12.24.2008

Commodification and Christmas

I am barely watching TV lately. I blame my downloaded doramas that make me stick to my monitor.

But, it's Christmas moment. And I am betting on all my Japanese novels that most of the channels have already prepared what so-called their Christmas Special Program.

Another religion commodification.

What is this commodification thing? Can you find it in the dictionary? I can't. But, I will stick to that word because I can't find the literate word for what I am going to discuss here.


Prolog: Comodification
I heard it first from my senior's thesis. Coming from the word “commodity”, then modifying it with -fy. Literary, I define it as converting something-was-not-categorized-as-a-commodity-previously becomes a commodity. And everyone knows what commodity means: Things that give you a lot, lot of money.

Yup! I am talking about the capitalism bastards again!


Main topic: Christmas
What's Christmas, again? Can somebody tell me?

Oh, I remember! Isn't it a moment where Christians SHOULD celebrate Jesus' birth and the value beyond the birth? Or, has the meaning changed already? Even though I am being indifferent lately, I don't think it has changed. Because it is written in the BIBLE, for God's sake!

Then, why did those advertisements dance there? After every segment in what so-called Christmas Special Programs, I saw bunches of advertisements. Ah, yes ... it's a SPECIAL PROGRAM. And special programs means a lot of special sponsors, like the things I see in the Miss Universe broadcasting and so.

That's why they have annual special programs. And I just got another reason to dislike media's capitalism.


Beyond main topic: Religion Commodification
I remember making a paper for my Protestant Class back in college. I expressed my disagreement to those religion-based parties.

I don't have any grudge against any present political parties in Indonesia. And I don't affiliate with any.

I say: let politic stand alone. Having a religion as a base is considered a fraud. It's a religion commodification: they silently promoting that religion as their leading point compared to other more secular parties.

Leave the religion alone. Don't politize it. I have trauma from my childhood when these two sides fight each other to get the highest position in my church organization. I have enough with that!

Don't mix water and oil. You will have them ruined. You won't get any good of it. The only one way to get rid of them is fire. Set the fire, and the bad mixture will be gone.

I can smell anger in this writing. I can see moral judgment. And I won’t deny both this time.

12.18.2008

Penjahat Bahasa

Dua hari lalu saya menaiki busway bis TransJakarta dan terjebak di space kosong di belakang supir. Karena tidak memungkinkan untuk tidur maupun membaca, maka saya pun menghabiskan waktu dengan memperhatikan kerja bapak supir itu.

Ada empat tombol di bagian kanan bapak supir. Ternyata itu adalah tombol-tombol untuk mengendalikan pintu busway bis itu. Posisinya: dua di atas dan dua di bawah. Atau, bisa disebut: dua di kanan dan dua di kiri. You can choose, by the way.

Anyway, dua tombol di bagian atas dipisahkan dengan tulisan PINTU, sedangkan dua tombol di bawah diberi keterangan L dan R. Yap, untuk membedakan kiri dan kanan, mereka menggunakan bahasa Inggris: Left and Right.

It reminded me of something I've read before. Tahu Benny & Mice, kan? Nah, salah satu komik mereka yang paling memorable buat saya adalah yang berjudul "Telor English Setengah Matang". Memang demikian penulisannya: Kata "Telor" dicoret dan ditimpali dengan kata "English".

Dalam komik itu, Benny & Mice menyindir masyarakat Indonesia (including me) yang suka mencampuradukkan kata-kata bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dalam satu kalimat. "So, udah gimana?", "Well, gw juga ga tau pasti.", "Eh, you know what, gw kemaren ketemu sama si itu loh!", "Ayo, tackle aja pemain itu. Yah ... dapat red card, deh!", "Benefit yg gw dapat lumayan sih. It's better-lah dari yang sebelumnya." atau "Happy Birthday, ya .... Wish you all the best!" Dan masih banyak lagi.

Bahkan, saat menulis Benny & Mice pun, otak saya membacanya: benni-en-mais. Sahabat saya yang penggemar Benny & Mice pernah memarahi saya, "Njis, baca itu benni-en-mice!" Dia bahkan membaca "&" sebagai "en". Saya baru sadar itu, hueheheee ....

Ironis, karena ternyata kita (baca: bangsa Indonesia) jadi pihak yang paling merusak bahasa kita sendiri. Bagaimana mungkin kita bisa mengharapkan bahasa Indonesia jadi bahasa internasional kalau kita sendiri tidak menganggap penting untuk menggunakannya secara berkualitas?

Ini bukan hal yang saya dengar atau tonton sekali dua kali. Kesalahan repetitif sehingga tidak lagi dianggap salah. Coba, kalimat apa yang biasanya digunakan untuk bertanya kepada seorang pengguna bahasa asing, apakah dia mampu berbahasa Indonesia atau tidak?

Ini: "Can you speak Bahasa?"

Itu sama saja dengan menanyakan: "Can you speak LANGUAGE?"

Apakah terlalu melelahkan untuk bertanya: "Can you speak Bahasa Indonesia?"

Masih ada contoh kesalahan repetitif lainnya.

"Aku ga akrab dengan dia, secara aku jarang ngobrol ma dia." "Secara ya ... gw kan masih baru di sini."

Akhirnya kita menyalahartikan kata "secara" itu. "Secara" sekarang menggantikan fungsi kata "berhubung".

Sampai saat ini, saya boleh bersombong hati karena bisa bertahan dari terpaan "secara". Lalu, kenapa pula saya memakai subjek "kita" di paragraf sebelumnya? Ah, that's what they call majas pras pro toto.

Back to the topic. Saya bertahan dari "secara", namun gagal terhadap terpaan "lucu".

"Lucu" seyogianya dilabelkan pada sesuatu yang bisa membuat kita tertawa. Tetapi, in the end, saya juga jadi ikut-ikutan melabelkan kata "lucu" pada semua yang membuat saya tertarik. "Dompet ini lucu, ya.", "Ah ... cowo itu mukanya lucu, ya?"

Aarrgghh!! JS. Badudu, silahkan laporkan saya! Saya adalah salah seorang dari banyak penjahat bahasa di Indonesia ini!

Bahkan saya pun menulis dengan telor English setengah matang!

12.09.2008

Konvergensi Media

Hari ini Kompas online menulis tentang konvergensi media. Itu adalah sebuah keharusan, katanya, karena masyarakat modern tidak hanya membaca satu media saja. Maka, Kompas menuliskan kalau konsep media di masa depan adalah bentuk konvergensi itu.

Sebuah pembenaran untuk monopoli media? Hmm ... usah melihat ke masa depan, karena sudah demikian adanya, semenjak kata "industri" dilabelkan pada media di Indonesia ini. Tak heran bila opini mayoritas mudah terbentuk karena karakter masyarakat yang belum sepenuhnya melek media ini menerima satu jenis informasi yang menerpa dari berbagai sudut. Bentuk lain dari kebenaran publik terbentuk dari suara terbanyak?

Perlu UU ini dan UU itu untuk regulasi konvergensi? Ah, munafik! Perusahaan media adalah pihak yang paling mudah sekali membawa bendera kebebasan berekspresi (terutama kebebasan pers) bila suatu saat tersandung regulasi, padahal sudah jelas-jelas terbukti salah. Alasan mengapa kita masih mendapati narasumber rahasia, rekaman tersembunyi, dan cara-cara tidak etis lainnya? Mereka lupa kalau ada persyaratan yang harus diikuti bila menggunakan narasumber rahasia atau rekaman tersembunyi. Atau, sengaja dilupakan untuk memberi kesan "informasi berbahaya dari seorang yang kompeten" sehingga bisa meraih simpati pembaca? Salah satu bukti kehebatan politik media.

Inilah yang terjadi saat kapitalisme menyamar sebagai idealisme.

12.04.2008

Karena Sebuah Cangkul

Kakek yang akan saya ceritakan berikut ini adalah seorang yang saya kenal di kampung halaman saya. Selayaknya kota kecil, setiap orang umumnya tahu kisah orang lain, terutama mereka yang sudah tinggal lama di situ. Sayangnya saya tidak bisa lagi mengonfirmasi cerita ini karena Kakek itu sudah meninggal.

Begini kisah yang saya dengar.

Dulu, di masa mudanya, beliau bekerja sebagai petani di daerah yang jauh lebih terpencil dibandingkan kampung halaman saya itu. Saat berada di sawahnya, seseorang yang dikenalnya datang dan memberi cangkul kepadanya. Cangkul itu akan menjadi haknya bila dia memberi cap jempol di kertas yang dibawa si pemberi cangkul tersebut.

Syarat yang sederhana. Maka beliau pun setuju, tanpa tahu daftar apa yang ditandatanganinya itu. Maklum, beliau buta huruf.

