12.24.2008

Commodification and Christmas

I am barely watching TV lately. I blame my downloaded doramas that make me stick to my monitor.

But, it's Christmas moment. And I am betting on all my Japanese novels that most of the channels have already prepared what so-called their Christmas Special Program.

Another religion commodification.

What is this commodification thing? Can you find it in the dictionary? I can't. But, I will stick to that word because I can't find the literate word for what I am going to discuss here.


Prolog: Comodification
I heard it first from my senior's thesis. Coming from the word “commodity”, then modifying it with -fy. Literary, I define it as converting something-was-not-categorized-as-a-commodity-previously becomes a commodity. And everyone knows what commodity means: Things that give you a lot, lot of money.

Yup! I am talking about the capitalism bastards again!


Main topic: Christmas
What's Christmas, again? Can somebody tell me?

Oh, I remember! Isn't it a moment where Christians SHOULD celebrate Jesus' birth and the value beyond the birth? Or, has the meaning changed already? Even though I am being indifferent lately, I don't think it has changed. Because it is written in the BIBLE, for God's sake!

Then, why did those advertisements dance there? After every segment in what so-called Christmas Special Programs, I saw bunches of advertisements. Ah, yes ... it's a SPECIAL PROGRAM. And special programs means a lot of special sponsors, like the things I see in the Miss Universe broadcasting and so.

That's why they have annual special programs. And I just got another reason to dislike media's capitalism.


Beyond main topic: Religion Commodification
I remember making a paper for my Protestant Class back in college. I expressed my disagreement to those religion-based parties.

I don't have any grudge against any present political parties in Indonesia. And I don't affiliate with any.

I say: let politic stand alone. Having a religion as a base is considered a fraud. It's a religion commodification: they silently promoting that religion as their leading point compared to other more secular parties.

Leave the religion alone. Don't politize it. I have trauma from my childhood when these two sides fight each other to get the highest position in my church organization. I have enough with that!

Don't mix water and oil. You will have them ruined. You won't get any good of it. The only one way to get rid of them is fire. Set the fire, and the bad mixture will be gone.

I can smell anger in this writing. I can see moral judgment. And I won’t deny both this time.

12.18.2008

Penjahat Bahasa

Dua hari lalu saya menaiki busway bis TransJakarta dan terjebak di space kosong di belakang supir. Karena tidak memungkinkan untuk tidur maupun membaca, maka saya pun menghabiskan waktu dengan memperhatikan kerja bapak supir itu.

Ada empat tombol di bagian kanan bapak supir. Ternyata itu adalah tombol-tombol untuk mengendalikan pintu busway bis itu. Posisinya: dua di atas dan dua di bawah. Atau, bisa disebut: dua di kanan dan dua di kiri. You can choose, by the way.

Anyway, dua tombol di bagian atas dipisahkan dengan tulisan PINTU, sedangkan dua tombol di bawah diberi keterangan L dan R. Yap, untuk membedakan kiri dan kanan, mereka menggunakan bahasa Inggris: Left and Right.

It reminded me of something I've read before. Tahu Benny & Mice, kan? Nah, salah satu komik mereka yang paling memorable buat saya adalah yang berjudul "Telor English Setengah Matang". Memang demikian penulisannya: Kata "Telor" dicoret dan ditimpali dengan kata "English".

Dalam komik itu, Benny & Mice menyindir masyarakat Indonesia (including me) yang suka mencampuradukkan kata-kata bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dalam satu kalimat. "So, udah gimana?", "Well, gw juga ga tau pasti.", "Eh, you know what, gw kemaren ketemu sama si itu loh!", "Ayo, tackle aja pemain itu. Yah ... dapat red card, deh!", "Benefit yg gw dapat lumayan sih. It's better-lah dari yang sebelumnya." atau "Happy Birthday, ya .... Wish you all the best!" Dan masih banyak lagi.

Bahkan, saat menulis Benny & Mice pun, otak saya membacanya: benni-en-mais. Sahabat saya yang penggemar Benny & Mice pernah memarahi saya, "Njis, baca itu benni-en-mice!" Dia bahkan membaca "&" sebagai "en". Saya baru sadar itu, hueheheee ....

