, "Saya hidupin tv karena saya butuh hiburan. Tapi saya tidak punya pilihan karena memang, tidak banyak pilihan yang tersedia." Singkirkan User and Gratification Theory! Salahkan rating AC Nielsen yang memicu homogenitas acara di satu slot waktu tayang!

Lalu, bagaimana the infotainment-esque facebook ini?

Facebook punya feeds. Inilah yang kemudian membuat facebook menjadi ruang publik, bukan sekadar jejaring sosial. Itulah mengapa kadang saya mengernyitkan kening saat melihat status atau wallpost yang di-feed ke saya. Demikian juga dengan sekian banyak kuis yang tidak jelas itu. Bagi saya, pengguna facebook yang bijak adalah yang bisa mengerti bahwa apa pun yang dilakukannya di facebook akan menginvasi home orang lain. Anggaplah seperti Anda buang air besar di dalam rumah Anda, tapi ada saluran bernama facebook yang menyalurkan tinja itu ke rumah tetangga-tetangga Anda, bahkan mungkin ke rumah orang yang Anda add hanya untuk sekadar menambah jumlah teman di facebook Anda.

Untuk ironi teman saya yang mengalami gempa itu, begini teori saya.

Anda pernah menonton infotainment di mana salah satu so-called selebriti menyampaikan ucapan belasungkawa atau selamat kepada rekannya sesama so-called selebriti? Bagaimana nocturnal-mona menanggapinya? Yeah, right! Hanya supaya Anda bisa dilihat sebagai orang yang perhatian kepada rekan Anda.

Mungkin saya salah bersikap sekeras dan senegatif itu. Saya mengerti, ketika kartu pos, telegram, dan kartu ucapan hari raya kemudian digantikan oleh SMS. Saya mengerti, mengapa facebook begitu populer. Tetapi, dalam kasus ini, saya melihatnya sebagai sebuah ironi.

Bila Anda perhatian, maka Anda akan segera menghubungi via telepon, bukan via wallpost facebook, karena Anda pasti bisa membayangkan kondisi rekan Anda itu.

Ironis, karena konsep "perhatian" pun sudah bermutasi secara virtual.

9.24.2009

Anak Kecil Boleh Beli Rokok, Kalau ....

Malam Lebaran hari kedua di Indomart Margonda, dekat Gang Kober.

Penjaga Indomart: "Beli apa, Dek?"
Anak kecil di depan saya: "Djisamsoe satu."
Saya: "Rokoknya buat siapa, Dek?"
Anak kecil itu: "Bapak saya."

Tiba giliran saya.

Saya: "Mba, bukannya anak kecil gak boleh beli rokok ya, Mba?"
Si Penjaga: "Gak juga, Mba. Kalo kita tahu rokok itu buat siapa, ya kita kasih aja."
Saya: "HEH??"


Dalam perjalanan pulang ke kos.

Saya:
"Itu karena dia dengar gw nanya si anak itu, makanya dia bisa kasih alasan itu. Lagian sejak kapan ada alasan kya gitu? Apa gunanya etalase rokok selalu dibikin di belakang kasir? Atau posisinya dibikin lebih tinggi daripada lolipop yang suka ada di dekat kasir? Itu biar anak kecil ga bisa ngambil rokok. Sejak kapan ada excuse kya gitu? Lagian, itu malah bikin orang dewasa bisa seenaknya nyuruh anak kecil beli rokok. Bener-bener minta diprotes!"


Teman saya tersenyum simpul.

9.05.2009

Ads: PC vs Mac

I am a PC. I know how some people keep comparing PC to Mac or vice versa. I myself never and will never be involved in any. Simply because I use PC from the first time, never try using Mac, and don't think willingly enough to get out of my comfort zone.

I am a youtube stalker and an advertisement's lover. Seriously! Watching and criticizing advertisements are ways more interesting than the TV show itself. And that brings me to these advertisements, linking through some recommended videos in my youtube account. These ads are just ... smart and funny! It is not because Justin Long is smart and funny (Oh, how I love this guy so much!), but because the scripts were.

I embed my most favorite Mac's ad.



And the second most favorite.




The above are the answers to this PC's ad.




Ad war is not a new thing. The most famous one, I think, is Coca Cola versus Pepsi. I loved Coca Cola's jingle, but my most favorit ad was this one. By the way, I am a Greensand.



Someday, I'll come back to post about ethics in advertisement, if they remain exist.

And, "If I don't come back, I want you to have my peripherals." (by PC). ^_~

8.31.2009

Bercerita tentang Sidikalang

Bila ingin ke Sidikalang, Anda harus menempuh perjalanan 4 jam berkendaraan dari Medan. Tanpa macet. Sebagian perjalanan Anda harus dilalui di sisi pegunungan. Sesekali, di sebelah kiri Anda adalah jurang. Maklum, Anda sedang menuju daerah dataran tinggi.

Belum lagi jalanan yang selalu rusak. Bila pun sudah diaspal, akan rusak lagi dalam beberapa waktu. Beban si aspal memang berat, entah bis besar, truk biasa, atau pun truk logging, berbagi dengan angkutan antar kota atau pun kendaraan pribadi. Maklum, itu jalan tercepat lintas Medan - Sidikalang. Ada juga sih, jalanan lain, yakni melewati Parapat ke Balige ke Siborong-borong, tapi ya .... bakal makan waktu hingga 9 jam, kalau tidak salah.

Apa sih yang bisa dilihat di Sidikalang? Rasanya tidak ada. Pantai Danau Toba? Letaknya bukan lagi di Sidikalang, melainkan di Silalahi. Perlu berkendaraan sekitar 45 menit untuk kemudian bisa sampai ke sana. Wisata pegunungan? Anda bisa mendaki ke Pusuk Buhit, tapi yah, lagi-lagi bukan di Sidikalang.

Sidikalang itu hanyalah sebuah ibukota kabupaten. Anda tidak akan menemukan bank lain selain BRI dan BPDSU di sana. Itupun tidak semua kantornya sudah online. Anda juga tidak akan menemukan bioskop karena ketiga bioskop yang dulunya aktif telah berubah fungsi. Bekas gedung Bioskop Sarma kini menjadi tempat Kebaktian Kebangunan Rohani Kristen, bekas gedung Bioskop Bako Raya kini jadi showroom kendaraan, sementara bekas gedung Bioskop Togar (tempat Ayah dan Ibu saya berkenalan), kini menjadi terminal angkutan Sidikalang - Medan.

Apalagi ya? Oh iya, Anda juga tidak akan menemukan restoran fastfood, tetapi Anda akan mudah untuk mendapatkan restoran Chinese, itupun dengan menu yang berkisar di bakmi saja. Ah, tapi jarang sekali restoran Chinese halal di sana. Jadi, teman-teman yang Muslim harus benar-benar memperhatikan merk usahanya, ya! Harus yang ada ada tulisan "Masakan Islam" atau "Halal", ya!

Juga, tidak ada toko buku besar. Toko buku yang ada di sana hanya menjual buku pelajaran. Jadi, sumber bacaan fiksi saya dulu adalah perpustakaan sekolah, taman bacaan (persewaan komik), atau teman yang kakaknya bersekolah di Medan. Serius, dulu saya sering sirik sama teman-teman yang Kakaknya kerap membawakan komik atau buku Enid Blyton dari Medan. Bagusnya, si Mama tetap membuat saya berlangganan majalah Bobo hingga kelas enam SD, sebelum diberhentikan oleh si Mama karena saya minta alih ke majalah Aneka. Majalah Bobo berhenti, tapi saya juga tidak berlangganan Aneka.

Ah, bila menuju Sidikalang, saya selalu melakukan hal ini. Membeli tiket angkutan umum ke Sidikalang model L300, mengambil duduk paling depan, dekat jendela. Begitu supir menjalankan mobil itu, saya kemudian menidurkan diri. Saya tahu, saya jadi melewatkan pemandangan sungai Sembahe begitu kendaraan itu keluar dari Medan. Saya jadi melewatkan deretan buah rambutan yang merah menggoda hasil daerah Binjai yang ada di pinggiran jalan Lubuk Pakam.

Saya tidak bernostalgia dengan daerah Bukit Kasih Sibolangit, tempat saya pernah menjalani retret tiga hari dua malam ketika SMP dulu. Retret itu berkesan bukan karena retretnya, tetapi karena retretnya berlangsung hanya beberapa bulan setelah pesawat Garuda jatuh di Sibolangit pada 26 September 1997. Ada ketakutan dan kekhawatiran yang tidak terjelaskan ketika itu. Bahkan ada efek psikologis buat saya karena saya merasa selalu mencium aroma bangkai selama retret itu. Fiuh! Semoga arwah para korban tenang di alam sana.

Tidur di mobil pun membuat saya mengorbankan pemandangan indah kota Berastagi karena Berastagi itu kota bunga dan buah. Jadi, bila Anda niat berwisata ke SumUt, jangan sekali-sekali melewatkan Berastagi! Dan Danau Toba serta Pulau Samosir, pastinya!

Biasanya saya terbangun begitu berada di Tanjung Beringin. Setelah desa Tanjung Beringin, kendaraan akan memasuki Sumbul. Secara spontan, saya biasanya akan mencari rumah no. 370. Itu adalah rumah seseorang yang dulu adalah sahabat pena saya dari SD hingga SMP, berkenalan di acara radio yang saya pegang dulu, kerap bertemu di kompetisi akademik antar kecamatan, ternyata kami masuk SMA yang sama dan sekamar di asrama pada cawu I kelas I SMA, dan kini menjadi teman sekos saya lagi. What a life! Saya jadi ingin tahu bagaimana reaksinya bila dia tahu saya selalu mencari no. 370 itu.