Kenyataan baru terungkap saat pemerintah mulai memberantas Partai Komunis Indonesia (PKI), segera setelah kasus G30S/PKI. Ternyata daftar yang dicap jempol oleh kakek itu adalah tanda keikutsertaan sebagai anggota PKI.

Sebuah cangkul dan seseorang yang buta huruf. Ironis.

Berpuluh tahun kemudian, putri bungsunya hendak dilamar oleh seorang anggota militer. Tetapi bangsa ini tahu apa yang terjadi pada keturunan seseorang yang pernah memiliki keterlibatan dengan PKI. Akhirnya Kakek itu melepas statusnya sebagai seorang ayah. Putrinya itu didaftarkan sebagai anak adiknya. Statusnya berganti dari ayah kandung menjadi paman.

Karena sebuah cangkul.

Ada pula kisah lain. Tentang seorang pengajar di tempat saya berkuliah dulu. Ini pun tidak bisa saya konfirmasi langsung karena hubungan saya dengan beliau tidaklah sedekat itu.

Bapak itu telah lama menjadi asisten pengajar, tetapi tidak pernah bisa diproses menjadi dosen. Alasannya, kakek beliau pernah memiliki keterlibatan dengan PKI.

Bagusnya, kali ini beliau sudah mendapat pengakuan sebagai dosen. Efek positif dari orde reformasi?

Di tahun 2005, saat saya magang sebagai reporter di salah satu televisi swasta, saya berkesempatan untuk menemani reporter senior meliput sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Itu adalah sidang class action menuntut pertanggungjawaban para presiden RI - mulai dari Soekarno sampai Soesilo Bambang Yudhoyono - atas kerugian material dan immaterial yang dialami para penuntut. Para penuntut adalah anak, cucu, dan cicit orang-orang yang tercatat pernah memiliki keterlibatan dengan PKI. Selain tuntutan ganti rugi material, mereka menuntut supaya mereka tidak mendapat getah untuk suatu hal yang tidak mereka lakukan. Sederhananya, bukan mereka yang terlibat dengan PKI, tetapi mengapa mereka harus menanggung akibat keterlibatan ayah, kakek, atau buyut mereka di organisasi tersebut?

Tuntutan mereka yang lain adalah agar pemerintah menghapuskan pasal yang menyebut PKI sebagai partai terlarang.

Saya pribadi tidak setuju kalau pasal itu dihapus. Apakah film G30S/PKI yang dulu diputar di TVRI setiap tanggal 30 September itu berhasil mendoktrinisasi otak saya? Mungkin. Saya selalu mengangap sejarah politik sebagai kreativitas mereka yang memegang kuasa. "Realitas itu semu, Kawan!" ujar pengikut mazhab kritis.

Ketidaksetujuan saya juga bukan karena ideologi komunisme yang mereka anut, tetapi karena proses rekruitmen mereka yang sungguh tidak bersih. Memberi cangkul pada seorang petani buta huruf lalu memintanya mencap jempol tanda keanggotaan? PKI menjadi terlarang karena mereka sudah menjalankan cara yang terlarang, itu menurut saya. Ah, saya menunggu banyak partai lain untuk mendapat cap ini juga, karena "serangan fajar" masih dipakai di pelosok-pelosok sana.

Tetapi ketidaksetujuan itu tidak jadi alasan untuk memberi "getah cempedak" kepada para keturunannya. Karena, bisa jadi, semuanya hanya bermula dari proses barter sebuah cangkul gratis dengan sebuah cap jempol.

__________________
*edited at Dec 5th, 2009 for making a better plot.

12.01.2008

Perempuan yang Berhenti di Gambir

Sabtu lalu, di sekitar pukul lima sore, saya melihat perempuan itu di stasiun Juanda. Kami berdiri di peron Bogor, hanya berjarak sekitar satu meter. Dia menarik perhatian saya saat dia bertanya kepada petugas kereta api yang ada di sekitar situ, dengan suara agak berteriak. "Pak, ini kan kereta yang berhenti di Gambir?" Dia bertanya segera setelah petugas mengumumkan kereta Depok Express akan memasuki stasiun Juanda. Sepertinya kami sedang menunggu kereta yang sama.

Si kereta yang dimaksud ternyata tidak langsung datang. "Kalau memang mau ke Gambir, naik ojek aja. Ngapain mesti naik kereta. Ekspres, lagi!" Itu yang singgah di kepala saya, karena Gambir adalah stasiun pertama setelah Juanda.

Saya amati dia. Perempuan itu memakai jilbab putih, jenis yang ringkas pemakaiannya. Memakai baju bahan kaus berlengan panjang berwarna hijau. Saat dia menggerakkan badan, saya melihat sekilas tulisan di punggung bajunya. Itu tipikal baju angkatan SMU yang menuliskan nama-nama anggota satu kelas tertentu. Di bawah deretan nama-nama itu, tertulis Angkatan 2004 - 2007. "Hmm, masih di bawah umur gue," demikian asumsi saya.

Dia memakai celana panjang berwarna coklat. "Oke, itu bukan perpaduan warna yang baik." Lagi-lagi muncul penilaian negatif di kepala ini. Kemudian pandangan saya beralih ke bagian kakinya. Di kakinya terpasang sendal jepit berwarna merah muda. "Ah, semakin kacau saja penampilan adik ini." Saya yang gaya berpakaiannya kerap dikritik pun bisa berpikir demikian.

Lalu pandangan saya naik, kembali ke arah wajahnya. Saya terkesiap saat melihat air matanya menetes dan dia terburu-buru untuk menghapusnya. "Ada apa gerangan?" Saya semakin penasaran. Tetapi saya belum menemukan timing yang tepat untuk memasuki personal bubble-nya.

Depok Express pun datang. "Ini saatnya," terpikir rencana sederhana di kepala saya. Saat kereta berhenti, saya sengaja bergerak mendekati perempuan itu, berharap supaya kami memasuki pintu yang sama. Dan memang demikianlah yang terjadi.

Karena kereta sedang sepi, dia segera mendapat tempat duduk. Kesempatan bagus buat saya, karena di sebelahnya pun kosong. Tak saya sia-siakan, saya pun segera duduk di situ. Tanpa menunggu lama, ternyata dia sendiri yang memulai percakapan dengan saya. "Mba, ini nanti berhenti di Gambir, kan? Habis ini Gambir kan, ya, Mba?"

"Iya," jawab saya. "Kenapa tadi ga naik ojek aja, kalo memang mau ke Gambir?" Saya berusaha menuntaskan rasa penasaran saya.

"Saya ga sempat Mba, kalau memang naik ojek. Takut keretanya ga keburu."
"Mba mau ke luar kota ya? Ke mana?" Saya tidak lagi mendebat logika jawabannya. Tidak ada waktu, karena kereta sudah memasuki stasiun Gambir.
"Surabaya, Mba. Bapak saya meninggal."

Jeger! Pantas dia tidak lagi memperhatikan cara berpakaiannya. Pantas ada aroma tak sedap dari badannya, karena saya yakin dia tidak lagi sempat untuk mandi dan bersalin. Pantas dari tadi dia selalu memandang ponselnya. Pantas dia terlihat begitu tidak sabaran ketika menunggu kereta datang di Juanda.

Pantas air matanya menetes.

Saat dia berdiri menanti pintu terbuka di stasiun Gambir, saya hanya mampu menatap punggungnya. Tak ada pemikiran apa-apa di kepala saya. Kosong.

11.27.2008

Liverpool's and Chelsea's Draw Results

Note:
Actually, this was published in my hubpages, but I decided to close mine for some (hopefully) idealistic reasons. So, here I move the one and only article I ever had there, with context's adjustment.
_________________________________________

Last weekend, Liverpool FC had a match against Fulham for the Barclay's Premier League. The Reds were only able to get one point.

As a Liverpool's fan myself, I felt a little bit disappointed since I was in a big expectation for the league's trophy (and I am still). Liverpool FC was in the second while Chelsea FC lead the temporary result. Both shared the same points, but Chelsea had the goals margin.

Actually, Chelsea's players could save the place if only they won and got a three-points. If only ....

Unfortunately (for them), they had a same destiny with Liverpool. Manchester United as well. The other big four - I talk about Arsenal FC here - had to face the lose.
Isn't it a funny coincidence between Liverpool and Chelsea?

_________________________________________

Updated at Dec 23rd, 2008

Wow! Another funny coincidence. OK, it's not funny anymore. It becomes annoying for a fan like me.

Liverpool came to Emirates Stadium two days ago. And The Reds got only one point from that Arsenal's clash. Chelsea had theirs the day after. "Theirs" refers to the match and the one point as well.