Ironis, karena ternyata kita (baca: bangsa Indonesia) jadi pihak yang paling merusak bahasa kita sendiri. Bagaimana mungkin kita bisa mengharapkan bahasa Indonesia jadi bahasa internasional kalau kita sendiri tidak menganggap penting untuk menggunakannya secara berkualitas?

Ini bukan hal yang saya dengar atau tonton sekali dua kali. Kesalahan repetitif sehingga tidak lagi dianggap salah. Coba, kalimat apa yang biasanya digunakan untuk bertanya kepada seorang pengguna bahasa asing, apakah dia mampu berbahasa Indonesia atau tidak?

Ini: "Can you speak Bahasa?"

Itu sama saja dengan menanyakan: "Can you speak LANGUAGE?"

Apakah terlalu melelahkan untuk bertanya: "Can you speak Bahasa Indonesia?"

Masih ada contoh kesalahan repetitif lainnya.

"Aku ga akrab dengan dia, secara aku jarang ngobrol ma dia." "Secara ya ... gw kan masih baru di sini."

Akhirnya kita menyalahartikan kata "secara" itu. "Secara" sekarang menggantikan fungsi kata "berhubung".

Sampai saat ini, saya boleh bersombong hati karena bisa bertahan dari terpaan "secara". Lalu, kenapa pula saya memakai subjek "kita" di paragraf sebelumnya? Ah, that's what they call majas pras pro toto.

Back to the topic. Saya bertahan dari "secara", namun gagal terhadap terpaan "lucu".

"Lucu" seyogianya dilabelkan pada sesuatu yang bisa membuat kita tertawa. Tetapi, in the end, saya juga jadi ikut-ikutan melabelkan kata "lucu" pada semua yang membuat saya tertarik. "Dompet ini lucu, ya.", "Ah ... cowo itu mukanya lucu, ya?"

Aarrgghh!! JS. Badudu, silahkan laporkan saya! Saya adalah salah seorang dari banyak penjahat bahasa di Indonesia ini!

Bahkan saya pun menulis dengan telor English setengah matang!

12.09.2008

Konvergensi Media

Hari ini Kompas online menulis tentang konvergensi media. Itu adalah sebuah keharusan, katanya, karena masyarakat modern tidak hanya membaca satu media saja. Maka, Kompas menuliskan kalau konsep media di masa depan adalah bentuk konvergensi itu.

Sebuah pembenaran untuk monopoli media? Hmm ... usah melihat ke masa depan, karena sudah demikian adanya, semenjak kata "industri" dilabelkan pada media di Indonesia ini. Tak heran bila opini mayoritas mudah terbentuk karena karakter masyarakat yang belum sepenuhnya melek media ini menerima satu jenis informasi yang menerpa dari berbagai sudut. Bentuk lain dari kebenaran publik terbentuk dari suara terbanyak?

Perlu UU ini dan UU itu untuk regulasi konvergensi? Ah, munafik! Perusahaan media adalah pihak yang paling mudah sekali membawa bendera kebebasan berekspresi (terutama kebebasan pers) bila suatu saat tersandung regulasi, padahal sudah jelas-jelas terbukti salah. Alasan mengapa kita masih mendapati narasumber rahasia, rekaman tersembunyi, dan cara-cara tidak etis lainnya? Mereka lupa kalau ada persyaratan yang harus diikuti bila menggunakan narasumber rahasia atau rekaman tersembunyi. Atau, sengaja dilupakan untuk memberi kesan "informasi berbahaya dari seorang yang kompeten" sehingga bisa meraih simpati pembaca? Salah satu bukti kehebatan politik media.

Inilah yang terjadi saat kapitalisme menyamar sebagai idealisme.

12.04.2008

Karena Sebuah Cangkul

Kakek yang akan saya ceritakan berikut ini adalah seorang yang saya kenal di kampung halaman saya. Selayaknya kota kecil, setiap orang umumnya tahu kisah orang lain, terutama mereka yang sudah tinggal lama di situ. Sayangnya saya tidak bisa lagi mengonfirmasi cerita ini karena Kakek itu sudah meninggal.