Keluar dari Sumbul, saya biasanya akan lebih emosional, karena sudah semakin dekat ke rumah. Saya harus melewati Simpang Tiga dulu. Jalan saya adalah yang ke kanan, tetapi yang ke kiri itu pun punya memori buat saya. Bila saya belok ke kiri, saya akan melewati makam Kakek dari pihak Ibu dalam waktu lima belas menit, melewati makam Kakek, Nenek, dan Namboru dari pihak Ayah dalam waktu tiga jam, dan sampai di asrama SMA saya dalam waktu 4 jam.

Melewati Simpang Tiga, saya akan selalu melihat ke kiri. Itu adalah desa Panji, tempat tinggal adik-adik saya yang beda Ibu. Mungkin saya berharap untuk melihat mereka berada di luar rumah mereka, walau saya tahu kemungkinan itu sangat kecil sekali.

Memasuki pusat kota kecil, melewati ini-itu, mengingat ini-itu, saya pun sampai di rumah, setelah melewati rumah saudara-saudara dari pihak Ayah. Biasanya, kendaraan umum akan menuju rumah saya dari ujung kiri jalan rumah saya supaya langsung ke terminal yang ada di ujung kanan sana. Kalau biasanya masuk dari ujung kanan, lebih banyak lagi yang bisa saya ceritakan. Bisa jadi kami melewati SD dan SMP saya, atau rumah Nenek dan saudara dari pihak Ibu, makam Adik saya satu-satunya, atau terminal yang menjadi tempat Ayah saya sehari-hari menjadi ketuanya. Mungkin saya akan lebih sentimen, karena di terminal itu pulalah Ayah saya menghembuskan napas terakhirnya.

Begitu mobil berhenti di depan rumah, pintu rumah no. 42 akan terbuka dan si Mama keluar menyambut saya. Hanya sekali kepulangan yang saya tidak mendapat sambutan itu, karena waktu itu saya memang tidak memberitahukan niat saya untuk pulang.

Karena semua orang saling kenal di kota Sidikalang itu, maka saya tidak pernah langsung masuk ke rumah. Saya menyapa para tetangga dulu. Kalau nanti saya pulang, saya tahu pertanyaan apa yang harus saya jawab, "Kapan kawin, Mon?" Fiuh!

Sidikalang memang tidak punya apa-apa selain durian, kopi, dan kemiri berlimpah. Tidak ada tempat wisata yang saya banggakan selain Taman Wisata Iman yang di dalamnya Anda akan menemukan miniatur rumah ibadah lima agama besar Indonesia, lengkap dengan pemukanya sehingga Anda bisa bertanya dan beribadah di sana. Ah, kecuali Pura, karena satu-satunya keluarga beragama Hindu yang dulu ada di Sidikalang kini sudah pindah. Ketika mereka pindah, saya pun kehilangan rekan menari tradisional dan kompetitor untuk memperebutkan juara tingkat kelas.

Satu-satunya alasan kenapa saya selalu ingin kembali ke Sidikalang adalah karena hati saya ada di sana.

8.21.2009

Folklor Menyikapi "Indonesia vs Malaysia"

Lagu "Rasa Sayange", batik, reog, dan sekarang Tari Pendet.

Saya tidak tahu pasti, apakah klaim ini milik siapa akan berhubungan dengan registrasi hak cipta nantinya. Walaupun saya memperkirakan kalau itu tidak menjadi hal besar karena registrasi hak cipta kategori seni haruslah mencantumkan siapa nama penciptanya. Apakah kita pernah tahu siapa pencipta karya-karya itu?

Tetapi, kali ini kita berhubungan dengan kepemilikan, bukan siapa penciptanya. Dalam kasus ini, dari sudut pandang kita sebagai orang Indonesia, pihak Malaysia-lah yang menjadi "pencuri".

Saya tidak akan membela Malaysia. Menyalahkan pemerintah Indonesia? Tulisan bernada seperti itu banyak beredar di internet. Tetapi, saya ingin melihat ini dari sudut pandang folklor. Mengapa? Karena saya pernah mengikuti kelas mata kuliah jurusan Antropologi itu ketika saya berkuliah dulu. Dan itulah yang membuat saya cenderung adem-ayem menghadapi berita-berita media massa mengenai topik ini.

Dalam studi folklor, lumrah bila beberapa daerah memiliki tarian, musik, lagu, legenda, mitos, lelucon, peribahasa, dll. yang mirip satu sama lain. Bahkan, kesamaan nama juga adalah bagian dari folklor! Tetapi setiap daerah akan menambahkan unsur-unsur baru ke dalam budaya folklor itu, tetapi tetap saja akan ada kemiripan dengan yang ada di daerah lain.

Manusia itu selalu berpindah tempat. Bersamanya, mereka membawa pengetahuan yang telah dipelajari di tempat sebelumnya kemudian menyebarkannya secara oral di tempat yang baru. Pengetahuan yang terkategorikan sebagai folklor adalah yang bersifat anonim alias kita tidak tahu siapa pencipta awalnya.

Di kemudian hari, akan ada proses pencatatan ulang folklor. Buku tarian, legenda, mitos, cerita rakyat, dll. itu tidak membuatnya kehilangan makna ke-folklor-annya karena penulisnya hanya berfungsi sebagai "pengumpul", bukan "pencipta". Pun, pengumpul tidak bisa mengklaim kalau itu adalah karya ciptanya.

Menyikapi "Indonesia vs Malaysia" ini, kita tidak mungkin meniadakan kemungkinan perpindahan tempat manusia-manusia sebelum kita. Jangan-jangan, Indonesia juga bukan tempat lahir folklor itu? Tak ada kepastian, kan?

Kita bisa bilang kalau punya mereka mirip dengan punya kita. Tapi apakah itu artinya mereka meniru? Tidak, karena dalam studi folklor, tidak ada kata meniru. Semuanya adalah pengetahuan bersama yang kemudian mengalami modifikasi di setiap daerah yang disinggahi oleh pengetahuan itu.

Ah, sebuah opini yang utopis.

________________________________


Fun fact:
Sumatra Utara punya cerita rakyat bernama "Simardan" dan ini mirip dengan kisah "Malin Kundang" yang berasal dari Sumatra Barat. Tidak percaya? Baca tentang Simardan di sini dan tentang Malin Kundang di sini, walaupun Anda pasti sudah familiar dengan kisah kedua itu. Nah, sebuah contoh folklor yang nyata, kan?

7.03.2009

In the End

I have to admit that I am in the end of my Jason Mraz phase. I never saw this coming, until the day everyone knows about "I'm Yours".

Call me shallow, because my fandom is just that shallow ... and greedy. In my world where I am the center of it, I want me to be the only one liking a particular singer. There is an absurd sense of "being different" in that way.

This is not my first time stop liking a singer/musician.

Back in my senior time, in my dormitory, I used to be the one Linkin Park's fan. I loved it when people asked me whose song I played. Performing "In the End' in the talent show and being the rapper myself were the peak level of me as the LP's fan. Thanks to my friends, my all-girls band won at the moment. We were not the best performer indeed, but we performed something new back then.

When I was in my preparation school in Jakarta and then went to college in Depok, I met a lot of LP's fans. And they were all female. I became a part of mainstream there. There my fandom waned, till the phase I didn't even memorize any lyrics from Meteora and the songs after. I lose my enthusiasm toward them because most of the people who were revolving "my world" knew about LP.

And the history repeated itself.

I remember paste-ing all Jason Mraz's songs to my friends' computers in Bandung in the early 2006. I remember talking how good was his lyrics. I even once had one blog dedicated for him.

I think this waning begun in the concert. How ridiculous it is for me, since the concert is also my peak level as his fan. But, there I realized that "the sense of elitism" has gone. Nowadays, I don't even have any Mraz's song in my playlist, am eager less about his new songs, never visit his website anymore.

Yes, this is absurd. But that's how my world revolves.

Now, my fandom moves to Asian, particularly Japanese and Korean singers/groups. I can state here that I don't have any English songs in my playlist for months already. I need to break from those American mainstream songs. If Alia chose to listen to the English indie, I chose to move to other languages.

It can be considered suitable with my selfish way since I am barely able to find friends who have the same interest with me in this East Asian thing.

Now, what if I lose my fandom toward East Asian music industry? I bet those days will come someday.

Because they always do.

6.01.2009

Arrivederci, Signor! Arrivederci, Vecchia Abitudine!

Pertandingan AC Milan - Fiorentina kemarin itu adalah momen saya dan penggemar sepakbola untuk mengucapkan "Arrivederci!" kepada Paolo Maldini, kapten AC Milan. Dengan sendirinya, saya pun harus mengucapkan "Arrivederci!" pada vecchia abitudine (kebiasaan lama) saya.

Ah, rasanya bakal sulit untuk tidak mencari-cari nama Maldini di daftar skuad AC Milan yang selalu ditampilkan sebelum pertandingan mulai. Dari dulu, ada dua nama yang selalu saya cari: Inzaghi (karena saya mengidolakannya) dan Maldini (karena saya ingin merasa tenang saat menonton pertandingan itu).

Rasanya juga bakal sulit untuk melihat bukan lengan Maldini yang memiliki lambang kapten itu. Bukan Maldini pula yang akan mengangkat tropi kemenangan, yang saya yakin akan tetap datang ke San Siro. Sulit untuk tidak lagi menyebut nama Maldini saya saat membahas tentang pertandingan AC Milan selanjutnya.

