11.08.2007

Pikiran dapat Merusak Diri Sendiri

Saya menyimpulkan ini: pikiran dapat merusak diri sendiri. Ah, ya… ini hanya versi lain dari buah pemikiran yang umum tentang bagaimana melihat segala sesuatu secara objektif. Tentang bagaimana agar kita mampu melihat sesuatu tanpa melibatkan stereotype dalam penilaian yang kita lakukan.

Berangkat dari suatu pagi dalam rutinitas saya. Berhenti di stasiun Manggarai, saya pun berjalan kaki menuju terminal Manggarai untuk nantinya melanjutkan perjalanan dengan angkutan umum kopaja 66 menuju kawasan perkantoran Kuningan.

Dalam transit perjalanan kurang dari 10 menit itu, saya menyadari seorang pria berjalan di depan saya. Pria itu mengenakan rompi coklat dan membawa tas punggung berwarna hitam, berkantong banyak, dan terlihat penuh. Ujung rambutnya terlihat bersentuhan dengan kerah bajunya.

Awalnya saya tidak memiliki penilaian apapun. Sampai kemudian saya berjalan melewatinya karena langkah saya lebih cepat dari pria itu. Dua hal saja, dan itu cukup untuk menstimuli pikiran-pikiran negatif di diri saya: jenggot dan celana bahan hitam yang panjangnya hanya sampai di mata kaki pria tersebut.

Seketika stimuli itu memberi peringatan ke jaringan syaraf saya. Kata teroris dan bom memenuhi isi kepala saya. Jantung saya berdetak lebih kencang, langkah saya mengalami percepatan, dan kepala saya berkali-kali menoleh ke belakang. Pria itu masih tetap berjalan di belakang saya.

Rasa lega baru terasa ketika saya sudah duduk di dalam kopaja. Tetapi kemudian, pria itu pun ternyata menaiki kopaja yang sama dengan saya, tetapi dia tidak mendapat tempat duduk. Perjalanan sampai ke shelter Kuningan Madya Aini rasanya lebih lama dari pagi biasanya.

Sepanjang perjalanan, tak henti-henti saya melihat ke arah pria itu. Saya ingin bergerak cepat bila melihat suatu indikasi tindakan mencurigakan dari pria tersebut. Saya yakin, pria itu pun menyadari kalau saya memberi pandangan tidak biasa ke arahnya.

”Jembatan, jembatan.” Lega rasanya mendengar kondektur meneriakkan kata-kata itu. Saya pun bergegas dan berusaha untuk menjadi yang turun pertama. Saking leganya, saya butuh sekian detik untuk melangkah lagi.

Namun, kemudian rasa bersalah ini datang. Sampai sekarang. Karena, ternyata, hari itu tidak terjadi apa-apa sepanjang jalan. Pun tidak ada berita pemboman, di mana pun di Indonesia ini. Bahkan sampai hari ini.

Selama ini saya yakin, tidak semua Muslim itu adalah teroris atau para pembom. Saya punya sahabat, teman, sepupu, tetangga, rekan kerja, dan kenalan yang beragama Islam. Dan saya aman-aman saja, tuh. Demikian juga dalam pergaulan sehari-hari, saya tidak merasakan ada indikasi radikal dalam diskusi-diskusi kami. Keyakinan ini pun masih saya pegang sampai detik ini.

Walau demikian, saya tidak mampu menemukan alasan logis untuk anomali yang terjadi pada saya pagi itu. Karena itu, saya minta maaf kepada semua umat Muslim yang membaca ini. Namun, saya menemukan satu nilai kehidupan: betapa tidak menyenangkan hidup dalam prasangka.

Pikiran memang mampu merusak diri sendiri.