8.31.2009

Bercerita tentang Sidikalang

Bila ingin ke Sidikalang, Anda harus menempuh perjalanan 4 jam berkendaraan dari Medan. Tanpa macet. Sebagian perjalanan Anda harus dilalui di sisi pegunungan. Sesekali, di sebelah kiri Anda adalah jurang. Maklum, Anda sedang menuju daerah dataran tinggi.

Belum lagi jalanan yang selalu rusak. Bila pun sudah diaspal, akan rusak lagi dalam beberapa waktu. Beban si aspal memang berat, entah bis besar, truk biasa, atau pun truk logging, berbagi dengan angkutan antar kota atau pun kendaraan pribadi. Maklum, itu jalan tercepat lintas Medan - Sidikalang. Ada juga sih, jalanan lain, yakni melewati Parapat ke Balige ke Siborong-borong, tapi ya .... bakal makan waktu hingga 9 jam, kalau tidak salah.

Apa sih yang bisa dilihat di Sidikalang? Rasanya tidak ada. Pantai Danau Toba? Letaknya bukan lagi di Sidikalang, melainkan di Silalahi. Perlu berkendaraan sekitar 45 menit untuk kemudian bisa sampai ke sana. Wisata pegunungan? Anda bisa mendaki ke Pusuk Buhit, tapi yah, lagi-lagi bukan di Sidikalang.

Sidikalang itu hanyalah sebuah ibukota kabupaten. Anda tidak akan menemukan bank lain selain BRI dan BPDSU di sana. Itupun tidak semua kantornya sudah online. Anda juga tidak akan menemukan bioskop karena ketiga bioskop yang dulunya aktif telah berubah fungsi. Bekas gedung Bioskop Sarma kini menjadi tempat Kebaktian Kebangunan Rohani Kristen, bekas gedung Bioskop Bako Raya kini jadi showroom kendaraan, sementara bekas gedung Bioskop Togar (tempat Ayah dan Ibu saya berkenalan), kini menjadi terminal angkutan Sidikalang - Medan.

Apalagi ya? Oh iya, Anda juga tidak akan menemukan restoran fastfood, tetapi Anda akan mudah untuk mendapatkan restoran Chinese, itupun dengan menu yang berkisar di bakmi saja. Ah, tapi jarang sekali restoran Chinese halal di sana. Jadi, teman-teman yang Muslim harus benar-benar memperhatikan merk usahanya, ya! Harus yang ada ada tulisan "Masakan Islam" atau "Halal", ya!

Juga, tidak ada toko buku besar. Toko buku yang ada di sana hanya menjual buku pelajaran. Jadi, sumber bacaan fiksi saya dulu adalah perpustakaan sekolah, taman bacaan (persewaan komik), atau teman yang kakaknya bersekolah di Medan. Serius, dulu saya sering sirik sama teman-teman yang Kakaknya kerap membawakan komik atau buku Enid Blyton dari Medan. Bagusnya, si Mama tetap membuat saya berlangganan majalah Bobo hingga kelas enam SD, sebelum diberhentikan oleh si Mama karena saya minta alih ke majalah Aneka. Majalah Bobo berhenti, tapi saya juga tidak berlangganan Aneka.

Ah, bila menuju Sidikalang, saya selalu melakukan hal ini. Membeli tiket angkutan umum ke Sidikalang model L300, mengambil duduk paling depan, dekat jendela. Begitu supir menjalankan mobil itu, saya kemudian menidurkan diri. Saya tahu, saya jadi melewatkan pemandangan sungai Sembahe begitu kendaraan itu keluar dari Medan. Saya jadi melewatkan deretan buah rambutan yang merah menggoda hasil daerah Binjai yang ada di pinggiran jalan Lubuk Pakam.

