1.30.2009

Investigative Journalism and Myself

I think, I've gone away so long from all about investigative journalism.

The thought came when these two college students was talking about one of their seniors who did an investigation attempt about a particular topic somewhere in Yogyakarta. I happened to be in the same public transportation with them both.

I listened to them carefully, word by word. A feeling beyond description was appeared in deep inside my heart.

I am not trying to be melancholic. But, yeah ... I missed a thing that used to be a part of my life.

Back in college, I composed a thesis about investigative journalism, though I'd rather name it investigative reporting. It took me one year to finish, mostly used for searching for scientific and less-practical basis. It was pretty hard since the investigative reporting itself is a practical activity.

I didn't get a perfect A. But I was proud of myself for two reasons respectively. I was the first student of my faculty who makes a thesis about investigative journalism. I was also able to hold on to my idealism, the one that I don't purely have lately.

I think I have to search more about this investigative reporting thing since I know for sure that I still have the passion.

Someday, I'll be an investigate reporter. A freelance one, so I won't have this media capitalism's string attached to my idealism.

Someday.

1.22.2009

Etika Jurnalisme yang Terlupakan

Bukankah ini melanggar salah satu etika jurnalisme? Bukankah seharusnya media itu tidak menampilkan wajah dan nama pelaku tindakan kriminal yang masing tergolong anak-anak dan remaja?

Pun, untuk apa menyingkatnya menjadi SR di artikel bila kemudian Anda mempublikasikan foto ber-caption nama lengkapnya?

Jangan lupa bahwa yang Anda pertaruhkan di sini adalah masa depan anak tersebut. Anda turut bertanggung jawab untuk sanksi sosial yang mungkin akan didapatnya.

Itu komentar saya terhadap artikel di salah satu media online Indonesia (yang dimiliki oleh surat kabar beroplah terbesar di negeri ini). Yang saya komentari adalah berita tentang seorang anak usia 9 tahun yang dimasukkan ke dalam rutan.

Saya mengerti bahwa media itu bermaksud mengangkat kejanggalan tersebut. Mengapa anak tersebut tidak dimasukkan ke lembaga pemasyarakat khusus anak-anak/remaja?

Tetapi media itu lupa (atau sengaja melupakan) kalau ada ETIKA JURNALISME yang harus mereka junjung. Ada banyak kehidupan yang bisa dihancurkan oleh satu dua kalimat yang mereka publikasikan. Ada banyak konflik yang bisa mereka ciptakan hanya karena mereka tak mau (bukannya tak mampu) untuk cover both sides. Ada banyak masyarakat yang dibodohi hanya karena mereka tidak mau (lagi-lagi bukannya tidak mampu) mengungkapkan fakta ke masyarakat, hanya karena mereka ingin menyelamatkan perusahaan media yang memberi rupiah kepada mereka.

Dan belajar dari dua pengalaman sebelumnya dengan media yang sama, saya yakin kalau komentar kali ini pun tidak akan dipublikasikan oleh mereka. Mereka tidak cukup berani untuk menerima komentar sejenis ini di hadapan pembacanya sendiri. Demi nama baik perusahaan.

Lumrah bila semakin lama saya semakin skeptis pada media-media di Indonesia ini.

1.15.2009

Laser Mata

Akhirnya saya menulis tentang ini juga.

Bermula di Rabu, 7 Januari 2009. Saya bangun kesiangan. Seharusnya pukul 7 pagi itu saya sudah berangkat dari kos. Namun, di hari itu, saya terbangun di pukul 9. Akhirnya saya kirim SMS ke Manajer saya, ijin hari itu tidak masuk kantor.

"Trus, gw ngapain hari ini?" Daripada bengong, saya meminta Sylver - teman sekos saya - untuk menemani saya ke dokter kulit. Sudah saatnya jerawat-jerawat ini mendapat penanganan medis, demikian yang terpikir belakangan ini.

Ternyata dokternya baru mulai praktik di pukul 1 siang, padahal kami tiba di klinik itu pukul 11. Sempat memikirkan beberapa ide (jalan ke Detos? Margo?), saya pun mengajak Sylver ke RS Harapan Bunda, Pasar Rebo.

"Ngapain, Kak?"
"Aku mau periksa mata di Eye Center-nya. Soalnya udah beberapa kali mataku panas banget."

Kurang lebih setengah jam kemudian, kami tiba di tujuan. Setelah bertanya, kami pun menuju lantai 3 di mana Jakarta Timur Eye Center berlokasi.

Cepat dan ringkas. Itu kesan pertama yang saya dapatkan di JTEC. Setelah mendaftar, saya tak menunggu lama karena 5 menit kemudian saya didatangi oleh seorang perawat.

Saya kemudian menuju ruang dokter. Waktu ditanya apa keluhan saya, saya menjawab, "Mata saya sering panas, Dok."

"Mulai kapan?"
"Pertama kalinya Januari 2006, Dok."
"Terakhir kapan?"
"Lupa, Dok. Tapi beberapa kali deh, kejadian kayak gitu."
"Biasanya habis apa? Habis nonton? Baca?"
"Kalo yang waktu Januari itu, Dok, abis baca. Tapi kalau yang berikut-berikutnya, saya lupa, Dok." Saya berikan cengiran terbaik saya. :D

Saya lalu dibawa ke sebuah ruang gelap. Di ujung luar kedua mata saya, si perawat menempelkan dua kertas kecil. Menunggu 10 menit, perawat itu kemudian memeriksa kedua kertas yang ditempelkan itu.