Begini kisah yang saya dengar.

Dulu, di masa mudanya, beliau bekerja sebagai petani di daerah yang jauh lebih terpencil dibandingkan kampung halaman saya itu. Saat berada di sawahnya, seseorang yang dikenalnya datang dan memberi cangkul kepadanya. Cangkul itu akan menjadi haknya bila dia memberi cap jempol di kertas yang dibawa si pemberi cangkul tersebut.

Syarat yang sederhana. Maka beliau pun setuju, tanpa tahu daftar apa yang ditandatanganinya itu. Maklum, beliau buta huruf.

Kenyataan baru terungkap saat pemerintah mulai memberantas Partai Komunis Indonesia (PKI), segera setelah kasus G30S/PKI. Ternyata daftar yang dicap jempol oleh kakek itu adalah tanda keikutsertaan sebagai anggota PKI.

Sebuah cangkul dan seseorang yang buta huruf. Ironis.

Berpuluh tahun kemudian, putri bungsunya hendak dilamar oleh seorang anggota militer. Tetapi bangsa ini tahu apa yang terjadi pada keturunan seseorang yang pernah memiliki keterlibatan dengan PKI. Akhirnya Kakek itu melepas statusnya sebagai seorang ayah. Putrinya itu didaftarkan sebagai anak adiknya. Statusnya berganti dari ayah kandung menjadi paman.

Karena sebuah cangkul.

Ada pula kisah lain. Tentang seorang pengajar di tempat saya berkuliah dulu. Ini pun tidak bisa saya konfirmasi langsung karena hubungan saya dengan beliau tidaklah sedekat itu.

Bapak itu telah lama menjadi asisten pengajar, tetapi tidak pernah bisa diproses menjadi dosen. Alasannya, kakek beliau pernah memiliki keterlibatan dengan PKI.

Bagusnya, kali ini beliau sudah mendapat pengakuan sebagai dosen. Efek positif dari orde reformasi?

Di tahun 2005, saat saya magang sebagai reporter di salah satu televisi swasta, saya berkesempatan untuk menemani reporter senior meliput sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Itu adalah sidang class action menuntut pertanggungjawaban para presiden RI - mulai dari Soekarno sampai Soesilo Bambang Yudhoyono - atas kerugian material dan immaterial yang dialami para penuntut. Para penuntut adalah anak, cucu, dan cicit orang-orang yang tercatat pernah memiliki keterlibatan dengan PKI. Selain tuntutan ganti rugi material, mereka menuntut supaya mereka tidak mendapat getah untuk suatu hal yang tidak mereka lakukan. Sederhananya, bukan mereka yang terlibat dengan PKI, tetapi mengapa mereka harus menanggung akibat keterlibatan ayah, kakek, atau buyut mereka di organisasi tersebut?

Tuntutan mereka yang lain adalah agar pemerintah menghapuskan pasal yang menyebut PKI sebagai partai terlarang.

Saya pribadi tidak setuju kalau pasal itu dihapus. Apakah film G30S/PKI yang dulu diputar di TVRI setiap tanggal 30 September itu berhasil mendoktrinisasi otak saya? Mungkin. Saya selalu mengangap sejarah politik sebagai kreativitas mereka yang memegang kuasa. "Realitas itu semu, Kawan!" ujar pengikut mazhab kritis.

Ketidaksetujuan saya juga bukan karena ideologi komunisme yang mereka anut, tetapi karena proses rekruitmen mereka yang sungguh tidak bersih. Memberi cangkul pada seorang petani buta huruf lalu memintanya mencap jempol tanda keanggotaan? PKI menjadi terlarang karena mereka sudah menjalankan cara yang terlarang, itu menurut saya. Ah, saya menunggu banyak partai lain untuk mendapat cap ini juga, karena "serangan fajar" masih dipakai di pelosok-pelosok sana.

Tetapi ketidaksetujuan itu tidak jadi alasan untuk memberi "getah cempedak" kepada para keturunannya. Karena, bisa jadi, semuanya hanya bermula dari proses barter sebuah cangkul gratis dengan sebuah cap jempol.