Why? Why can't Liverpool widen the gap with Chelsea? Why are both of them having the same results lately?

Aarrgghh ... I am annoyed since boxing days is just days more. It's in this week!

But, I think, I should be happy for Chelsea having a draw, because I would feel otherwise if they won. :D

11.23.2008

Excerption (1)

Followings are excerpted from Kurosagi - a Japanese drama - ep. 8.
___________________


Sumiko (to Yoshikawa):
“Have you ever tried to imagine the continuation of Cinderella's story?”

“Cinderella and the prince got married and lived happily ever after. Everyone is satisfied with this ending and shuts the book. But ultimately, they might not be able to get over the barrier of their status difference. The prince might have an affair. Their life begins only after the story ends.”

“When something happens, let's say, when the culprit is caught, society will deem the case closed. But to the victim and the ones involved, they will continue to live on forever in the incident.”

….

Kurosaki (to Yoshikawa):
“ …. It may be a thing of the past to the TV and newspapers, but until the victim himself decides so, the story will never end.”

11.17.2008

Kelima Orang Itu …

Ini kejadian di Sabtu lalu. Dimulai dengan adegan saya memasuki gerbong KRL (kereta rel listrik) kelas ekonomi di stasiun Juanda.

Penumpang di gerbong itu cukup padat, terlihat dari jumlah penumpang yang berdiri, bahkan agak berdesak-desakan. Tetapi ada satu bagian tempat duduk yang sama sekali sepi alias tidak ada penumpang yang berdiri menghadap tempat duduk itu. Memang ada yang berdiri di area itu, tetapi para penumpangnya lebih memilih untuk membelakangi siapa pun yang duduk di situ.

Karena penasaran sekaligus ingin membuat diri nyaman, saya berjalan ke arah area kosong itu. Mirisnya, saya kemudian mengerti alasan para penumpang menjauhi tempat itu.

Ada lima orang waria yang duduk di situ, masing-masing dengan pakaian mencolok, kosmetik yang bagus, dan peralatan mengamen. Tidak ada yang tertidur, pun mereka tidak membuka percakapan sendiri. Kelimanya mengamati isi kereta. "Apakah ini kali pertama mereka menaiki kereta, atau apakah mereka merasa diasingkan?" Pertanyaan itu berkelebat di kepala saya, walaupun saya masih sibuk dengan ponsel di tangan saya.

Beberapa saat setelah saya memasukkan ponsel ke dalam tas, seorang pedagang asongan lewat dan berkata ke arah kelima waria itu, "Eh, kasih duduk dong, tuh ibu-ibu. Elu-elu pada kan jantan!" Saya hendak protes karena disebut ibu-ibu, tetapi tertahan saat melihat perubahan di wajah mereka. Karena mereka disebut jantan?

"Duduk, Mba?" Waria yang memakai baju merah menawarkan untuk berbagi tempat duduk dengan saya.
"Ah, ga usah. Saya turun di UI, kok." Saya bingung, sebaiknya memakai sapaan Mas atau Mba.
"Itu mah jauh. Kita turun di Pasar Minggu." Ujar yang memakai baju warna hitam yang duduk di sebelah yang berbaju merah.

Saya pun memutuskan duduk di antara mereka berdua. Si berbaju merah pun mengajak saya bercanda, "Kan saya jadi ikut kelihatan cantik kalau Mba duduk di dekat saya." Itu jelas-jelas sebuah candaan dan basa-basi belaka.
"Saya mah, kalah jauh cantiknya sama Mba. Dandanan Mba bagus gini. Pakaiannya juga cantik." Itu adalah fakta. Itu pula alasan kenapa saya putuskan untuk menggunakan Mba.
"Ih, Mba, secantik apapun saya dandan, tetap kalah cantik sama yang asli." Mengapa kalimat ini menimbulkan simpati saya?
"Masa sih, Mba berpikiran begitu?"
"Ember." Dilengkapi dengan gerakan sedikit menepuk lengan kiri saya. ("Ember" adalah bahasa slang, singkatan dari "emang bener".)

Setelah hening sejenak, saya lalu bertanya ke yang berbaju merah, "Ini baru pada mau kerja atau udah pada kelar?"
"Baru keluar, Mba. Kita mau keliling Pasar Minggu." Diakhiri dengan sebuah senyuman manis.

Kereta berhenti di stasiun Manggarai. Seorang Ibu masuk dan berdiri di depan saya. Saya pun menawarkan tempat duduk saya kepada Ibu itu. Bukan karena saya adalah generasi muda yang baik hati, tetapi karena dada saya berdebar kencang ketika duduk di antara mereka.

Rasa insekuritas akibat pikiran yang sudah dirusak oleh prasangka negatif? Mungkin.

Mereka pun merasa tidak aman, sebenarnya. Pada saat berdiri menunggu kereta berhenti di Pasar Minggu, mereka saling berpegangan tangan seperti segerombolan anak TK yang hendak piknik. Apakah mereka merasa takut berada di antara komunitas yang menganggap mereka tidak normal?

Adalah sebuah kebiasaan bagi penumpang-naik untuk menerobos masuk ke dalam kereta, tidak mempersilakan para penumpang turun lebih dahulu. Pantas 'kan bila saya miris melihat para penumpang-naik membuka jalan lebar-lebar bagi kelima waria itu?

Kereta pun berjalan meninggalkan Stasiun Pasar Minggu. Saya masih berdiri. Kuping saya menangkap pembicaraan antara dua orang penumpang yang baru saja naik.

"Ih, banci tadi .... Seram banget gue ngeliatnya. Gue bahkan sampai mundur waktu liat mereka turun. Gue takut lihat bencong." Ujar salah seorang di antaranya.

Mereka memang menentang hakikat biologis mereka. Bisa jadi mereka beranggapan kalau mereka adalah perempuan yang terjebak dalam raga laki-laki. Tetapi apakah itu adalah alasan untuk merasa takut pada mereka? Apakah tepat untuk menempelkan kata menyeramkan pada diri mereka? Apakah kita harus menggunakan kata banci dan bencong? Ah, jadi teringat majas peyoratif dan amelioratif dari pelajaran Bahasa Indonesia di SLTP dulu.

Media memang memberitakan kriminalitas yang dilakukan oleh kaum queer (transeksual, transgender, gay, dan lesbian). Untuk kriminalitas yang sama, kenapa prasangka lebih negatif kepada pelaku queer daripada terhadap pelaku bukan queer?

Saya pernah menuliskan kalau kita tidak pernah bisa memilih menjadi perempuan atau laki-laki, tetapi kita bisa memilih untuk menjadi manusia yang lebih baik. Tetapi komunitas kita memang masih mengkategorikan manusia atas dua jenis saja, perempuan atau laki-laki. Tidak ada kelompok queer di dalam komunitas (yang kita sebut) normal ini.

Sayangnya, pertemuan dengan kelima orang itu belum cukup menjawab pertanyaan saya: Bagaimana bila saya berada dalam posisi mereka?

11.15.2008

A Little Girl's Story

A ten year little girl was sitting on her daddy's lap when the daddy said this, "Little girl, you have to keep your hair long, OK?"

"OK, Dad." Little girl answered quickly.

Three days later, the daddy was called to come with the Most Powerful Daddy.

That little girl kept her promise till the day she was accepted in her senior school where female students' hair must be shorter than the uniform's collar. "Daddy, what should I do? I am willing to keep my promise to you, but I do want to enter that school."

The little girl cried in her daddy's cemetery. Only the sunset heard the girl's wailing. An hour later, the gravitation called the hairs down as well as the water from her eyes.

It’s been 9 years since that little girl shortened her hair. She had her hair lengthened after her senior graduation.

But she still feels guilty.

11.10.2008

"Kenapa Semuanya Harus Seimbang?"

Seorang kenalan baru di goodreads bertanya, "Kenapa semuanya harus seimbang?".

Pertanyaan itu bertahan di kepala saya selama akhir pekan ini. Itu adalah pertanyaan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Keseimbangan. Apakah itu arti lain dari keadilan? Mencoba membedakan keduanya, saya teringat permainan jungkat-jungkit.

Ada saat di mana si A ada di atas sedangkan si B menjadi pemberat di seberang sana. Keadilan adalah saat si B yang ada di atas dan tugas pemberat ada di badan si A.

Keseimbangan adalah momen di mana tak ada yang di atas maupun di bawah. Jungkat-jungkit itu berada dalam posisi mendatar. Keseimbangan adalah saat di mana si A tidak merasa B memiliki sesuatu yang seharusnya bisa dimilikinya. Keseimbangan adalah saat di mana si B tidak ingin si A mengalami kekurangan yang dialaminya.