Dan, di atas semua vecchia abitudine itu, yang paling sulit adalah berhenti berharap kalau Maldini akan mendapat Ballon d'Or. Memiliki kualitas, karir, dan kesetiaan yang sangat terhormat seperti itu ternyata belum cukup, Signor! Tapi sudahlah, bukan gelar itu yang menentukan kualitas seseorang. Lihat apa yang terjadi antara Lionel Messi dan Christiano Ronaldo di final Champions League 2009 lalu, kan? Ah, paling tidak, Messi sudah mengurangi sedikit bagasi dan biaya keamanan tim Manchester United saat datang ke Indonesia dalam waktu dekat ini. Kan, kalau seandainya MU yang menang, tentu mereka tidak melewatkan kesempatan pamer tropi di sini. Dalam krisis global seperti ini, efisiensi sesedikit apapun harus disyukuri. :D

Sekarang, saya dan awak pun sepatutnya terima kasih Maldini lah, kerana tak terkira sudah pasal yang dia kontribusi! Standing ovation! (Sambil berpikir untuk menulis tentang Manohara. ^__^ )


David Beckham
Saya juga harus menyebut Beckham dalam tulisan ini. Bukan "Arrivederci, Signor!" karena saya masih ingin melihatnya di San Siro, segera setelah kontraknya dengan LA Galaxy dibereskan, tetapi untuk vecchia abitude saya kala beropini tentang dia.

Dulu, saya (yang hanya penonton ini) selalu meremehkan prestasi sepakbolanya. Hey, jangan salahkan saya! Salahkan wajah ganteng dan istri terkenalnya yang membuatnya lebih bersinar sebagai selebritis daripada sebagai pemain sepakbola! Dulu, Beckham adalah alasan kenapa saya tidak memilih untuk mengidolai Manchester United. (Sekarang, alasan itu bernama Christiano Ronaldo.) Kemudian dia pindah ke klub yang paling tidak saya sukai di dunia ini. (Yeah! Real Madrid is just too over-rated, Signor! Bahkan Michael Owen dan Fabio Cannavaro pun bisa keluar dari daftar favorit saya segera setelah mereka memutuskan pindah ke klub pemangsa bakat itu!)

Oke, saya harus mengakui ini. Hanya pada Liverpool FC-lah saya bisa mengidolainya sebagai satu kesatuan, karena dalam hidup saya, Liverpool adalah Liverpool. It's an "IT", not a "THEY". Selain Liverpool, saya cenderung menilai berdasarkan individunya, entah pemilik (Chelsea, everyone?), pelatih, pemainnya, atau mungkin salah seorang penggemarnya yang membuat saya jadi hilang selera pada klub yang diidolainya. Karena pikiran dangkal inilah, saya bisa berhenti mengidolai Juventus. Loh, kan sudah tidak ada Inzaghi di sana. :D

Kembali ke Beckham. Sekarang, dia ada di top 5 pemain yang saya hormati dalam list non-Liverpool saya. Hormati, bukan idolai, karena toh tidak ada Inzaghi di list itu. Wah ... jangan-jangan Anda berpikir, saya bisa menerima kebiasaan diving Inzaghi? Fufufuu ... Anda salah, Signor! :P

Karena, hanya Beckham yang bisa sukses di Manchester United, menunjukkan kesetiaannya di Real Madrid, mengubah stereotip "pindah dari klub besar Eropa ke klub non-Eropa adalah degradasi karir", sekaligus membuktikan kemampuannya beradaptasi dengan sepakbola Italia dalam waktu singkat! Plus, kalau dipikir-pikir, selain gosip selingkuhnya itu, Beckham cukup mampu menjaga image-nya. Entahlah kalau aslinya bagaimana. Namanya juga penonton, saya hanya mampu menilai dari image yang ditampilkan di media massa.

I need to stop here for a second! Wuah ...! Saya tidak menyangka bisa beropini seobjektif seperti ini tentang Beckham! Kemana saya yang dulu anti-Beckham itu, ya?

So, "Ci vediamo dopo, Signor Beckham!" See you at San Siro!

Sekarang, saya harus bersiap-siap untuk dapat "Arrivederci!" dari teman-teman saya yang penggemar MU, segera setelah mereka membaca ini. :D



____________
  • Kredit foto: detik.com
  • Kredit bahasa Italia: translate.google.com (Jadi, kalau Anda mengerti bahasa Italia dan menemukan kesalahan di sini, jangan salahkan saya. Salahkan kredibilitas google! Kalau memang salah, apakah kita bisa mempertimbangkan "Bing"?

5.24.2009

Suicide

I've been following news from South Korea's entertainment industry, and pretty used to ones about public figures who committed suicide. I know, writing "pretty used to" sounds senseless, but that's the fact. No, they were not in a particular suicide sect! They all killed themselves due to each personal problem.

Hope they rest in peace. But, why on earth do they think death can solve their problems?

And just minutes ago I read about former South Korean President Roh Moo-hyun who committed suicide this morning, 6.30am (4.30 am Jakarta).

I wanted to say this to him, "Dear, late Mr. Roh. Did you think your death will stop the investigation of your bribery scandal?"

But, all I can say is, "Rest in peace!"

Now, let's cut the distance. I am bringing the Indonesian flavour!

First, why do I never hear anything about Soeharto's cases after he died? Is death powerful to set people's mind? Does his death make us forgetting all?

Ok, not "us".

Perhaps the more suitable question is, "Is Soeharto's death able to make Indonesia's law amnesia?"

Ah, I think Indonesia's law is being schizophrenic at the moment!

Second, how many movies or drama you've watched that ended up by the death of the antagonists?

Bunches. After all, I hate that kind of plot. Even if I rated the story 10 out of 10 in the beginning or the middle, after finding out it was wrapped by the antagonist's death, I would immediately give it 0 out of 10. I watch dramas or movies to make me feel good, not to be treated as a fool who can't find logic solutions for my problems.

Woo the scriptwriter! Woo the producer who let the drama/movie to even see the sunlight!

We are not Japanese whose seppuku is treated as a tradition. There is a philosophical thought beyond that action. Even the modern Japanese tries to change that mindset!

I am being emotional, but I really hope everyone can enjoy their life.

There were a lot of people who respect their live. Instead of live longer, they died in a Hercules accident. There were people who really wanted to spend their New Year with their beloved family, but ended up as the victims of Adam Air's accident in Majene.

Isn’t it sadly enough that, as for now, all the victims are only remembered statistically?


_________
Updated at 2009.06.19

I read this in japantimes.co.jp. About suicide stereotype on Japanese. And how media contributed to that. Click here.

5.11.2009

From Andromeda Shun to Meteor Garden


Saat saya buat "Andromeda Shun" jadi status saya di facebook, beberapa teman penggemar Saint Seiya meninggalkan komentarnya. Lepas dari celaan mereka pada Andromeda Shun - yang katanya tidak punya nyali, selalu minta bantuan kakaknya (Phoenix Ikki), dan tampangnya terlalu feminin - saya menikmati debat online itu. Hey, masa-masa marah saat idola saya dicela itu sudah lama berlalu! :D

Buat saya, debat itu menunjukkan ada kesamaan kisah, kesamaan pengalaman yang bisa kami bagi. Yah, tontonan masa kecil itu.

Saya ingat, saya dan teman-teman sekos saya membahas Sailor Moon dalam waktu yang cukup lama. Betapa setiap kami punya obsesi pada Chiba Mamoru a.k.a Tuksedo Bertopeng. Betapa kami pernah mengasosiasikan diri dengan sailor favorit kami (SAILOR MARS!). Bahkan, seorang teman pernah bercerita, kalau di setiap jam istirahat zaman SD dulu, dia selalu ke toilet bersama gank-nya dan melakukan ritual transformasi menjadi sailor. "Dengan kekuatan bulan, akan menghukummu!" Hahahaaa ....

Dan, kalau dilanjut, saya mungkin akan membahas tentang Power Rangers, Ksatria Baja Hitam, Kera Sakti, ... banyak!

Itu kenangan masa SD. Dari masa SMP, topik yang paling sering saya bicarakan dengan teman-teman adalah MTV. Ya ... itu ... MTV waktu masih bermutu itu! Ketika Sarah Sechan, Jamie Aditya, Mike Kasem, Nadya Hutagalung, dan Donita jadi VJ-nya. Ah, jadi pengen nonton video "Jamie Anak Nakal" lagi. :D

Maju ke segmen saya berikutnya, SMU. Saya akan sebutkan Meteor Garden yang happening di masa akhir SMU saya. Jadi, Meteor Garden akan mewakili masa SMU dan masa awal kuliah saya.

Meteor Garden tahun 2002 itu merupakan drama Taiwan yang diadaptasi komik Jepang, Hana Yori Dango. Drama itu berkisah tenang San Chai, mahasiswi miskin berurusan dengan empat pemuda kaya (Tao Ming Tse, Hua Che Lei, Xi Men, dan Mei Zuo) yang menamakan diri F4 (Flower Four). Bla, bla, bla ... Tao Ming Tse jatuh cinta pada San Chai, bla, bla, bla, lalu berakhir bahagia. See, it's a cinderella story!

Para kaum pria, silahkan menyebut saya dan teman-teman perempuan saya terkena cinderella syndrome, namun kami berbahagia saat mengenang masa-masa itu. Kami tertawa saat mengingat dulu betapa sukanya kami pada anggota F4 tertentu (It was Mei Zuo for me!) dan bertanya-tanya mengapa kami bisa sebegitu sukanya pada mereka. Bahkan, dua bulan lalu, saat saya dan teman-teman sekos saya menghabiskan waktu menonton ulang DVD Meteor Garden itu, kami menertawai scenes tertentu, dan komentar "Aduh, norak!", "Kenapa dulu gw suka ini?", atau "Dulu kok gw lihat ini keren, ya?" kerap terdengar. Hahahaa ...