Saya tidak bernostalgia dengan daerah Bukit Kasih Sibolangit, tempat saya pernah menjalani retret tiga hari dua malam ketika SMP dulu. Retret itu berkesan bukan karena retretnya, tetapi karena retretnya berlangsung hanya beberapa bulan setelah pesawat Garuda jatuh di Sibolangit pada 26 September 1997. Ada ketakutan dan kekhawatiran yang tidak terjelaskan ketika itu. Bahkan ada efek psikologis buat saya karena saya merasa selalu mencium aroma bangkai selama retret itu. Fiuh! Semoga arwah para korban tenang di alam sana.

Tidur di mobil pun membuat saya mengorbankan pemandangan indah kota Berastagi karena Berastagi itu kota bunga dan buah. Jadi, bila Anda niat berwisata ke SumUt, jangan sekali-sekali melewatkan Berastagi! Dan Danau Toba serta Pulau Samosir, pastinya!

Biasanya saya terbangun begitu berada di Tanjung Beringin. Setelah desa Tanjung Beringin, kendaraan akan memasuki Sumbul. Secara spontan, saya biasanya akan mencari rumah no. 370. Itu adalah rumah seseorang yang dulu adalah sahabat pena saya dari SD hingga SMP, berkenalan di acara radio yang saya pegang dulu, kerap bertemu di kompetisi akademik antar kecamatan, ternyata kami masuk SMA yang sama dan sekamar di asrama pada cawu I kelas I SMA, dan kini menjadi teman sekos saya lagi. What a life! Saya jadi ingin tahu bagaimana reaksinya bila dia tahu saya selalu mencari no. 370 itu.

Keluar dari Sumbul, saya biasanya akan lebih emosional, karena sudah semakin dekat ke rumah. Saya harus melewati Simpang Tiga dulu. Jalan saya adalah yang ke kanan, tetapi yang ke kiri itu pun punya memori buat saya. Bila saya belok ke kiri, saya akan melewati makam Kakek dari pihak Ibu dalam waktu lima belas menit, melewati makam Kakek, Nenek, dan Namboru dari pihak Ayah dalam waktu tiga jam, dan sampai di asrama SMA saya dalam waktu 4 jam.

Melewati Simpang Tiga, saya akan selalu melihat ke kiri. Itu adalah desa Panji, tempat tinggal adik-adik saya yang beda Ibu. Mungkin saya berharap untuk melihat mereka berada di luar rumah mereka, walau saya tahu kemungkinan itu sangat kecil sekali.

Memasuki pusat kota kecil, melewati ini-itu, mengingat ini-itu, saya pun sampai di rumah, setelah melewati rumah saudara-saudara dari pihak Ayah. Biasanya, kendaraan umum akan menuju rumah saya dari ujung kiri jalan rumah saya supaya langsung ke terminal yang ada di ujung kanan sana. Kalau biasanya masuk dari ujung kanan, lebih banyak lagi yang bisa saya ceritakan. Bisa jadi kami melewati SD dan SMP saya, atau rumah Nenek dan saudara dari pihak Ibu, makam Adik saya satu-satunya, atau terminal yang menjadi tempat Ayah saya sehari-hari menjadi ketuanya. Mungkin saya akan lebih sentimen, karena di terminal itu pulalah Ayah saya menghembuskan napas terakhirnya.

Begitu mobil berhenti di depan rumah, pintu rumah no. 42 akan terbuka dan si Mama keluar menyambut saya. Hanya sekali kepulangan yang saya tidak mendapat sambutan itu, karena waktu itu saya memang tidak memberitahukan niat saya untuk pulang.

Karena semua orang saling kenal di kota Sidikalang itu, maka saya tidak pernah langsung masuk ke rumah. Saya menyapa para tetangga dulu. Kalau nanti saya pulang, saya tahu pertanyaan apa yang harus saya jawab, "Kapan kawin, Mon?" Fiuh!