Tetapi, sampai baris ini pun saya belum mampu menjawab "Kenapa semuanya harus seimbang?".

Dalam kedangkalan pikiran saya, keseimbangan adalah bagian dari dunia yang utopis. Dan sama seperti konsep utopia, keseimbangan bisa menjadi membahayakan ("Keseimbangan itu bukan keadilan!") tetapi menjadi sebuah imajinasi yang memberi harapan bagi masa depan yang lebih baik.

Keseimbangan, sama seperti dunia yang utopis, juga bisa menjadi sebuah kemungkinan yang tidak mungkin direalisasikan. Sama seperti dua orang anak yang bermain jungkat-jungkit, mereka punya "kekangan waktu untuk bermain", "rasa lelah sebagai manusia", bahkan "mortalitas jungkat-jungkit itu". Tetapi saya punya keyakinan kalau manusia bisa "membangun jungkat-jungkit baru", "menyediakan waktu untuk bermain jungkat-jungkit", dan "tidak mempedulikan rasa lelahnya".

Memikirkan dan mencoba menahan diri agar tidak membaca apapun yang pernah ditulis orang lain tentang konsep keseimbangan, saya memutuskan untuk tidak lagi bertanya kenapa semuanya harus seimbang. Mungkin saya bisa mencoba beropini dengan mengatakan, "Karena itu yang diinginkan oleh banyak orang.", "Karena keadilan juga selamanya tidak adil bagi kompleksitas manusia.", atau "Karena manusia harus dihindarkan dari keinginan untuk menukarkan penderitaannya dengan kesenangan sesamanya." Tetapi saya tidak akan menjawab itu (walau saya sudah menulisnya di sini).

Bagi saya, keseimbangan adalah tujuan, bukan alasan untuk melakukan hal-hal selanjutnya.

Sama seperti balasan saya kepada kenalan baru saya itu.

Kenapa harus seimbang, ya? I'll take time to think about it. Biar jawaban saya ga keliatan bodoh. :P

Tapi saya jadi terpikir begini. Kenapa karma ada? Karena dunia berharap ada keseimbangan. Kenapa ada konsep surga-neraka, baik-buruk? Karena keseimbangan.

Alasan yang sama kenapa ada dikotomi hitam-putih. Tetapi ada banyak orang yang memilih untuk jadi "abu-abu".

Jadi, sekarang saya bertanya, "Bagaimana caranya untuk meraih titik yang seimbang itu?"


Kredit foto: www.indonetwork.co.id

11.06.2008

Karena Obama Berkulit Hitam

Menjelang electoral vote lalu, muncul keraguan kalau Efek Bradley akan terjadi. Barack Obama memang memenangi banyak polling pra electoral vote di AS. Tetapi Obama adalah seorang kulit hitam dan rasisme masih menjadi identitas negara itu.

Saya adalah salah satu yang berharap agar Obama menang. "Tahunnya kulit berwarna", demikian judul salah satu email di milis yang saya ikuti. Bukan karena saya mengikuti perkembangan politik AS, tetapi karena saya pernah membaca tentang rasisme dan pergerakan skin head di negara itu.

Ironisnya, bagi saya, Obama memenangi serangkaian pemlihan itu justru karena dia adalah seorang kulit hitam. Itu bermula dari pilihan dua identitas marjinal yang disediakan Partai Demokrat: mendukung perempuan atau mendukung kulit hitam. Feminisme atau rasisme?

Pergerakan feminisme lebih ke arah kultur, sedangkan rasisme memiliki sejarah politis. Dunia lebih bisa menerima pemimpin pria berwarna kulit apapun dibandingkan seorang pemimpin perempuan berkulit putih. Bagaimanapun, seberapa liberal pun dunia ini sekarang, calon pemimpin perempuan punya lebih banyak tantangan dibandingkan calon pemimpin lelaki. Perempuan harus membuktikan skill dan kemapanan emosionalnya agar dapat diterima masyarakat yang akan dipimpinnya. Lihat saja, bahkan cara berpakaian Hillary Clinton pun menjadi sasaran kritik! Hmmm ... sepertinya Rod Lurie, dkk. harus memperpanjang serial Commander in Chief, nih.

Obama kemudian menjadi calon presiden dari Demokrat, berhadapan dengan McCain. Kesalahan terbesar McCain bukan pada kebijakan politik, latar belakang, maupun cara dia menyerang Obama, tetapi karena strategi McCain yang mengajak Sarah Palin sebagai wakilnya. Menghadapkan marjinalitas dengan marjinalitas, McCain? Lihat saja apa yang terjadi pada Ms. Clinton!

Saat ini orang-orang berusaha memperjuangkan kaum marjinal agar tidak lagi terpinggirkan. Dalam kasus AS, yang menjadi kaum marjinal (no particular order) adalah kulit hitam, perempuan, dan queer. Ketika ada momentum seperti ini, bila ditanyakan mana yang paling diijinkan jadi pemimpin, bukankah pilihan akan jatuh ke pria kulit hitam yang bukan queer? Itu retoris. Ketika kulit hitam dihadapkan pada kulit putih, lagi-lagi dengan alasan perjuangan bagi kaum marjinal, kulit hitam akan menjadi pemenang.

Apakah kemenangan Obama menjamin rasisme akan menghilang? Tidak. Seperti yang saya sebut di atas, rasisme di belahan dunia mana pun, berkaitan dengan sejarah politik yang sudah berurat berakar. Lalu, apakah ini memastikan Obama dapat menjadi menjadi pemimpin yang baik yang membawa perubahan, sesuai dengan tagline kampanyenya?

Untuk itu, Obama harus belajar dari Lewis Hamilton. Hamilton menjadi pemenang F1 tahun ini, bukan karena dia berkulit hitam, tetapi karena dia adalah hasil sinkronisasi skill, taktik, pabrikan, dan mekanik.

Ditambah ketidakbecusan kompetitornya.



Kredit foto:
Obama: www.kompas.com
Hamilton: www.detiksport.com

11.04.2008

If Tomorrow Never Comes

Ada tradisi mangandung dalam sub-etnis Batak Toba. Ini adalah meratapi jenazah seseorang sambil melantunkan syair atau kalimat curahan kesedihan hati. Bila "meratapi" diterjemahkan menjadi "mangandung", maka "ratapan" menjadi "andung-andung".

Saya ingat salah satu andung-andung Mama ketika Bapak saya meninggal di 26 April 1993. Mama, di antara deraian air matanya, menyebutkan kalau sampai kematiannya datang, Bapak tidak pernah mengatakan holong (sayang) kepada Mama.

Saya adalah seorang anak perempuan yang dibesarkan dengan keinginan untuk mendapatkan pria pejuang cinta seperti Bapak saya. Lepas dari kenyataan bahwa Bapak harus menyerah kepada kondisi alaminya sebagai seorang lelaki dan seorang Batak konservatif, semua orang di sekitar keluarga kami bisa melihat dengan jelas bagaimana besarnya rasa holong Bapak kepada Mama.

Ini hal yang tidak pernah saya bicarakan secara gamblang dengan Mama, tetapi saya tahu Mama pun meyakini hal yang sama. Itulah alasan kenapa beliau bertahan dalam tekanan tradisi yang harus kami hadapi. Keyakinan yang sama juga yang membuatnya tidak menikah sampai sekarang. Bapak sudah menetapkan standar yang terlalu tinggi dalam hidup Mama.

Ada yang menyebutkan, rasa sayang tak harus diucapkan dengan kata-kata karena perbuatan mampu menyampaikannya dengan lebih jujur. Tetapi, Mama saya tetap merasa ada yang kurang saat pengungkapan itu tak didapatkannya dan tak akan pernah. Rasa "ada yang kurang" itu bukan pada yang seharusnya mengucapkan, tetapi pada pihak yang ingin mendengarnya.

Sebuah contoh sempurna untuk "if tomorrow never comes."

11.03.2008

Without Computer and Love?

I had my hard disk damaged. It was begun with the late awareness of virus existence in my computer and ended with ensuring myself not to act a genius in computer thingy. My computer? It can't be operated till a new hard disk installed.

Beforehand, I thought I couldn't live without my computer (stressing at my computer, not computer in general). Apparently, I still have my days running as strange as usual. I am still thinking about things, still sharing them here (using my office's computer).

But, I am in urge for buying a new hard disk. Yes, I can live without my computer. I just don't want to.

Does it sound like loving someone? We can live without our beloved one. “You can turn off the sun, but I am still gonna shine,” Jason Mraz sang. But, do you want to live without him or her?

So, what's the cheesiest line in a love story or a love song? Yeah, the "I can't live without you!" line.