Iya, kalau ditanya sekarang, saya bisa bilang: akting Jerry Yan sangat jelek, Vic Zhou terlihat seperti orang penyakitan (bukan cool seperti yang digambarkan komiknya), Ken Zhu kurang playboy, dan Vanness Wu sangat pecicilan.

Saya pikir, efek Meteor Garden bukan hanya ada pada kami, para perempuan. Baru-baru ini saya menyusup ke file-file yang di-share oleh rekan-rekan sekantor saya. Saya kaget juga saat mengetahui kalau seorang rekan Tionghoa saya memiliki koleksi lengkap album F4.

Temuan itu mengingatkan saya pada pembicaraan dengan seorang teman Tionghoa di kantor sebelumnya.

"Eh, ternyata lu ada miripnya sama Mei Zuo, ya?"
"Yang F4 itu, ya? Teman gw juga pernah ngomong gitu."
"Oh ya? Trus reaksi lu?"
"Gw sih bangga-bangga aja."

Teman Tionghoa saya itu mungkin adalah yang direpresentasikan oleh skripsi seorang senior saya yang membahas tentang Meteor Garden dan identitas kaum muda Tionghoa. Bukankah, saat era Meteor Garden, sinetron Indonesia mulai menampilkan wajah oriental di antara pemerannya? Para pembuat sinetron punya tambahan pilihan untuk dijual, tidak lagi terbatas di wajah Indo.

Pada 2005, Jepang pun membuat dorama Hana Yori Dango (HanaDan) yang lebih setia pada komiknya. Pada 2007 dibuat pula sekuelnya: Hana Yori Dango Return dan pada 2008 ada versi filmnya. Akting, alur cerita, cast, chemistry, dan atmosfer kekayaannya jauh lebih baik daripada versi Taiwan. Itu jelas! Tetapi, walaupun saya jauh lebih menyukai HanaDan daripada Meteor Garden, dari aspek mana pun, saya tidak menyebut diri saya generasi HanaDan. Saya generasi Meteor Garden.

Ah, saya punya banyak cerita untuk anak saya nantinya, seperti Mama saya yang bercerita tentang film-film Roy Marten yang ditontonnya di masa remajanya.

Saya: "Waktu SD dulu, Mama suka nonton Saint Seiya sama Sailor Moon."
Anak saya: "Trus waktu SMP?"
Saya: "Mama nonton MTV. Waktu itu acara MTV masih bagus-bagus."
Anak saya: "Trus, waktu SMU?"
Saya: "Waktu akhir SMU, trus sampe kuliah, Mama nonton Meteor Garden."
Anak saya: "Trus, waktu udah kerja, Mama nonton acara tv apa?"
Saya: (sambil tersenyum bijak) "Mama gak nonton apa-apa. Mama kan sibuk kerja, Nak, waktu itu. "

Dalam hati, "Masak sih gw ngaku nonton sinetron Intan, Cinta, Bunga, Wulan, apalah itu? Atau acara-acara rekayasa itu? Apa kata anak gw ngebayangin Mama-nya yang pintar dan kritis ini nonton acara begituan? &@#$#&*&&##^*!!!!"

Sungguh imajinasi yang mampu melarang diri saya menonton sinetron saat ini. ^_~

5.04.2009

Mas? Pak? Om? "Aarrgghh!!"

"Hai Adek. Adek mau kue?" Tanyaku pada anak kecil yang memandang ke arahku sambil berdiri di pangkuan Ibunya. Saat itu, saya yang duduk di belakang kursi Ibunya memang sedang memegang sebuah kue.

"Gak usah, Om. Makasih, Om." Sambil menyelesaikan kalimatnya, si Ibu membalikkan badannya ke belakang. Saya terdiam mendengar jawaban itu. Si Ibu memandang ke arah saya. Saya menunggu, apakah beliau menyadari kesalahannya. Lalu, "Adek, jangan ganggu Om-nya, ya. Om-nya lagi sibuk pegang kamera."

GUBRAK!!

Dan itu bukan kali pertama saya disalahduga sebagai lelaki.

Pengalaman pertama itu di tahun 2002, di Matahari Dept. Store yang dulu ada di Depok Mall. Saat itu, customer service-nya meminta KTP saya karena saya mendaftar untuk mendapatkan Matahari Club Card.

"Mas, saya bisa minta KTP-nya?"

WHAT??

Saya berikan KTP saya dengan bagian depan menghadap ke atas.

"Saya pegang dulu KTP-nya, Mas."

WHAT??

Lalu dia melihat bagian belakang KTP saya, dan, "Aduh, maaf, ya, Mba. Ternyata Mba, ya."

Kali itu, saya dan teman saya tertawa. Saya pikir itu lumrah, karena rambut saya masih sangat pendek. Maklum, sisa-sisa pendidikan semi-militer dari zaman SMA.

Kali kedua, tahun 2005, di dalam KRL Ekonomi menuju Tebet. Saat itu, saya dan kakak kos saya berdiri berhadapan dengan kondisi kereta tidak terlalu padat. Seperti biasa, para pedagang bersilewaran, salah satunya adalah si bapak pedagang pulpen ini.

"Mas, pulpennya, Mas." Dia menyodorkan dagangannya ke arah wajah saya. Saya menggelengkan kepala.

"Serebu, Mas. Serebu." Di titik ini, kakak sekos saya tertawa.

Saya dipanggil Mas! Lagi!

Bapak pedagang itu pergi tanpa merasa sudah menyalahdugai saya.

Dan kejadian ketiga berlangsung hanya setengah jam setelahnya.

Turun di stasiun Tebet, saya melanjutkan perjalanan dengan Metromini 52. Saya duduk di kursi dekat pintu depan, merapat ke dinding, dan tempat duduk sebelah kanan saya kosong. Persis sebelum Metromini berangkat, seorang perempuan naik dan duduk di sebelah kanan saya itu.

Dalam perjalanan, saya menyadari kalau perempuan itu selalu memperhatikan saya. Merasa jengah juga, dan mulai berpikir yang tidak-tidak. Lalu, tanpa tedeng aling-aling, dia bertanya, "Mas, bukannya itu jepit rambut cewek, ya?"

Ya, saat itu saya memang memakai jepit rambut feminin. Mungkin si Bapak pedagang tadi tidak memperhatikan jepit rambut itu. Tapi, si Mba yang ini, sebegitu besarkah rasa penasarannya?

Aarrgghh!! Dipanggil Mas lagi!! Bahkan disangka punya keanehan karena memakai jepit rambut perempuan!

Dua tahun kemudian, datanglah si kejadian keempat.

Kejadian pertama hingga ketiga bisa saya anggap lumrah karena cara berpakaian saya yang memang tomboy. Tapi, di kejadian keempat ini, saya harus mencari alasan lain.

Dengan berpakaian feminin karena akan bertemu klien, - memang tidak dengan rok - saya menghentikan taksi di depan kantor saya. Saya buka pintu. Saat saya hendak duduk, si Bapak Supir menyapa saya, "Selamat Pagi, Pak."

PAK??

Dalam hati, "Oke, tenangkan diri. Mungkin beliau hanya salah ucap. Saya 'kan sudah dandan begini."

"Pagi, Pak. Kita ke BCA Slipi, ya, Pak." Saya berharap dia bisa menyadari salah duganya itu.
"BCA Slipi, ya, Pak? Mau lewat mana, Pak?"

WHAT?? PAK?? LAGI!!

Untungnya di saat turun, beliau menyebut saya, "Ibu."

Kejadian kelima, dan semoga Diurno belum bosan, terjadi di KRL Ekonomi. Dalam keadaan berdiri agak berdesakan, si Mas pedagang koran lewat dan memegang bahu saya sambil berkata, "Maju dikit, Mas. Saya mau lewat."

HEH??

Satu setengah tahun kemudian, saya dipanggil "Om."

Hahahaaa ....

It’s just a simple lesson of live. Be careful what you wish for. To realize that I once wished being born as a man, I shouldn't be upset with those mistaken-as-a-man experiences, should I?

Hehehee ….

4.28.2009

Lapisan Bawang

Siapa yang tahu kalau saya punya kebiasaan mencampurkan cappucino ke nasi imbi saya? Tahu kalau saya tergila-gila dengan salah seorang anggota boyband Jepang? Atau, fakta kalau saya terlalu pengecut untuk menjadi seorang jurnalis?

Pada setiap manusia, selalu ada lapisan kepribadian yang akan terbuka secara perlahan-lahan saat berkomunikasi dengan manusia lain. Seperti lapisan bawang merah, kata Social Penetration Theory (Altman & Taylor). Jumlah lapisan yang kita buka terhadap seseorang mengindikasikan kedekatan kita terhadap orang tersebut. Hmm ... sebenarnya Altman & Taylor lebih fokus ke tingkatan yang dilewati dalam proses penetrasinya, kalau saya tidak salah. Tetapi tulisan saya di sini akan lebih praktis (dan narsis).

Lapisan terluar akan kita buka pada orang-orang yang baru kita kenal. Ini biasanya berisi informasi-informasi umum, seperti nama, tempat kerja, dll. Tetapi, untuk kasus saya, tempat kerja saat ini berada di lapisan yang lebih dalam, mungkin kedua atau ketiga. Seorang yang telah lama tinggal sekos bersama saya baru mengetahui tempat kerja saya. "Heh? Lu kerja di bisnis itu, Mon?"