Sidikalang memang tidak punya apa-apa selain durian, kopi, dan kemiri berlimpah. Tidak ada tempat wisata yang saya banggakan selain Taman Wisata Iman yang di dalamnya Anda akan menemukan miniatur rumah ibadah lima agama besar Indonesia, lengkap dengan pemukanya sehingga Anda bisa bertanya dan beribadah di sana. Ah, kecuali Pura, karena satu-satunya keluarga beragama Hindu yang dulu ada di Sidikalang kini sudah pindah. Ketika mereka pindah, saya pun kehilangan rekan menari tradisional dan kompetitor untuk memperebutkan juara tingkat kelas.

Satu-satunya alasan kenapa saya selalu ingin kembali ke Sidikalang adalah karena hati saya ada di sana.

8.21.2009

Folklor Menyikapi "Indonesia vs Malaysia"

Lagu "Rasa Sayange", batik, reog, dan sekarang Tari Pendet.

Saya tidak tahu pasti, apakah klaim ini milik siapa akan berhubungan dengan registrasi hak cipta nantinya. Walaupun saya memperkirakan kalau itu tidak menjadi hal besar karena registrasi hak cipta kategori seni haruslah mencantumkan siapa nama penciptanya. Apakah kita pernah tahu siapa pencipta karya-karya itu?

Tetapi, kali ini kita berhubungan dengan kepemilikan, bukan siapa penciptanya. Dalam kasus ini, dari sudut pandang kita sebagai orang Indonesia, pihak Malaysia-lah yang menjadi "pencuri".

Saya tidak akan membela Malaysia. Menyalahkan pemerintah Indonesia? Tulisan bernada seperti itu banyak beredar di internet. Tetapi, saya ingin melihat ini dari sudut pandang folklor. Mengapa? Karena saya pernah mengikuti kelas mata kuliah jurusan Antropologi itu ketika saya berkuliah dulu. Dan itulah yang membuat saya cenderung adem-ayem menghadapi berita-berita media massa mengenai topik ini.

Dalam studi folklor, lumrah bila beberapa daerah memiliki tarian, musik, lagu, legenda, mitos, lelucon, peribahasa, dll. yang mirip satu sama lain. Bahkan, kesamaan nama juga adalah bagian dari folklor! Tetapi setiap daerah akan menambahkan unsur-unsur baru ke dalam budaya folklor itu, tetapi tetap saja akan ada kemiripan dengan yang ada di daerah lain.

Manusia itu selalu berpindah tempat. Bersamanya, mereka membawa pengetahuan yang telah dipelajari di tempat sebelumnya kemudian menyebarkannya secara oral di tempat yang baru. Pengetahuan yang terkategorikan sebagai folklor adalah yang bersifat anonim alias kita tidak tahu siapa pencipta awalnya.

Di kemudian hari, akan ada proses pencatatan ulang folklor. Buku tarian, legenda, mitos, cerita rakyat, dll. itu tidak membuatnya kehilangan makna ke-folklor-annya karena penulisnya hanya berfungsi sebagai "pengumpul", bukan "pencipta". Pun, pengumpul tidak bisa mengklaim kalau itu adalah karya ciptanya.

Menyikapi "Indonesia vs Malaysia" ini, kita tidak mungkin meniadakan kemungkinan perpindahan tempat manusia-manusia sebelum kita. Jangan-jangan, Indonesia juga bukan tempat lahir folklor itu? Tak ada kepastian, kan?

Kita bisa bilang kalau punya mereka mirip dengan punya kita. Tapi apakah itu artinya mereka meniru? Tidak, karena dalam studi folklor, tidak ada kata meniru. Semuanya adalah pengetahuan bersama yang kemudian mengalami modifikasi di setiap daerah yang disinggahi oleh pengetahuan itu.

Ah, sebuah opini yang utopis.

________________________________


Fun fact:
Sumatra Utara punya cerita rakyat bernama "Simardan" dan ini mirip dengan kisah "Malin Kundang" yang berasal dari Sumatra Barat. Tidak percaya? Baca tentang Simardan di sini dan tentang Malin Kundang di sini, walaupun Anda pasti sudah familiar dengan kisah kedua itu. Nah, sebuah contoh folklor yang nyata, kan?