10.30.2008

Lagu Anak-Anak, Keluarlah dari Persembunyianmu!

Sewaktu melewati Perkampungan Kingkit tadi pagi, saya sengaja memperlambat langkah saya karena mendengar lagu anak-anak dari speaker Abang Odong-Odong (benar kan, itu namanya?). Rasanya menyenangkan mendengar lagu anak-anak bertema sederhana seperti itu.

Saya pernah menjadi penyiar radio untuk acara anak-anak selama hampir lima tahun. Dalam ingatan saya, lagu anak-anak berkualitas yang terakhir diproduksi itu adalah album Sherina. Bahkan Sherina pun sekarang sudah mengeluarkan album dewasa!

Ah, ya, anak-anak masa kini mengikuti selera orang dewasa. Mereka dicekoki dengan Peterpan, Ungu, dan band-band populer lainnya (populer, bukan berkualitas). Sepupu saya buktinya. Dia bahkan sudah memasang poster Ungu di kamarnya pada saat dia masih duduk di kelas 4 SD! Salahkan soundtrack sinetron yang mengambil alih atensi masyarakat, dan anak-anak adalah pihak yang paling gampang terkena exposure ini.

Pada akhirnya, anak-anak dianggap lumrah menyanyikan lagu dengan lirik yang kurang mendidik, mengikuti sinetron yang menampilkan kekerasan, menonton talk show yang hanya mengajarkan stereotip negatif. Dan saya akan berhenti di sini, sebelum saya sampai pada topik kapitalisme, komodifikasi, efek media, dan psikologi pendidikan yang ideal.

10.13.2008

Mexron Ronny Herbert Sihombing

Saya teringat lagu Susan dan Ria Enes zaman kecil dulu, tapi entah lagu yang mana. Ada bagian yang menyebutkan, "Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama." Karenanya, saya terpikir untuk membuat tulisan dedikasi bagi anggota keluarga yang sudah berpulang ke Yang Esa, agar nama mereka tetap teringat. Saya rencanakan akan ada satu tulisan untuk setiap orangnya.

Untuk kali pertama, saya akan bercerita tentang adik lelaki saya, bernama Mexron Ronny Herbert Sihombing. Orangtua saya sepertinya memang tertarik dengan pola "tiga nama ditambah marga", di mana, kalau dipikir-pikir, ketiga nama yang ada di saya dan almarhum adik saya itu adalah nama yang biasa dipakai jadi nama depan. Anda bisa menemukan orang bernama Mexron, Ronny, juga Herbert, seperti yang juga bisa dilakukan pada nama saya.

Mex lahir pada 21 November 1984. Perbedaan umur kami hanya 14 bulan.

Kata Mama, Mex lahir dengan berat mencapai 5,5 kg. Kulitnya putih dan rambutnya lebat. Selalu ingin digendong dan kalau dilepas, pasti menangis. Mama pernah bilang, "Mungkin Mex tahu kalau dia hanya sebentar hidup di dunia ini, makanya dia gak mau lepas dari Mama."

Kata Tulang Pudan* saya, beliau selalu keberatan bila Mama memintanya menjaga Mex sementara saya dibawa oleh Mama.

"Si Mex ma boan, Ka. Si Mona ma hujaga."
"Boasa haroa?"
"Holan na tangis molo dang adong Kakak. Ingkon Kakak do mangoppa ibana. Molo ahu, holan na tangis do annongan si Mex."


"Si Mex-lah bawa, Kak. Si Mona aja yang kujaga."
"Memangnya kenapa?"
"Nangis terus (si Mex) kalau Kakak ga ada. Harus Kakak yang menggendong dia. Kalau aku (yang gendong), nanti si Mex nangis terus."

Sejujurnya, tak ada yang saya ingat tentang Mex, karena setelah Mex lahir, saya sering dititipkan di rumah Ompung** yang berjarak 10 menit berjalan kaki dari rumah kami. Foto yang kami punya pun hanya selembar, yakni gambar Mex yang sedang terlentang di tempat tidur. Memang, terlihat kalau Mex adalah bayi putih, gemuk, menggemaskan, dan berpotensi jadi pria ganteng di masa dewasanya.

Adalah suatu kebiasaan untuk merayakan ulang tahun pertama seorang anak. Jadi, sekitar seminggu sebelum perayaan ulang tahun Mex, Mama sudah beli ini itu untuk bahan makanan pesta ulang tahun itu. Mama juga sudah menyebarkan undangan buat anak-anak kecil dan keluarga. Tetapi, Mex jatuh sakit empat hari sebelum ulang tahunnya. Kata Mama, ada memar biru di bagian lehernya.

Mex diopname di rumah sakit di kampung halaman saya (sekitar 4 jam dari Medan), kemudian dipindahkan ke rumah sakit yang lebih modern di daerah Kabanjahe (sekitar satu jam dari Medan). Pada 19 November 1985, Mex meninggal di Kabanjahe.

Saat disemayamkan di rumah kami, bahan makanan yang tadinya hendak diolah untuk merayakan ulang tahun Mex akhirnya dimasak untuk orang-orang yang datang untuk melayat jenazah satu-satunya adik kandung saya itu.

Dan, Mexron Ronny Herbert Sihombing pun dimakamkan pada 21 November 1985, tepat di hari ulang tahun pertamanya.


________
* Tulang Pudan adalah singkatan dari Tulang Siampudan. Tulang adalah panggilan di suku Batak Toba untuk saudara laki-laki Ibu. Siampudan berarti anak bungsu.
** Ompung dimaksudkan untuk menyebut Kakek atau Nenek.

10.10.2008

Can't wait: Liverpool FC vs Atletico Madrid

I can't wait till October 22nd. It is the matchday of Champions League Group Phase when Liverpool FC comes to Vicente Calderon Stadium to face Atletico Madrid.

I want to see how some players will play against their ex-club.

In Liverpool, we have Fernando Torres. He was the Prince of Atletico Madrid before coming to Liverpool (and already set his name in LFC's history). And yet this time he plays in Atletico's.


In Atletico Madrid, I see Luis Garcia and Florent Sinama-Pongolle. OK, I don't remember any about Pongolle since I became a fan when he wasn't in the squad anymore, but I was a fan of Luis Garcia when he wore the Reds' jersey. I remember he was ranked 24th in the 100 Players Who Shook the Kop online poll.

Why does this thing matter to me? Personally, I always give credit to those football players who still appreciate his ex-club and his ex-club's fans. The critical moment is after netting a goal to his ex-club. Will he or won't he celebrate his goal? How will he celebrate his goal?

I am not a fan of Christiano Ronaldo. But I do agree that he is a great player and I have one positive impression about him. When Manchester United played against his ex-club, Sporting Lisbon, he netted a goal yet he didn't make any celebration.

Off course I am not expecting Pongolle nor Garcia makes a break to Rheina's net. Off course I am expecting Torres scores goals and Liverpool wins the match. But, if one of the three players scores a goal, what will they do after hand?

I can't wait.


Credit: photo by www.liverpoolfc.tv

9.18.2008

Kos Lily, 18 September 2008

Dulu, waktu kerja di daerah Setiabudi.
Mba A : "Mon, lu tinggal di mana?"
Saya : "Oh, gw ngekos di Depok, Mba."
Mba A : "Depok? Kos? Jauh amat. Kenapa ga pindah kos dekat-dekat sini aja?'
Saya : "Cuman naek kereta sama naek 66, kok, Mba. Lagian itu udah kos dari zaman kuliah. Udah nyaman banget, Mba."


Sekarang, di tempat kerja saya di daerah Juanda.
Ibu B : "Mona, kamu tinggal sama orangtua?"
Saya : "Gak, Bu. Saya kos di Depok."
Ibu B : "Apa gak kejauhan, tuh? Kalau memang kos, kamu cari aja kos di Kingkit situ."
Saya : "Heheheheee ... Gak jauh, kok, Bu. Saya hanya perlu naik kereta, kok, Bu."


Semenjak kos di lantai dua pondokan itu pada 11 Mei 2005, saya sudah melihat penghuninya datang dan pergi. Dari berstatus sebagai yang paling muda hingga menjadi salah satu yang dituakan. Kini saya adalah penghuni terlama di tempat itu.