Setiap orang memiliki lapisan beragam. Jadi, tema lapisan terdalam saya belum tentu merupakan lapisan terdalam bagi orang lain. Bahkan, dalam kasus saya, tema terdalam itu tergantung pada konteks ruang, waktu, dan lawan bicara. Bila kembali di kampung halaman saya, agama adalah topik yang tidak bisa saya ungkapkan. Padahal, agama bukanlah inti lapisan bawang saya. Sementara, bila di sini, posisi topik agama akan digantikan oleh topik lain. Bahkan pada Mama saya, saya tidak bisa membicarakan pernikahan - topik yang saya bicarakan secara santai dengan teman-teman saya.

Bagi orang lain, lapisan terdalam mereka bisa jadi adalah hubungan romantis, keluarga, cita-cita, sex, atau uang. Mine? None of those. :D

Pada lapisan mana pun, bahkan lapisan terdalam sekalipun, selalu ada kemungkinan untuk withdrawal. Tak heran bila semakin ke dalam, semakin sedikit jumlah orang yang mengetahuinya. Tetapi, semakin kecil pula kemungkinan untuk withdrawal, entah dari pihak yang mana pun. Saya adalah salah seorang yang sudah menjalani kesedihan melakukan withdrawal saat sudah berada di level terdalam.

Ah, saya jadi lupa kenapa saya mulai menulis ini. Tetapi ini bagus buat saya karena masih mengingat salah satu teori yang pernah saya pelajari di bangku kuliah dulu.

Kalau buat saya saat ini, ada beberapa yang berada di lapisan yang cukup dalam. Lagi-lagi belum yang terdalam, karena biasanya lapisan terdalam adalah milik diri sendiri. Dan tidak ada yang memaksa Anda untuk membuka lapisan itu. Lapisan yang dibuka dengan paksa berpotensi merusak hubungan Anda dengan orang yang bersangkutan. Kondisi karbitan itu malah akan memperbesar kesempatan untuk withdrawal. I've been there, done that. :D

Jadi, Anda tidak perlu untuk curhat bila memang Anda tidak bisa dan tidak ingin. Anda tidak perlu merasa tidak nyaman saat seseorang mengatakan Anda terlalu introvert. Jangan membuka dengan paksa "lapisan bawang" Anda. Kalau Anda buka paksa, yang rusak pertama kali adalah "bawang" Anda itu.

Dan bila ada yang curhat pada Anda, itu berarti Anda berhak untuk narsis dengan pikiran, "Ah, dia sudah membuka satu lapisan bawangnya pada saya!" :P

4.16.2009

News Sources


See the context here.

Jejak Reportase Investigasi

Note:
  1. Ini saya copy-paste dari Bab Pendahuluan skripsi saya (2006).
  2. Saya memang inkonsisten dalam penggunaan istilah karena disesuaikan dengan literatur yang dikutip. Berikut beberapa istilah yang dipakai: investigative reporting, reportase investigasi, investigative journalism, dan laporan penyelidikan. Istilah-istilah tersebut mewakili produk investigatif media massa.
  3. Yap, Bondan Winarno yang saya sebut di sini adalah orang yang sekarang dikenal dengan acara wisata kulinernya.
____________________________


Sebelum nama investigative reporting muncul, istilah muckracking journalism telah populer di era 1902-1912. Istilah muckracking diberikan oleh Presiden Amerika Serikat, Theodore Roosevelt kepada para reporter yang menyoroti muck (kotoran) Amerika Serikat. Ini adalah periode di mana tokoh pers dunia Joseph Pulitzer berseteru dengan Roosevelt. Ketika itu, Pulitzer membongkar kasus suap dalam pembelian tanah untuk Kanal Panama, yang diduga berkaitan dengan Roosevelt.

Sejarah reportase investigasi dunia tidak dapat dilepaskan dari karya investigasi dua wartawan harian The Washington Post, yakni Carl Bernstein dan Bob Woodward. Woodward dan Bernstein ditugasi oleh The Washington Post untuk menginvestigasi kasus pencurian kantor Partai Demokrat di kompleks kantor dan hotel Watergate, Washington D.C. Ternyata kasus pencurian tersebut berujung pada pengungkapan penyelewengan dana pemilu Presiden Amerika Serikat Richard M. Nixon. Nixon mundur dari jabatan Presiden Amerika Serikat pada 1974, di tengah-tengah masa jabatannya.

Investigative reporting juga dikenal di Indonesia seperti dilakukan harian Indonesia Raya sebagai pionirnya. Di bawah pimpinan Mochtar Lubis, harian ini menampilkan beberapa investigative reporting, salah satunya adalah investigasi terhadap sejumlah institusi penting di masa Orde Baru, seperti kasus korupsi di Pertamina pada tahun 1969 dan kasus korupsi di Badan Urusan Logistik (Bulog) tahun 1972. Ada pula investigasi terhadap Hospitality Committee dalam penyelenggaraan Konferensi Asia-Amerika pada April 1955 di Bandung. Ternyata komite ini menyediakan wanita-wanita penghibur untuk para peserta konferensi.

Jurnalisme Indonesia juga pernah menghasilkan sebuah liputan investigasi berskala internasional. Investigasi itu adalah mengenai skandal emas Busang yang dibuat oleh wartawan freelance Bondan Winarno. Investigasi ini diterbitkan dalam buku berjudul Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi.

Bre-X adalah perusahaan gurem yang mendadak terkenal karena menemukan tambang emas Busang. Tambang emas tersebut semula diduga memiliki kandungan emas terbesar di dunia. Wakil Komisaris Utama Bre-X John Felderhof yang mengatakan, Busang mungkin mengandung deposit 200 juta ons emas. Hal ini diumumkan pada 19 Februari 1997. Sebulan kemudian, Mike de Guzman, geolog yang bersama Felderhof menemukan deposit emas itu, terjun dari helikopter. Ia meninggalkan catatan yang mengindikasikan kejadian tersebut adalah sebuah bunuh diri. Pada 5 Mei 1997, Bre-X mengumumkan laporan independen yang ternyata menemukan kalau deposit emas itu hanya sebuah “pepesan kosong”.

Bukan hanya Bondan yang melakukan investigasi terhadap Busang. Douglas Goold dan Andrew Willis menerbitkan buku berjudul The Bre-X Fraud. Namun ada faktor pembeda yang signifikan. Bondan Winarno adalah wartawan yang pertama kali menyatakan de Guzman masih hidup. Pernyataan ini, tentu saja, dilengkapi dengan bukti, walau masih berstatus “bukti lunak” karena “bukti keras” belum ada. Bondan juga mendapatkan jawaban tertulis dari Felderhof.

Selain investigasi mengenai Busang, Bondan juga pernah menginvestigasi tentang tenggelamnya kapal penumpang Tampomas II di Selat Makassar. Investigasi ini diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Neraka di Laut Jawa pada awal 1980-an, kurang lebih tujuh belas tahun sebelum Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi diterbitkan. Bondan mengkategorikan tulisan tersebut sebagai sebuah karya jurnalistik dengan pendalaman investigatif.

Investigative reporting di Indonesia juga mengalami tekanan dari pemerintah. Dadi Sumaatmadja, mantan Redaktur Investigasi majalah Tajuk, menyebutkan, reportase investigasi dianggap sebagai buah terlarang oleh penguasa masa Orde Lama dan Orde Baru. Karena itulah harian Indonesia Raya menjadi bagian penting dalam sejarah investigative reporting di Indonesia, seperti yang disebutkan di awal.

Selain investigasi terhadap institusi pemerintah, Indonesia Raya juga pernah melakukan investigasi – atau apa yang disebut Sumaatmadja sebagai investigasi – seputar pernikahan Presiden Soekarno dengan Hartini yang beredar tanpa ada yang memberi kepastian. Dengan pengakuan penghulu yang menikahkan mereka dan salinan akte nikah, Indonesia Raya terbit.

Pada 1992, pelaksana harian Pemimpin Redaksi majalah Editor Saur Hutabarat menetapkan “Investigasi” sebagai salah satu rubriknya. Dadi Sumaatmadja dan Djoenaedy Siswo Pratikno menjadi pemimpin rubrik baru tersebut. Namun, majalah tersebut pun dibredel dua tahun setelah rubrik tersebut lahir. Selain Editor, media massa lain yang dibredel adalah Majalah Berita Mingguan Tempo (selanjutnya: majalah Tempo) dan tabloid Detik.

Pada 1996, majalah dwi-mingguan Tajuk menyatakan diri sebagai majalah “berita, investigasi, dan entertainmen.” Menurut Sumaatmadja, ketika itu, Tajuk menyebut diri sebagai satu-satunya majalah yang mengedepankan reportase investigasi.

Setelah Orde Baru jatuh, majalah Panji Masyarakat menyebut diri sebagai majalah investigasi. Panji Masyarakat memang memiliki rekaman pembicaraan via telepon antara Jaksa Agung Andi Muhammad Galib dengan Presiden B.J. Habibie.

Kejatuhan orde baru membangkitkan kembali majalah Tempo pada 6 Oktober 1998, menyusul penghapusan Peraturan Menteri Penerangan no.1 tahun 1984 tentang Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers. Majalah Tempo pascabredel diwarnai dengan munculnya rubrik “Investigasi“ yang bertahan sampai sekarang.

4.14.2009

Wartawan Perang

Teringat perbincangan dengan seseorang (yang bahkan saya tidak ingat lagi siapa) ketika kuliah dulu.

Dia:
"Kyanya lu emang suka banget sama jurnalistik, ya?"

Saya:
"Emang. Gw pengen banget jadi wartawan perang."

Dia:
"Kenapa?"

Saya:
"Highest achievement aja kalo jadi wartawan perang."

Dia:
"Tapi tanpa lu sadari, lu berharap perang tetap ada, kan?"