Akhirnya ketahuan juga mengapa mata saya beberapa kali terasa panas seperti terbakar. Kadar air mata kanan saya adalah 7, yang kiri adalah 8. Kadar air mata normal adalah 15 di masing-masing mata.

Jadi, saudara-saudara, saya bukan orang yang tidak sensitif. Saya sulit menangis karena air mata saya memang sedikit. :P

Kembali ke ruang dokter itu. Si Dokter lalu memberikan penjelasan ini itu mengenai kekeringan yang melanda mata saya. Oke, itu kalimat hiperbolis, hehehehe ... Sampai kemudian teringat satu hal.

"Dok, saya juga ngerasa makin sensitif sama cahaya, Dok."
"Sensitifnya gimana?"
"Kalau baru keluar dari ruangan, langsung ketemu sinar matahari, mata saya kaget banget, Dok. Butuh berapa lama gitu, untuk terbiasa dengan matahari."
"Itu kalo kamu baru keluar dari ruang gelap?"
"Gak, kok, Dok. Ruang biasa, kok."
"Pernah dapat blitz? Kayak kilat gitu?"
"Iya, Dok, saya pernah ge-er, ngerasa ada yg foto saya diam-diam, Dok. Kirain itu blitz kamera, tapi ternyata gak."
"Ya udah, kita cek itu sekarang. Kamu nanti ditetesin tetes mata yang bakal bikin kamu buram dan silau lihat cahaya selama 6 jam. Tapi kalo ga ditetesin itu, saya ga bisa lihat kondisi mata kamu gimana."

Saya dibawa lagi ke ruang gelap itu. Diberi tetes mata yang memperbesar bulatan kecil di tengah orang-orangan mata. Jangan tanyakan apa gunanya karena saya hanya seorang pasien. :D

Si Dokter kemudian memeriksa mata saya. Dan menemukan ada crack di kedua retina saya. Untuk memastikan kondisi sebenar dan tindak lanjutnya, saya kemudian dirujuk ke dokter lainnya.

Di dokter kedua itu, saya kemudian mengetahui kalau retina kiri sudah robek di beberapa bagian, tetapi tidak separah yang kanan. Yang dikhawatirkan adalah kalau robeknya sudah sampai bagian tengah retina. Itu adalah kebutaan. Dan untuk membuatnya robek, mata tidak butuh trauma atau insiden mendadak. Retina bisa robek tanpa tedeng aling-aling.

Akhirnya diputuskan mata saya harus dilaser untuk mencegah kerobekan yang lebih gawat. Saya dijadwalkan menjalani laser di hari Senin, 12 Januari 2009, pukul 17.00

Senin sore, menjelang pukul 5 sore, saya tiba di JTEC bersama dengan Reni, teman sekos saya yang lain. Di sana sudah menunggu Mamatua saya. Mata saya kemudian di"tensi", kemudian ditetesi obat yang sama - obat yang membuat kedua mata saya buram selama 6 jam ke depan.

Butuh satu jam bagi tetes mata itu untuk menunjukkan reaksinya. Nah, sejam kemudian, saya kemudian dibawa ke ruang laser. Di sana sudah menunggu si Dokter Kedua itu. Hmm ... mungkin selanjutnya saya akan menyebutnya dr. Rita. :D

Laser mata pun dimulai, dimulai dari mata kanan. Tegang. Deg-degan. Menahan sakit saat tembakan laser itu mengenai saraf tertentu. Selesai. Butuh sekitar 20 menit untuk mata kanan saja.

Kemudian dilanjutkan dengan mata kiri. Tapi waktunya lebih singkat, hanya kurang lebih 10 menit. Total 666 tembakan laser untuk mata kanan dan 508 untuk mata kiri. Fiuh!

Selesai mengurus ini-itu, saya kemudian diantar pulang ke kos oleh Tulang dan Nantulang saya (yang datang pada saat saya berada di ruang gelap). Mereka khawatir bila saya naik angkot dengan kondisi mata masih sangat rabun dan peka cahaya begitu.

Sesampainya di kos, saya tidur. Malam itu saya tidur total 12 jam, karena besok paginya pun saya baru terbangun di pukul 10. Selasa itu, saya ijin masuk terlambat.

Hmm ... seandainya di Rabu itu saya memutuskan untuk bermain ke Detos atau Margo. *sigh*

And I thank God for that.

1.09.2009

Excerption (2)

I quoted the followings from a Japanese drama, titled Hero, ep. 10.
____________________

Kuryu Kohei:
In our kind of work, we can easily take a person's life. This applies to cops, public prosecutors, and also the media. With just a bit of selfish motive and a little carelessness, we can easily kill someone. Can we take it that nothing has happened?

The Cop:
We all want to do our best, but in reality it is not possible. They are just empty ideals.

Amamiya Maiko:
Can't you work holding on to your idealism?