Pagi ini, pukul 00 lewat sekian, teman-teman sekos saya memberi kejutan ulang tahun. Mereka mendatangi saya ketika saya berada di dapur kos. Masing-masing membawa sebuah lilin yang menyala dan selembar kertas yang terlipat. Bukannya menyanyikan lagu Happy Birthday, mereka malah mempaduansuarakan lagu dari Kerispatih. Hahahaa ... mereka tahu saya punya sentimen negatif kalau berhubungan dengan lagu-lagu Kerispatih. Di mana lagi seorang yang berulang tahun dinyanyikan "Khianati ... Sebisa dirimu mengkhianati ..." kalau bukan di Kos Lily kami itu. :D

Saya terbahak-bahak. Lalu mereka meminta saya meniup lilin yang mereka pegang satu-persatu. Dan, lagi-lagi mereka menguji kesabaran saya. Mereka tahu pasti sensitivitas saya terhadap adegan cium-pipi-kanan-cium-pipi-kiri, tetapi mereka memaksa melakukan cipika-cipiki beramai-ramai. Alhasil saya terjebak di tengah-tengah para perempuan "ganas" itu, hehehehee ....

Saya kira akan berhenti di situ. Ternyata mereka telah mempersiapkan surat untuk saya, tetapi setiap orang memegang surat yang ditulis oleh teman yang lain. Seperti yang mereka minta, saya pun menunjuk nama pemegang suratnya. Jujur, saya terharu dengan doa dan harapan yang tertulis di setiap surat. Kalau saya tidak sensitif pada skinship, mungkin saya akan memeluk mereka satu-persatu.

Sebagai penutup acara kejutan itu, mereka menjajah kamar saya dan menempelkan surat-surat mereka sesukanya di dinding kamar saya. Bahkan, mereka menutupi semua poster Steven Gerrard dan Fernando Torres dengan surat-surat itu. Ckckckck ... mereka memang benar-benar menguji kesabaran saya kali ini, heheheheee ....

Ini sudah kali keempat saya mendapatkan kejutan ulang tahun di kos itu. Setiap tahun selalu punya metode berbeda karena beberapa penghuninya pun sudah berganti. Tetapi kesannya selalu sama: BAHAGIA. HAPPY. SHIAWASE. HAENGBOK.

Sebagai seorang perantau, adalah mudah bagi saya untuk pindah kos ke sana ke sini untuk memudahkan aktivitas saya. Konteks saat ini: supaya lebih dekat ke kantor saya. Tetapi, sebagai seorang perantau yang tinggal jauh dari keluarga, saya butuh untuk feels like home. Saya butuh keluarga psikologis. Dan itu tidak akan saya dapatkan kalau saya hanya berada di satu tempat dalam waktu singkat.

Pagi ini, saat yang lain sedang sahur dan saya sudah bersiap-siap untuk tidur, saya melakukan hal yang sudah lama tidak saya lakukan. Berdoa. Bersyukur. Menangis.

Seandainya bisa, saya ingin menceritakan hal ini kepada mereka yang tetap bertanya kenapa saya bisa sebegitu betahnya tinggal di kos itu.

9.11.2008

Forbidden Love

What will be considered as a forbidden love? A man loves another man? A woman loves another woman? A love with a huge age gap, usually when the woman is much older? A not-brotherhood-kind-of-love between a brother and his sister? Or, in my tradition, a love between a man and a woman who share the same family name?

Here, I just want to recall my memory about a movie I watched few months ago. Of course the theme is a forbidden love.

It’s titled “My Sister, My Love”, a Japanese movie whose origin title is “Boku wa Imôto ni Koi wo Suru”. The story is about a love and incest between twins: Yori (the brother) and Iku (the sister). It was premiered at 2007.

It’s a denial from Yori’s side at first. But, then, Yori was the one who asked Iku to choose. “Me or the other guys?” That’s the subtitle version. Iku, the one who fell in love with Yori since the day he proposed her in their childhood time, of course chose Yori among others. That night, they made love for the first time. In the room they shared together.

The saddest part, for me, is the moment their mother tidied up their room. She had this indefinable expression when she saw Iku’s bed was a mess, while Yori’s was not.

Back to Yori and Iku. Of course they had their happy moments. But in the end, they had to face the reality.

Then, they made their journey to the place where Yori gave his childhood proposal long time before. The love relationship ended up precisely in the place where it begun.

What so great about this movie is the sympathy created in me. When the credit title came up, I was no longer in judgment about their taboo love anymore, but moved on to sympathizing them.

Do I sound like saying that we may be allowed to judge the love, but not the lover? Am I thinking that a lover can never really choose whom he/she falls in love with?

May be.

9.08.2008

Jason Mraz and The Street Musicians

"Every Bataknese can sing well, except one person, and that's because he is dumb. Oh, and another one. Mona."

That was my friend's joke describing my singing capability. Unfortunately, she is right. I don't have any sense of music. I never value a song from its musical quality. So, I am sorry if I don't have any interest toward classical or instrumental music.

For me, a good song is the one that be able to make me think about something. It could be a "soundtrack" which brings back memory about some people or some moments. Or, it could be a motivation for me. And that will bring us to Jason Mraz.

Mraz always hypnotizes me with his genuineness in playing words. He had me with Remedy, exactly with this line: "You can turn off the sun but I'm still gonna shine and I'll tell you why".

Then, he had me more with Geek in The Pink: "Don't judge it by the color, confuse it for another. You might regret what you let slip away."

Listening to that kind of lyric makes me quite averse to local songs that never care about meaningful words. Do I sound like denying my country's identity? I don't think so.

I never consider dangdut with cheesy words as my country's identity. The music is, the lyric isn't. Bring me dangdut songs with genuine and intellect words, and I'll absolutely compliment them.

How's about local band? If that's the case, can somebody bring the old Sheila on 7 from the days they sang "Kita" and "Kisah Klasik"?

Hmm ...Ok. I thought I would always think that way in any given situation. But, honestly, there's a time when I really enjoy listening to dangdut with cheesy lyrics. Like few days ago.

Usually, it only takes approximately an hour by train to get home from my office. But, last Friday was a hell. From my departure to the third station, it took two and a half hours. My arrival point is the twelfth station. And at the moment, I got into the crowd one, with no AC inside. Yeah, that was a hell.

At the third station, my train got emptier. It gave space to street musicians along with their instruments. Then they sang some cheesy songs. For those who know how cheesy a dangdut could be, they will definitely know the level of cheesiness I implied.

But, instead of rejecting them, I enjoyed their music. It was such a relief. It was entertaining.

It just came at the right moment.

9.05.2008

Personality of Mine

My personality according to western zodiac:
"... intelligent, patient, and humble. ... quick-thinking, observant, and analytical."

My personality according to western zodiac on my birth date:

"... have great self-control and use their energies for valuable achievement. They are serious and mysterious and go about their lives with quiet precision. They only trust those closest to them and may discreetly promote themselves as enigmatic, even eccentric."

My personality according to the 12 zodiac animals (shio):

"Honest, simple, gallant, sturdy, sociable, peace-loving, patient, loyal, hard-working, trusting, sincere, calm, understanding, thoughtful, scrupulous, passionate, intelligent. He/she can be naive, over-reliant, self-indulgent, gullible, fatalistic, and materialistic."

My personality according to my blood type:

"... outgoing, and very social. They are initiators, although they don't always finish what they start. Creative and popular, they love to be the center of attention and appear very self confident."

My personality according to my favorite color:

"... outgoing, aggressive, vigorous and impulsive. …usually optimistic and can’t stand monotony; they are rather restless and not at all introspective, so they may be unaware of their own shortcomings. They find it hard to be objective and may blame others for any mishaps. This color is usually chosen by people with open and uncomplicated natures, with a zest for life."


Does it seem like I own all of the adjectives in the world? I won’t claim my personality is exactly the same with things mentioned above.

For me, it’s your choice to be like those description or not. People have their own thoughts, don’t they? Reading the descriptions about our personalities based on some particular bases is a matter of choice, definitely. Be it or be not.

And, doesn’t the word “personality” come from the Latin’s word “persona” which means “mask”? It means, we use mask every time. What be called as our personality is the mask we often use in front of particular person. That’s the reason why Mr. A can have a different description with Ms. B about my personality. Because there’s a possibility that I enjoy wearing this “mask” in front of Mr. A and wear the other “mask” when interacting with Ms. B.

Or, it may because I am an outgoing person myself.


- edited at 09092008 -


Credit:
Western zodiac: www.people.howstuffworks.com
12 zodiac animals: www.wikipedia.org
Blood type: www.bellaonline.com
Color: www.care2.com

9.01.2008

Menjadi Imun

Pagi ini saya berada segerbong lagi dengan perempuan tua yang saya sebutkan di postingan sebelumnya. Sebenarnya ini kali ketiga saya melihatnya. Dan, ah, ya ... beliau masih berbau kompos, walau kali ini beliau tidak membawa karungnya.

Perempuan itu juga memakai baju dengan motif yang sama. Apakah itu baju yang sama atau beliau punya beberapa baju bermotif begitu, saya tidak tahu. Yang saya tahu, dia selalu duduk di tempat duduk yang paling dekat dengan pintu dan selalu tertidur. Bersikap tidak peduli pengaruh bau itu pada orang-orang yang - karena padatnya penumpang - tidak punya pilihan lain selain berdiri di depannya.