Saya terdiam.

4.07.2009

Push

Last Saturday, I went to 21 Cinema at Detos. I and my friend found "Push" as the most worth to watch compared to other movies. You know … the Indonesian movies that use long hair and thick white powder to scare you.

Anyway, I was quite entertained watching that movie, and it wasn't because of the cast, since I am not a fan of Chris Evans (as Nick). Yes, I like watching Dakota Fanning's movies, but this one doesn't reflect her acting's quality.

I won't summarize the story since Diurno can browse about it. I want to write what I found interesting in that movie.

First, it was like watching a documentary, not a movie. Sometimes, it would be a music clip every time Kira (played by Camilla Belle) appears. I wasn’t pretty surprised when I knew that "Push", "Lucky Number Slevin", and "Wicker Park" were directed by the same person, Paul McGuigan. Those three share the same style and psychological twisted ending.

Second, I love Fanning's tee in that movie. Played as Cassie, she only wears one tee, the one with Reduce, Reuse, Recycle written on. But that tee happens to be an irony for me. There is a scene where Cassie takes out a bottle from a plastic bag, and then she throws it on the street. While wearing that 3R tee! What an irony!

Third, the best fight scenes (in that movie, not EVER) are the ones between two movers, Nick and the sidekick of Djimon Honsou. It's entertaining, but don't compare it to other action movies. Just don't!

Fourth, I found a blooper! In plot that is, not special effect. There is a scene when Nick is pent-up in the car's baggage. He is supposed to be able to unlock the handcuffs that tie his hands while spending minutes in there. But, no! Apparently, he needs an open stage to perform his ability. After a man felt onto the baggage and happened to open it, Nick gets out with handcuffs still tie his hand. Get a fresh air, and tada ...! There you go!

I still enjoyed my time, though. Am I considered a weirdo if I confess writing those four in my book while watching? Yes, I am a weirdo. :D

3.30.2009

Kecewa pada MetroTV!

Sehari atau dua hari lalu, MetroTV memberitakan tentang Jusuf Kalla yang sedang berkampanye untuk partai yang dipimpinnya, Golkar. Yang membuat kemarahan saya naik ke ubun-ubun adalah ketika label berita dimunculkan.

"Wakil Presiden berkampanye, bla bla bla ...."

Maaf, saya tak lagi membaca kalimat itu dengan lengkap karena klausa Wakil Presiden sudah sangat menarik perhatian saya.

Karena, Saudara, itu adalah PELABELAN JABATAN YANG SALAH!

Jusuf Kalla ada di sana untuk menjalankan jabatan dan perannya sebagai KETUA GOLKAR, bukan sebagai WAKIL PRESIDEN. Beliau tidak sedang menjalankan tugas kenegaraannya, melainkan perannya sebagai seorang ketua partai.

Mengapa MetroTV melakukan itu?

Karena GOLKAR?
Karena Surya Paloh?

Tidak ada check dan re-check sebelum video disiarkan?
Kurang edukasi jurnalisme dan editoial pada editor video?

Apa pun alasannya, ini sudah menambah daftar kekecewaan saya terhadap MetroTV.

3.25.2009

Jason Mraz & Epik High

I can't help this. I have the urge to post this photo here. I take it out from Epik High's official website.

Diurno should've known that I am a big fan of Jason Mraz. (Am I allowed to be narcissist, saying that I am his biggest fan in Indonesia?).

I also have other most favorite. A Korean hip hop trio: Epik High, composed of Tablo, Mithra Jin, and DJ Tukutz. I never mentioned them before, but once a while I quoted their song's lyric and post them in this blog's side bar.

That's why .... I just can't help it when I found this picture in Tablo's blog at their website. This was taken when Mraz came to Tablo's radio show.

left to right:
someone (I was mistaken thinking this guy was Mithra), Tukutz, Tablo, Jason Mraz (wearing a fedora!), Toca Rivera (Mraz's partner)



Hopefully they are planning on a collaboration!

Ps.
- I know none of my fellow bloggers will comment here. :)
- Apparently, the after effect of Mraz's concert is still there. :P

3.18.2009

Tuk Bayan Tula, Musashi, dan Pendekar Tak Bernama

Apa kesamaan tokoh Tuk Bayan Tula di buku Laskar Pelangi dengan samurai legendaris Musashi?

Mereka berdua telah sampai di level tertinggi di pencarian mereka. Level itu ditempati oleh filosofi mendasar yang sering dianggap sepele.

Bagi Tuk Bayan Tula, sang sesepuh kemistisan, pencapaian tertinggi itu adalah "memberikan jalan keluar yang tidak mistis sama sekali." Masih ingat dengan isi kertas yang Tuk berikan kepada Societeit de Limpai itu, 'kan?

Sementara bagi Musashi, samurai yang menguasai jalan pedang, pencapaian itu adalah "bertarung tanpa pedang."

Seperti juga pendekar tak bernama yang diperankan oleh Jet Li di film Hero arahan Zhang Yimou. Jet Li, yang telah mendapat kesempatan untuk membunuh kaisar yang dianggap bertanggung jawab terhadap masalah masyarakat, akhirnya mengurungkan niatnya. Bagi Jet Li, kematian Sang Kaisar bukannya menyelesaikan masalah, namun akan memperumit keadaan. Perubahan rencana ini pun membuat Jet Li gugur sebagai the Nameless Hero.

Pencapaian tertinggi bagi Nameless Hero itu adalah ketika dia menyadari kematian tokoh antagonis bukanlah jalan keluar terbaik. (Ini adalah alasan kenapa saya tidak suka sinetron, film, atau buku yang mengakhiri ceritanya dengan kematian tokoh antagonis.)

Teringat satu waktu ketika saya dimarahi oleh guru SD saya. Ketika itu saya terlibat perkelahian fisik dengan salah seorang siswa di sekolah saya. Guru saya itu - yang tahu kalau saya ikut latihan karate - menasihati saya dengan kalimat, "Hanya orang yang pengetahuannya tanggung yang akan pamer. Kalau dia sudah pintar, dia tidak akan pamer. Dengan sendirinya kepintarannya itu akan diketahui oleh orang lain."

Saya tidak pernah tahu bagaimana level tertinggi yang bisa saya capai bila saya meneruskan latihan karate saya itu. Saya berhenti di saat saya masing "tanggung".

3.12.2009

From Mraz's Concert

For those who have been waiting ... here a bit story about Jason Mraz's concert in the first day of 2009 Java Jazz Festival, March 6th. If you want to know about the detail of the concert, please don't expect much, since this story is mostly about me. This took days to be written because I didn't want to over-expose my ecstasy here.

The concert would be begun at 0645 pm, so I took an ojek in a hurry as soon as the clock ticking at five sharp. Traffic jam made me spending approximately an hour by motorcycle from Pecenongan to Jakarta Convention Center, Senayan (and IDR50.000 from my pocket.)

I thought I could get a good spot inside the concert hall, but ... there I stood in a line. And it was a long line. I waited for half an hour till I reached the entrance (mini) gate.

Then, my usual problem popped up. I didn't know the direction, even though it wasn't my first time being inside the JCC. "Ah, where to go?" But the question only stayed seconds in my mind because I saw a man with fedora on his head. I challenged myself to follow this unidentified man, and I did it. From the opposite direction, another fedora went to the same direction with the first man. "Ah, this must be the right one," I ensured myself.

How could be? Because one of Mraz’s characteristic is often wearing fedora. (Fans don't have a personal identity, do they? That's why Beckham's jersey is always on the top sales.)

When I entered the Convention Hall B, I was surprised. I saw thousands people. Kompas wrote in the next day, the concert was attended by around 8000 people. Wow! For someone who is recognized here just by his last album, that is freaking awesome!

While the MC saying crap on the stage (OK, it wasn't crap, but ... I didn't hear any word), I struggled to go to the front. And when Mike Indonesian Idol (ooh ... I thought he didn't exist anymore!) was singing Indonesia Raya, I gave up trying to reach the avant garde. (Indonesia Raya? Two thumps up for the committee!)

Considering my position, my only 5'1" height, and the fact that I was surrounded by taller people, I couldn't see even Mraz's fedora when he sang the first song that evening (Make it Mine from his latest album). Right after he started singing Remedy, I remembered the reason why I was there: listening to him singing live and jamming with his super band. The teenagers' screaming just ruined Mraz's song inside my head.

When he inserted Oasis' Wonderwall to Remedy, I was on my way climbing to an around 1,7m height mini stage where a cameraman and some photographers are about. And, when Remedy is finished, I was sitting comfortably, happily, and arrogantly on that mini stage. I could see Mraz clearly, no teenagers screamed right to my ears or jumped around, and I got enough oxygen since my feet were parallel with the audience's heads. Yup, I got a great spot! :D

I enjoyed the one hour concert. There was a choice of not going to the concert, but I knew that I would never considered other option as an option since the first time I watched U and I Both in JakTV, back in early 2005. Linkin Park held a live concert at Ancol when I was in my highest phase of idolizing them. Backstreet Boys, whom I love since my teen, came here for the 2nd time. But, for both of them, I chose the "not go" option, simply because I considered it as an option.

About Mraz ... I idolize him for being a great singer and motivator. Instead of admiring his appearance (a characteristic of boysband lovers like myself – and not that his is bad), I praise his musical and composing quality. And to think that others usually agree with me, I bet I have done my job objectively.

Besides being directed by fedoras, I also had other two laughable experiences.