__________________
*edited at Dec 5th, 2009 for making a better plot.

12.01.2008

Perempuan yang Berhenti di Gambir

Sabtu lalu, di sekitar pukul lima sore, saya melihat perempuan itu di stasiun Juanda. Kami berdiri di peron Bogor, hanya berjarak sekitar satu meter. Dia menarik perhatian saya saat dia bertanya kepada petugas kereta api yang ada di sekitar situ, dengan suara agak berteriak. "Pak, ini kan kereta yang berhenti di Gambir?" Dia bertanya segera setelah petugas mengumumkan kereta Depok Express akan memasuki stasiun Juanda. Sepertinya kami sedang menunggu kereta yang sama.

Si kereta yang dimaksud ternyata tidak langsung datang. "Kalau memang mau ke Gambir, naik ojek aja. Ngapain mesti naik kereta. Ekspres, lagi!" Itu yang singgah di kepala saya, karena Gambir adalah stasiun pertama setelah Juanda.

Saya amati dia. Perempuan itu memakai jilbab putih, jenis yang ringkas pemakaiannya. Memakai baju bahan kaus berlengan panjang berwarna hijau. Saat dia menggerakkan badan, saya melihat sekilas tulisan di punggung bajunya. Itu tipikal baju angkatan SMU yang menuliskan nama-nama anggota satu kelas tertentu. Di bawah deretan nama-nama itu, tertulis Angkatan 2004 - 2007. "Hmm, masih di bawah umur gue," demikian asumsi saya.

Dia memakai celana panjang berwarna coklat. "Oke, itu bukan perpaduan warna yang baik." Lagi-lagi muncul penilaian negatif di kepala ini. Kemudian pandangan saya beralih ke bagian kakinya. Di kakinya terpasang sendal jepit berwarna merah muda. "Ah, semakin kacau saja penampilan adik ini." Saya yang gaya berpakaiannya kerap dikritik pun bisa berpikir demikian.

Lalu pandangan saya naik, kembali ke arah wajahnya. Saya terkesiap saat melihat air matanya menetes dan dia terburu-buru untuk menghapusnya. "Ada apa gerangan?" Saya semakin penasaran. Tetapi saya belum menemukan timing yang tepat untuk memasuki personal bubble-nya.

Depok Express pun datang. "Ini saatnya," terpikir rencana sederhana di kepala saya. Saat kereta berhenti, saya sengaja bergerak mendekati perempuan itu, berharap supaya kami memasuki pintu yang sama. Dan memang demikianlah yang terjadi.

Karena kereta sedang sepi, dia segera mendapat tempat duduk. Kesempatan bagus buat saya, karena di sebelahnya pun kosong. Tak saya sia-siakan, saya pun segera duduk di situ. Tanpa menunggu lama, ternyata dia sendiri yang memulai percakapan dengan saya. "Mba, ini nanti berhenti di Gambir, kan? Habis ini Gambir kan, ya, Mba?"

"Iya," jawab saya. "Kenapa tadi ga naik ojek aja, kalo memang mau ke Gambir?" Saya berusaha menuntaskan rasa penasaran saya.

"Saya ga sempat Mba, kalau memang naik ojek. Takut keretanya ga keburu."
"Mba mau ke luar kota ya? Ke mana?" Saya tidak lagi mendebat logika jawabannya. Tidak ada waktu, karena kereta sudah memasuki stasiun Gambir.
"Surabaya, Mba. Bapak saya meninggal."

Jeger! Pantas dia tidak lagi memperhatikan cara berpakaiannya. Pantas ada aroma tak sedap dari badannya, karena saya yakin dia tidak lagi sempat untuk mandi dan bersalin. Pantas dari tadi dia selalu memandang ponselnya. Pantas dia terlihat begitu tidak sabaran ketika menunggu kereta datang di Juanda.

Pantas air matanya menetes.

Saat dia berdiri menanti pintu terbuka di stasiun Gambir, saya hanya mampu menatap punggungnya. Tak ada pemikiran apa-apa di kepala saya. Kosong.