"Emang ni Ibu gak bisa nyium apa?" Begitu yang saya pikirkan, sebagai salah seorang penumpang yang merasa terpaksa berdiri di depannya.

Lalu teringat istilah ini: imunitas. Apakah Ibu itu sudah kebal dengan aroma itu? Dari tiga kali pertemuan itu, saya mengasumsikan kalau beliau memang "hidup" dengan aroma kompos itu.

Sama seperti yang saya alami setiap pagi. Dari Stasiun Juanda, saya harus melewati tempat pembuangan sampah (TPS) skala kecil dalam perjalanan menuju kantor saya. Sejujurnya saya heran melihat orang-orang berkegiatan di TPS itu namun tidak menutup hidung sama sekali. Bahkan ada tempat makan di dekat tempat itu.

Seseorang pernah bercerita pada saya mengenai pengalamannya meliput di pengadilan. Sebagai reporter pemula, dia meliput di pengadilan kasus-kasus "kecil", seperti maling ayam atau copet.

Hakim : "Kamu kenapa maling ayam?"
Terdakwa : "Gak ada duit, Pak."
Hakim : "Ya sudah, jangan diulang lagi. Seminggu ya, di penjara."
Lalu ketok palu tiga kali.

Di tengah tawa menanggapi cerita itu, pendengar yang lain menanggapi, "Udah kebal kali ya, hakim itu."

Saya setuju. Setiap hari berhadapan dengan hal yang sama akan membuat kita kebal terhadap aspek-aspek tertentu dari hal tersebut.

Saat ini saya bekerja di perusahaan yang bergerak di industri yang sejujurnya tidak pernah saya hargai sebelumnya: multi level marketing (MLM). Tetapi saya menerima pekerjaan ini karena saya bertugas untuk menulis. "It's OK sepanjang gw tidak berurusan sama distributor atau jual-jual produknya," begitu yang terpikir di awal. Bagaimana pun, ketika itu saya berstatus pengangguran.

Kenapa saya tidak suka dengan MLM? Saya ini salah seorang konsumen, walau pun bukan pelanggan fanatik. Saya hanya tidak bersedia menerima efek "multi level" ini dalam kehidupan pribadi saya.

Seorang senior dari SMU, kita namakan Senior A, pernah mengajak saya, "Dek, nanti datang ya. Ada seminar bagus." Saya yang tidak punya pikiran negatif apa pun, ditambahi respek pada senior tersebut, mengiyakan ajakan itu. Saya pergi bersama dua orang senior yang kebetulan seangkatan dengan Senior A. Dan kami bertiga terdampar di seminar MLM. ("Kami bukan MLM, tapi network marketing." Yeah, bukankah itu setali tiga uang?)

Saya mengikuti seminar itu. "Kan udah bayar uang masuk." Alasan yang kemudian saya sesali karena ada rasa marah yang mengganjal di hati selama acara itu. Dan, ngomong-ngomong, kenapa juga saya diwajibkan bayar uang masuk?

Ada satu kalimat bernada kecewa yang terucap dari kedua senior itu. "Kok si A itu tega, ya. Dia gak lagi lihat kita tulus sebagai temannya, tapi jadi sumber uang buat dia." Kalimat yang menjadi jawaban atas kemarahan yang mengganjal di hati saya.

Itu kejadian sekitar tahun 2003. Kemudian di tahun 2005, saya aktif di beberapa proyek-proyek penelitian di kampus, walau hanya sebagai tenaga pembantu. Lalu, seorang teman sekos yang mulai dekat dengan saya berkata, "Eh, ntar lu ada waktu ga jam 4. Teman gw mau ngajakin lu ikut proyek, nih."

"Boleh, boleh. Ketemu di mana?" Terbayang ada tawaran ikut penelitian entah ke mana.

Ternyata, saudara-saudari, setelah effort yang keluarkan untuk bisa ke tempat itu, saya kecewa untuk kedua kalinya. Teman sekos saya itu memprospek saya untuk menjadi downline-nya. Kenapa harus di tempat ini? Kenapa bukan di kos saja?

Dan, kenapa dia mengkhianati pertemanan kami dengan bisnis itu? Teringat lagi ucapan senior saya, "Kok si A itu tega, ya. Dia gak lagi lihat kita tulus sebagai temannya, melainkan sumber uang buat dia."

Sekarang saya berada di bisnis MLM, walau bukan di bagian distribusinya. Belakangan saya merasa mulai imun terhadap pola kerja MLM ini. Saya tidak seskeptis dulu lagi. Saya sekarang mengerti pola pikir para distributor itu. Sejujurnya, terbersit juga rasa kagum pada mereka. Bagaimana pun, kalau tidak tekun, tidak akan sukses di bisnis ini.

Namun, saya ingin tetap bertahan pada batasan yang saya telah buat, dibantu oleh dua pengalaman tidak menyenangkan itu. Saya tidak ingin pola pikir para distributor itu memasuki pola pikir saya juga. Saya tidak ingin, setiap kali bertemu dengan keluarga, sahabat, dan teman-teman saya, prospek menjadikan mereka sebagai downline merajai otak dan hati saya.

Jadi, salahkah saya bila berpikir untuk mengundurkan diri dari tempat ini?

Sebelum saya benar-benar imun. Sebelum saya menganggap lumrah konsep membisniskan hubungan baik.

8.26.2008

Different Context, Different Meaning

This morning, in the train, on my way to the office, I smell something fetid. Seriously, it smells like chicken's shits.

My nose began its investigation. There was an old woman sitting almost in front of me, and apparently the bad odor came from the sack she brought along. I am quiet sure it is a sack of compost.

Trying hard to resist myself, I took a little look at that old woman. Her left hand is bigger than the right. Look like she has a disease there, made the size is twice bigger than normal people should have.

But, what kind of human being I've become? At that moment, I didn't pity her, even a bit. Just because she brought that smell sack!

I am sure her left hand would bring a different meaning for me if we were involved in a different place, different time. May be I would ask kindly about her hand. May be.

This different-context-different-meaning thing reminds me of Batman's movie, The Dark Night. Joker just screwed my mind when he said "You complete me" to Batman.

Before watching Dark Night, "You complete me" was a romantic quotation for me. It was said by Jerry (played by Tom Cruise) to Dorothy in Jerry Maguire movie. Here is the complete quotation:

Jerry Maguire: "I love you. You ... you complete me. And I just ..."
Dorothy: "Shut up, just shut up. You had me at 'hello.'"

Then, Joker gave different meaning to that quotation. It's not about a woman completing a man's life anymore. It's a yin and yang version for someone chases a heroic character to make his villain side remains still. Batman has become a challenger to Joker's "why-so-serious" life.

Batman: "Then why do you want to kill me?"
The Joker: [laughs] "I don't want to kill you! What would I do without you? Go back to ripping off mob dealers? No, no, you ... you complete me."


That's what I am talking here. Different context will give different meaning. Even though they share the same quotation, Joker's meaning is completely different from Jerry's.

But, we just can escape ourselves from these contextual things.

By the way, I still have a curiosity about that Dark Night movie.What version would Joker tell Batman about how he got his scar?


8.25.2008

Go the Reds!


This week, Liverpool FC got its two straight winning in English Premier League. And hopefully, the Reds' army will make the best winning account and bring the trophy to our beloved Anfield.

The winning impact against Sunderland and Middlesbrough may be not as big as if we defeat our biggest rivals. But, in the end, it's all about who has the biggest point.

So, go the Reds! Win all the games in the future. It's time to bring the trophy home. Keep the faith because You'll Never Walk Alone!.

"We are the real people's club." -Sammy Lee-

8.14.2008

Jalan Embong Malang, Surabaya

Akhirnya saya pernah ke Surabaya juga. Terhitung tiga hari karena tugas kantor. Beginilah pola kegiatan saya di selama di sana: Hotel Ibis - mobil - SIBEC (ITC) - mobil - hotel. Dan itu berulang selama tiga hari.

Sehabis acara, saya pun meniatkan diri untuk berkeliling Surabaya, sekitar pukul 10 malam. "Ah, Surabaya kan terkenal dengan Jembatan Merah-nya." Begitu yang terpikir. Lalu saya pun bertanya pada office boy di Hotel Ibis.

"Mas, numpang tanya. Kalo mau ke Jembatan Merah, naek apa ya, Mas, enaknya?" Ketika itu saya bingung, hendak naik taksi atau becak dayung.
"Bu, Jembatan Merah ya adanya di seberang hotel ini, Bu. Ibu jalan kaki saja."