Mraz is famous in Indonesia since his third album became a hit, started from I'm Yours, continued by Lucky and Make it Mine. So, I smiled a lot when just a few sang along with songs from his old albums, such as Belle Luna and No Stopping Us. More than a half sang Remedy and U and I Both (perhaps due to the fact that each has a video clip). And everyone sang almost every song from the latest one. Ouh, I bet you would have a big grin when hearing the teenage fans' jealousy screaming when Mraz hugged Dira, the replacement singer of Colbie Caillat for Lucky. :D

The second is the light from every camera, whether handy or cell. One of my friends said that it's the difference between eastern and western audience: Westerns enjoy watching the performances while Easterns enjoy recording them. :))

The best moment is when Mraz repeated the "You are the best" part from The Dynamo of Volition and took time to point every part of the audiences. Perhaps my only disappointment is that he didn't sing all of his songs. Yeah, I am a greedy fan.

And here is the best picture I could get. “See, I’ve told you about the fedoras, videos, and my position!” :D

3.10.2009

Photo story: Ragunan

Setelah hampir 7 tahun tinggal di Jakarta, akhirnya saya menginjakkan kaki juga di Kebun Binatang Ragunan bersama dengan dua kakak sekos saya. Bagusnya, saya masih pegang kamera SLR yang saya pinjam dari kantor untuk menonton konser Jason Mraz dua hari sebelumnya.

Banyak pemikiran yang timbul saat melihat hewan-hewan itu.

Buat saya, gorilla ini adalah bintang utamanya. Adrenalin menaik saat melihat si gorilla keluar dari goanya.







Pandangan pertama pada macaque ini mengingatkan saya pada primata-primata kecil yang ditemui oleh Pi di pulau karnivora dalam buku "Life of Pi" karangan Yann Martel. I don't even know why. Nama hewan yang ditemui Pi itu adalah meerkat.






Ternyata kancil itu begini, ya .... Hampir 26 tahun saya hidup, bayangan saya tentang kancil adalah hewan yang mirip kelinci. It's never too old to learn something new, isn't it?










Bahkan saya tetap tersenyum sewaktu menulis ini.











Ada dua cara bagi para hewan di Ragunan untuk mendapatkan makanannya:

(a) Tinggal di dalam wilayah masing-masing dan menjadi hiburan bagi spesies manusia. Konsekuensinya, para hewan sebaiknya duduk diam saja, tidak melakukan gerakan-gerakan yang membuat spesies Homo sapiens merasa terancam.

(b) Dijadikan sebagai angkutan internal. Konsekuensinya, hewan tersebut tidak boleh duduk diam jika masih ingin mendapatkan makanannya.



Apa kesamaan manusia dengan para hewan penghuni Ragunan? Mereka membiarkan pihak lain membereskan sampah-sampah mereka. Belum lagi pertunjukan adegan "serasa dunia adalah kamar kami" yang ditunjukkan oleh beberapa pasangan. Ah, itu seperti pasangan singa yang saya lihat sedang melakukan intercourse di depan para pengunjung.







P.S: Dihitung-hitung, perjalanan kami ke Ragunan itu hanya menghabiskan Rp 20.000/orang (termasuk ongkos angkutan umum pulang-pergi).

Can't wait to go there again. :)

2.24.2009

Fenomena Oprah pada Dedy Mizwar

Bukan, bukan tentang seorang marjinal yang berhasil mendapatkan dan mempertahankan spotlight. Juga bukan versi lain cerita Cinderella, apalagi tentang seorang filantropis.

Ini tentang Dedy Mizwar dan banyak nama lain.

Alia mengirimkan link ini dan membuat saya teringat tentang kampanye "Oprah for President - 2008".

Michael Moore adalah seorang yang cukup aktif dalam kampanye tersebut. Mengingat bahwa Moore kerap mengkritik pemerintahan negaranya sendiri, maka dukungannya terhadap Oprah hendaknya tidak dianggap sepele.

Siapa tak kenal Oprah? Dibantu oleh kekuatan media, masyarakat dunia mengenal Oprah sebagai seorang publik figur yang kerap mengangkat isu ekopolsosbudhankam. Bukan hanya berbicara, Oprah juga memberikan solusi dan bantuan, tentu saja dibantu oleh para stafnya.

Bukankah gambaran yang sama bisa kita lekatkan pada Dedy Mizwar?

Melalui beberapa buah karyanya, beliau mengkritik karakter bangsa ini. Beliau juga bukan seorang yang rajin nampang di infotainment. Singkat kata, beliau adalah seorang yang patut diteladani.

Saat partai-partai besar hanya membawa nama-nama besar pula, partai-partai kecil mencoba untuk antikonformis. Dedy Mizwar adalah seorang yang mampu menjadi daya jual mereka.

Karena Dedy Mizwar telah berkarya tanpa banyak omong.

Saya tidak merendahkan Dedy Mizwar. Bagi saya, beliau adalah salah satu mercusuar di kegelapan karakter dan orisinalitas bangsa ini.

Tetapi, apakah semua bisa menjadi Ronald Reagan? Seorang dari dunia showbiz, bahkan dianggap menjadi presiden terbaik yang pernah dimiliki oleh negaranya?

Maaf, kalau saya terkesan meragukan beliau, walau saya tahu kalau yang beliau tawarkan lebih dari popularitas semata.

Saya hanya takut, cahaya mercusuar itu akan dikalahkan oleh gemilang dan gelimang kekuasaan dan politik negara ini.

2.20.2009

Stereotip

Dalam suasana bercanda, stereotip mungkin menyenangkan. Bukankah candaan bangsa ini memang berkisar di cela-celaan fisik dan etnis?

Saya tertawa sewaktu melihat tokoh Emon di film Catatan si Boy. Saya tertawa ketika bapak kos saya menirukan cara berjalan seseorang yang pincang. Saya tertawa saat teman-teman saya menceritakan lelucon yang berhubungan dengan suku tertentu.

Manusia hidup dalam stereotip. Berbagai pengalaman di masa lalu turut membentuk cara kita memandang dan menilai orang-orang yang kita temui di masa sekarang. Berbagai kisah yang kita baca dan dengar juga turut berkontribusi pada stereotip yang tertanam di pikiran kita. Yang salah adalah ketika stereotip membuat kita lupa bahwa setiap individu itu unik. Salah ketika kita menganggap ada satu sifat yang bisa digeneralisasi pada semua anggota komunitas tertentu.

Saya adalah seorang pemarah dan saya adalah seorang Batak. Anda berstereotip saat Anda kemudian menggeneralisasi kalau semua orang Batak itu pemarah karena Anda pernah bersinggungan dengan kemarahan saya.

Memang, stereotip identik dengan negativisme. Karena itulah stereotip menjadi racun saat dia berkembang menjadi prasangka.

Anda mungkin pernah mendengar lelucon ini.
"Bagaimana cara menghitung populasi orang Batak di Jakarta ini? Gampang, hitung aja jumlah semua metromini, lalu dikalikan tiga. Tiga itu berarti supir, kondektur, dan seorang copet."

Stereotip menjadi prasangka saat, misalnya, Anda merasa takut duduk di sebelah orang yang fitur wajahnya seperti seorang Batak. Anda takut karena menyangka kalau dia adalah seorang copet.

Stereotip kerap muncul di media. Bahkan, media menjadi agen yang mempertahankan keberadaan stereotip di masyarakat. Stereotip telah menjadi karakter klise. Seorang gemuk adalah seorang badut di kalangan teman-temannya. Perempuan cantik yang sangat peduli pada penampilan adalah seorang yang tidak "berotak". Seorang lelaki feminin adalah seorang gay. Seseorang bertato adalah pelaku kejahatan. Seorang perempuan yang baik adalah yang terlihat feminin, sementara yang tomboy itu tidak menghargai hakikatnya sebagai perempuan.

Belum lagi kalau sudah bersinggungan dengan topik sensitif, misalnya agama.

Tetapi, tak pantas kalau membicarakan stereotip hanya dari sisi negatifnya saja. Bisa jadi di masa lalu kita punya kesan positif tentang seseorang. Apalagi kalau kesan itu juga kita dapatkan dari orang yang berbeda. Misalnya, seorang Tionghoa adalah pekerja keras, seorang Batak berjiwa pemimpin, dan seorang Padang adalah pedagang yang sukses.

Stereotip positif jelas tidak akan membuat kita berprasangka. Stereotip negatif pun tidak bisa dibilang salah seratus persen bila hanya berperan sebagai referensi tambahan. Salah ketika telah menjadi prasangka. Bukankah sejarah telah membuktikan kalau prasangka bermanifestasi ke dalam banyak hal negatif, seperti homophobia, pembersihan etnik, rasisme, pogrom, dan genosida?

Sayang sekali kalau otak yang berharga ini diracuni oleh stereotip.

Don't judge it by the color, confuse it for another
You might regret what you let slip away
(Jason Mraz - A Geek in the Pink)

2.10.2009

Jason Mraz: "Seeds Sewn"

I screen-printed these two paragraphs from one of Jason Mraz's journals in his official websites, dated as February 3rd, 2009. To keep the originality, instead of re-writing it, I took my minutes to use a few photoshop. I even use this jpg file as my current desktop wallpaper.
















1.30.2009

Investigative Journalism and Myself

I think, I've gone away so long from all about investigative journalism.

The thought came when these two college students was talking about one of their seniors who did an investigation attempt about a particular topic somewhere in Yogyakarta. I happened to be in the same public transportation with them both.

I listened to them carefully, word by word. A feeling beyond description was appeared in deep inside my heart.

I am not trying to be melancholic. But, yeah ... I missed a thing that used to be a part of my life.

Back in college, I composed a thesis about investigative journalism, though I'd rather name it investigative reporting. It took me one year to finish, mostly used for searching for scientific and less-practical basis. It was pretty hard since the investigative reporting itself is a practical activity.

I didn't get a perfect A. But I was proud of myself for two reasons respectively. I was the first student of my faculty who makes a thesis about investigative journalism. I was also able to hold on to my idealism, the one that I don't purely have lately.

I think I have to search more about this investigative reporting thing since I know for sure that I still have the passion.

Someday, I'll be an investigate reporter. A freelance one, so I won't have this media capitalism's string attached to my idealism.

Someday.

1.22.2009

Etika Jurnalisme yang Terlupakan

Bukankah ini melanggar salah satu etika jurnalisme? Bukankah seharusnya media itu tidak menampilkan wajah dan nama pelaku tindakan kriminal yang masing tergolong anak-anak dan remaja?

Pun, untuk apa menyingkatnya menjadi SR di artikel bila kemudian Anda mempublikasikan foto ber-caption nama lengkapnya?

Jangan lupa bahwa yang Anda pertaruhkan di sini adalah masa depan anak tersebut. Anda turut bertanggung jawab untuk sanksi sosial yang mungkin akan didapatnya.

Itu komentar saya terhadap artikel di salah satu media online Indonesia (yang dimiliki oleh surat kabar beroplah terbesar di negeri ini). Yang saya komentari adalah berita tentang seorang anak usia 9 tahun yang dimasukkan ke dalam rutan.

Saya mengerti bahwa media itu bermaksud mengangkat kejanggalan tersebut. Mengapa anak tersebut tidak dimasukkan ke lembaga pemasyarakat khusus anak-anak/remaja?

Tetapi media itu lupa (atau sengaja melupakan) kalau ada ETIKA JURNALISME yang harus mereka junjung. Ada banyak kehidupan yang bisa dihancurkan oleh satu dua kalimat yang mereka publikasikan. Ada banyak konflik yang bisa mereka ciptakan hanya karena mereka tak mau (bukannya tak mampu) untuk cover both sides. Ada banyak masyarakat yang dibodohi hanya karena mereka tidak mau (lagi-lagi bukannya tidak mampu) mengungkapkan fakta ke masyarakat, hanya karena mereka ingin menyelamatkan perusahaan media yang memberi rupiah kepada mereka.

Dan belajar dari dua pengalaman sebelumnya dengan media yang sama, saya yakin kalau komentar kali ini pun tidak akan dipublikasikan oleh mereka. Mereka tidak cukup berani untuk menerima komentar sejenis ini di hadapan pembacanya sendiri. Demi nama baik perusahaan.

Lumrah bila semakin lama saya semakin skeptis pada media-media di Indonesia ini.

1.15.2009

Laser Mata

Akhirnya saya menulis tentang ini juga.

Bermula di Rabu, 7 Januari 2009. Saya bangun kesiangan. Seharusnya pukul 7 pagi itu saya sudah berangkat dari kos. Namun, di hari itu, saya terbangun di pukul 9. Akhirnya saya kirim SMS ke Manajer saya, ijin hari itu tidak masuk kantor.

"Trus, gw ngapain hari ini?" Daripada bengong, saya meminta Sylver - teman sekos saya - untuk menemani saya ke dokter kulit. Sudah saatnya jerawat-jerawat ini mendapat penanganan medis, demikian yang terpikir belakangan ini.

Ternyata dokternya baru mulai praktik di pukul 1 siang, padahal kami tiba di klinik itu pukul 11. Sempat memikirkan beberapa ide (jalan ke Detos? Margo?), saya pun mengajak Sylver ke RS Harapan Bunda, Pasar Rebo.

"Ngapain, Kak?"
"Aku mau periksa mata di Eye Center-nya. Soalnya udah beberapa kali mataku panas banget."

Kurang lebih setengah jam kemudian, kami tiba di tujuan. Setelah bertanya, kami pun menuju lantai 3 di mana Jakarta Timur Eye Center berlokasi.

Cepat dan ringkas. Itu kesan pertama yang saya dapatkan di JTEC. Setelah mendaftar, saya tak menunggu lama karena 5 menit kemudian saya didatangi oleh seorang perawat.

Saya kemudian menuju ruang dokter. Waktu ditanya apa keluhan saya, saya menjawab, "Mata saya sering panas, Dok."

"Mulai kapan?"
"Pertama kalinya Januari 2006, Dok."
"Terakhir kapan?"
"Lupa, Dok. Tapi beberapa kali deh, kejadian kayak gitu."
"Biasanya habis apa? Habis nonton? Baca?"
"Kalo yang waktu Januari itu, Dok, abis baca. Tapi kalau yang berikut-berikutnya, saya lupa, Dok." Saya berikan cengiran terbaik saya. :D

Saya lalu dibawa ke sebuah ruang gelap. Di ujung luar kedua mata saya, si perawat menempelkan dua kertas kecil. Menunggu 10 menit, perawat itu kemudian memeriksa kedua kertas yang ditempelkan itu.

Akhirnya ketahuan juga mengapa mata saya beberapa kali terasa panas seperti terbakar. Kadar air mata kanan saya adalah 7, yang kiri adalah 8. Kadar air mata normal adalah 15 di masing-masing mata.

Jadi, saudara-saudara, saya bukan orang yang tidak sensitif. Saya sulit menangis karena air mata saya memang sedikit. :P

Kembali ke ruang dokter itu. Si Dokter lalu memberikan penjelasan ini itu mengenai kekeringan yang melanda mata saya. Oke, itu kalimat hiperbolis, hehehehe ... Sampai kemudian teringat satu hal.

"Dok, saya juga ngerasa makin sensitif sama cahaya, Dok."
"Sensitifnya gimana?"
"Kalau baru keluar dari ruangan, langsung ketemu sinar matahari, mata saya kaget banget, Dok. Butuh berapa lama gitu, untuk terbiasa dengan matahari."
"Itu kalo kamu baru keluar dari ruang gelap?"
"Gak, kok, Dok. Ruang biasa, kok."
"Pernah dapat blitz? Kayak kilat gitu?"
"Iya, Dok, saya pernah ge-er, ngerasa ada yg foto saya diam-diam, Dok. Kirain itu blitz kamera, tapi ternyata gak."
"Ya udah, kita cek itu sekarang. Kamu nanti ditetesin tetes mata yang bakal bikin kamu buram dan silau lihat cahaya selama 6 jam. Tapi kalo ga ditetesin itu, saya ga bisa lihat kondisi mata kamu gimana."

Saya dibawa lagi ke ruang gelap itu. Diberi tetes mata yang memperbesar bulatan kecil di tengah orang-orangan mata. Jangan tanyakan apa gunanya karena saya hanya seorang pasien. :D

Si Dokter kemudian memeriksa mata saya. Dan menemukan ada crack di kedua retina saya. Untuk memastikan kondisi sebenar dan tindak lanjutnya, saya kemudian dirujuk ke dokter lainnya.

Di dokter kedua itu, saya kemudian mengetahui kalau retina kiri sudah robek di beberapa bagian, tetapi tidak separah yang kanan. Yang dikhawatirkan adalah kalau robeknya sudah sampai bagian tengah retina. Itu adalah kebutaan. Dan untuk membuatnya robek, mata tidak butuh trauma atau insiden mendadak. Retina bisa robek tanpa tedeng aling-aling.

Akhirnya diputuskan mata saya harus dilaser untuk mencegah kerobekan yang lebih gawat. Saya dijadwalkan menjalani laser di hari Senin, 12 Januari 2009, pukul 17.00

Senin sore, menjelang pukul 5 sore, saya tiba di JTEC bersama dengan Reni, teman sekos saya yang lain. Di sana sudah menunggu Mamatua saya. Mata saya kemudian di"tensi", kemudian ditetesi obat yang sama - obat yang membuat kedua mata saya buram selama 6 jam ke depan.

Butuh satu jam bagi tetes mata itu untuk menunjukkan reaksinya. Nah, sejam kemudian, saya kemudian dibawa ke ruang laser. Di sana sudah menunggu si Dokter Kedua itu. Hmm ... mungkin selanjutnya saya akan menyebutnya dr. Rita. :D

Laser mata pun dimulai, dimulai dari mata kanan. Tegang. Deg-degan. Menahan sakit saat tembakan laser itu mengenai saraf tertentu. Selesai. Butuh sekitar 20 menit untuk mata kanan saja.

Kemudian dilanjutkan dengan mata kiri. Tapi waktunya lebih singkat, hanya kurang lebih 10 menit. Total 666 tembakan laser untuk mata kanan dan 508 untuk mata kiri. Fiuh!

Selesai mengurus ini-itu, saya kemudian diantar pulang ke kos oleh Tulang dan Nantulang saya (yang datang pada saat saya berada di ruang gelap). Mereka khawatir bila saya naik angkot dengan kondisi mata masih sangat rabun dan peka cahaya begitu.

Sesampainya di kos, saya tidur. Malam itu saya tidur total 12 jam, karena besok paginya pun saya baru terbangun di pukul 10. Selasa itu, saya ijin masuk terlambat.

Hmm ... seandainya di Rabu itu saya memutuskan untuk bermain ke Detos atau Margo. *sigh*

And I thank God for that.

1.09.2009

Excerption (2)

I quoted the followings from a Japanese drama, titled Hero, ep. 10.
____________________

Kuryu Kohei:
In our kind of work, we can easily take a person's life. This applies to cops, public prosecutors, and also the media. With just a bit of selfish motive and a little carelessness, we can easily kill someone. Can we take it that nothing has happened?

The Cop:
We all want to do our best, but in reality it is not possible. They are just empty ideals.

Amamiya Maiko:
Can't you work holding on to your idealism?