Hahahahaa ... Baiklah. Saya pun menunda kunjungan ke Jembatan Merah - yang sampai hari ketiga pun gagal saya realisasikan - dan memutuskan untuk berkeliling Surabaya dengan memakai taksi.

Saya tidak banyak berharap dengan tur malam hari itu. Bagaimana pun, saya tidak menemukan indikasi kehidupan 24 jam di Kota Pahlawan itu. Paling tidak, saya bisa melihat tugu ini, patung pahlawan itu, gedung ini, dll. Lumayanlah.

Yang paling berkesan adalah ketika saya melewati Jalan Embong Malang. Jalan itu seperti menjadi pemisah antara dua citra yang berbeda. Bayangkan saja, di sebelah sini berderet gedung-gedung tinggi, seperti hotel berbintang atau pusat perbelanjaan. Sementara di seberangnya, Anda akan melihat jejeran kios-kios berdinding kayu. Kebanyakan memasang plang usaha sederhana, tetapi sayangnya saya tidak bisa membaca plang-plang itu.

Kontradiktif, memang. Apakah ini adalah "Restorasi Meiji" versi Pemerintah Surabaya? Menerima perkembangan dunia modern - yang konsumeris itu - sekaligus tetap mempertahankan nilai-nilai lokal?

Atau, apakah ini adalah awal sebuah perubahan, bukan sebuah hasil restorasi? Saya tidak akan heran bila saya ke Surabaya lagi, saya tidak akan menemukan kios-kios itu. Gedung apa yang akan menggantikannya, ya?

Kita lihat saja bagaimana fighting spirit masyarakat Surabaya bila memang begitu perkembangannya.

5.19.2008

We were the Losers, but We Lost with Dignity

Salute to Indonesia’s Uber Team. Playing against Chinese Team in the final, they showed us what players should do: Fight Till the End.

So, as a supporter, I gave a big applause to all of them.

What about our Thomas Team which lost to South Korea in semifinal? With all due respect to Mr. Taufik Hidayat, I felt disappointed watching him making so many mistakes which a world-class badminton player shouldn’t do. But I give credits to single and double players played before him who show me the same spirit as Uber Team’s in the final.

But, generally I am proud to say, "Eventhough we were the losers of this year, but we lost with dignity."

4.23.2008

All-size

Di akhir 2003, untuk pertama kalinya saya ke pusat belanja Melawai untuk berburu pakaian. Dalam perburuan itu, saya menemukan satu baju yang saya suka. Tapi, yang dipajang itu lebih kecil dari ukuran saya yang XL ini.

Saya pun bertanya, "Mba, ada ukuran yang lebih besar, ga?"
Jawab si Mba penjaga toko, "Itu all-size, Mba."

All-size? Kalau tidak muat untuk saya, berarti bukan all-size, kan?

Kisah itu teringat ketika saya menonton Oprah Show di Metro TV. Oprah membahas tentang children with autishm. Salah satu hal yang ditekankan dalam topik kali itu adalah bahwa tidak semua perawatan cocok dengan semua anak dengan autisme. Mengikuti alur artikel ini, perawatan untuk autisme bukan all-size treatment.

Saya terkadang lupa kalau setiap orang itu unik sehingga perlakuan kepada mereka pun seharusnya berbeda satu sama lain. Tidak semua sikap dan sifat itu all-size. Kepada beberapa teman, sifat keras saya harus berukuran SS. Bahkan kepada diri saya sendiri, sifat keras itu pun harus kontekstual. Tidak ada satu ukuran mutlak bisa saya pakai dalam setiap time frame.

Saya juga tidak akan menerima kalau saya mendapatkan all-size treatment. Itulah sebabnya saya bersikap konfrontatif saat berada dalam kondisi yang memaksakan saya untuk nrimo-nrimo saja.

Karena saya unik. Karena ukuran all-size itu tidak untuk semua orang.

4.18.2008

Berita tentang Trenggiling

Hari ini saya membaca berita tentang 1,5 ton trenggiling yang dimusnahkan oleh aparat. Trenggiling-trenggiling yang sudah dibedah itu ditangkap di rumah warga Banjarmasin yang berniat untuk mengekspornya. Padahal trenggiling adalah binatang yang dilindungi negara karena hampir punah.

Saya trenyuh membacanya. Saya memang bukan aktivis untuk pelestarian hewan. Saya hanya pendukung. Alasan saya sangat personal.

Saya merasa salah satu kenangan masa kecil saya dirampas untuk kedua kalinya.

Dulu, saya pernah memelihara trenggiling. Memang piaraan yang tidak biasa, sehingga setiap sore halaman rumah saya selalu ramai didatangi orang-orang yang penasaran.

Tidak banyak yang saya ingat, sejujurnya. Saya masih kelas satu SD ketika itu. Saya juga lupa, kenapa Ayah saya memberikan trenggiling itu untuk saya piara. Tapi saya ingat kalau saya memberi pisang sebagai makanannya. Trenggiling saya paling suka bergelung di ventilasi di atas pintu masuk rumah.

Ayah saya membaw pergi trenggiling itu, bahkan sebelum saya memberi nama kepadanya. Kalau tidak salah, Ibu saya keberatan dengan aroma pisang yang merajai rumah. Atau, mungkin, ada yang membelinya? Entahlah. Saya tidak berhasil me-recall memori saya tentang itu.

Selayaknya anak kecil yang benda miliknya diambil, saya sedih. Tetapi, kalau saya pikir, bukan karena saya tidak punya binatang mamalia bersisik itu lagi, karena sepertinya rasa sayang saya belum sebesar itu. Lebih karena kehilangan kebanggaan atas sesuatu yang sangat pantas untuk dipamerkan.

Kehilangan itu terasa lagi ketika membaca artikel itu.

Sedari kecil, saya sudah didoktrin kalau alam Indonesia sangat kaya. Tetapi pendidikan konvensional yang saya dapatkan tidak membekali saya kebijakan untuk menghargai dan melestarikan alam Indonesia yang kaya ini. Mengenai potensi alam ini, yang saya punya adalah kesombongan: bahwa Indonesia adalah negara tropis sehingga banyak tanaman yang bisa tumbuh di sini; bahwa Indonesia memiliki banyak jenis hewan yang hanya dapat ditemukan di sini; bahwa tanah Indonesia menyimpan kekayaan alam berupa migas dan non migas yang dapat ditambang; dan banyak bahwa-bahwa berikutnya.

"Hasilnya, ditemukan 360 ekor trenggiling yang sudah dibedah dan dikuliti di dalam delapan lemari pendingin." Inilah bukti ketidakbijakan kita dalam memperlakukan alam Indonesia ini. Belum lagi kasus pada hewan-hewan lainnya, terutama hewan-hewan yang hampir punah. Ditambah lagi dengan kasus pembalakan liar.

Apakah karena kita berpikir kalau manusia memang memiliki kuasa atas hewan-hewan itu? Atas tumbuh-tumbuhan? Atas alam ini? Karena kita diberi akal budi?

Baiklah, kalau memang demikian. Kemudian, saya akan bertanya, di manakah akal budi itu sekarang?

Duh, tulisan ini memang terlalu emosional. Pun, terlalu personal. Tetapi, ini karena saya marah. Kemarahan karena kebanggaan akan alam Indonesia dihancurkan oleh sesama bangsa Indonesia. Kemarahan karena saya tidak dibekali kebijakan ala sekolah Toto-chan.

Kemarahan karena hidup trenggiling-trenggiling itu dihancurkan oleh ketidakbijakan.


Catatan:
Sumber artikel: www.kompas.com
Sumber gambar: www.deplujunior.org

4.10.2008

Tentang Bapak Bersepeda

Ini salah satu cerita Ibu saya kepada saya. Tentang seorang bapak yang selalu menaiki sepeda tua ke mana pun dia pergi. Padahal bapak itu memiliki sebuah usaha yang sangat maju. Pun, di kota tempatnya tinggal, dia termasuk golongan orang berada.

Bapak itu memiliki tiga orang anak. Ketiganya berkuliah atau bersekolah di tempat yang elit dan bagus. Masing-masing anak tersebut mengendarai mobil mewah. Sementara si Bapak itu tetap menaiki sepeda yang sama.

Lalu, seorang koleganya pun bertanya kepadanya. "Kenapa Bapak tidak naik mobil saja? Kenapa naik sepeda ini, padahal anak-anak Bapak mengendarai mobil mewah."

Inilah jawaban Bapak bersepeda itu. "Mereka itu - anak-anakku itu - pantas naik mobil, karena mereka anak orang kaya. Saya ini tetap anak dari seorang yang miskin."