- Ini saya copy-paste dari Bab Pendahuluan skripsi saya (2006).
- Saya memang inkonsisten dalam penggunaan istilah karena disesuaikan dengan literatur yang dikutip. Berikut beberapa istilah yang dipakai: investigative reporting, reportase investigasi, investigative journalism, dan laporan penyelidikan. Istilah-istilah tersebut mewakili produk investigatif media massa.
- Yap, Bondan Winarno yang saya sebut di sini adalah orang yang sekarang dikenal dengan acara wisata kulinernya.
Sebelum nama investigative reporting muncul, istilah muckracking journalism telah populer di era 1902-1912. Istilah muckracking diberikan oleh Presiden Amerika Serikat, Theodore Roosevelt kepada para reporter yang menyoroti muck (kotoran) Amerika Serikat. Ini adalah periode di mana tokoh pers dunia Joseph Pulitzer berseteru dengan Roosevelt. Ketika itu, Pulitzer membongkar kasus suap dalam pembelian tanah untuk Kanal Panama, yang diduga berkaitan dengan Roosevelt.
Sejarah reportase investigasi dunia tidak dapat dilepaskan dari karya investigasi dua wartawan harian The Washington Post, yakni Carl Bernstein dan Bob Woodward. Woodward dan Bernstein ditugasi oleh The Washington Post untuk menginvestigasi kasus pencurian kantor Partai Demokrat di kompleks kantor dan hotel Watergate, Washington D.C. Ternyata kasus pencurian tersebut berujung pada pengungkapan penyelewengan dana pemilu Presiden Amerika Serikat Richard M. Nixon. Nixon mundur dari jabatan Presiden Amerika Serikat pada 1974, di tengah-tengah masa jabatannya.
Investigative reporting juga dikenal di Indonesia seperti dilakukan harian Indonesia Raya sebagai pionirnya. Di bawah pimpinan Mochtar Lubis, harian ini menampilkan beberapa investigative reporting, salah satunya adalah investigasi terhadap sejumlah institusi penting di masa Orde Baru, seperti kasus korupsi di Pertamina pada tahun 1969 dan kasus korupsi di Badan Urusan Logistik (Bulog) tahun 1972. Ada pula investigasi terhadap Hospitality Committee dalam penyelenggaraan Konferensi Asia-Amerika pada April 1955 di Bandung. Ternyata komite ini menyediakan wanita-wanita penghibur untuk para peserta konferensi.
Jurnalisme Indonesia juga pernah menghasilkan sebuah liputan investigasi berskala internasional. Investigasi itu adalah mengenai skandal emas Busang yang dibuat oleh wartawan freelance Bondan Winarno. Investigasi ini diterbitkan dalam buku berjudul Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi.
Bre-X adalah perusahaan gurem yang mendadak terkenal karena menemukan tambang emas Busang. Tambang emas tersebut semula diduga memiliki kandungan emas terbesar di dunia. Wakil Komisaris Utama Bre-X John Felderhof yang mengatakan, Busang mungkin mengandung deposit 200 juta ons emas. Hal ini diumumkan pada 19 Februari 1997. Sebulan kemudian, Mike de Guzman, geolog yang bersama Felderhof menemukan deposit emas itu, terjun dari helikopter. Ia meninggalkan catatan yang mengindikasikan kejadian tersebut adalah sebuah bunuh diri. Pada 5 Mei 1997, Bre-X mengumumkan laporan independen yang ternyata menemukan kalau deposit emas itu hanya sebuah “pepesan kosong”.
Bukan hanya Bondan yang melakukan investigasi terhadap Busang. Douglas Goold dan Andrew Willis menerbitkan buku berjudul The Bre-X Fraud. Namun ada faktor pembeda yang signifikan. Bondan Winarno adalah wartawan yang pertama kali menyatakan de Guzman masih hidup. Pernyataan ini, tentu saja, dilengkapi dengan bukti, walau masih berstatus “bukti lunak” karena “bukti keras” belum ada. Bondan juga mendapatkan jawaban tertulis dari Felderhof.
Selain investigasi mengenai Busang, Bondan juga pernah menginvestigasi tentang tenggelamnya kapal penumpang Tampomas II di Selat Makassar. Investigasi ini diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Neraka di Laut Jawa pada awal 1980-an, kurang lebih tujuh belas tahun sebelum Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi diterbitkan. Bondan mengkategorikan tulisan tersebut sebagai sebuah karya jurnalistik dengan pendalaman investigatif.
Investigative reporting di Indonesia juga mengalami tekanan dari pemerintah. Dadi Sumaatmadja, mantan Redaktur Investigasi majalah Tajuk, menyebutkan, reportase investigasi dianggap sebagai buah terlarang oleh penguasa masa Orde Lama dan Orde Baru. Karena itulah harian Indonesia Raya menjadi bagian penting dalam sejarah investigative reporting di Indonesia, seperti yang disebutkan di awal.
Selain investigasi terhadap institusi pemerintah, Indonesia Raya juga pernah melakukan investigasi – atau apa yang disebut Sumaatmadja sebagai investigasi – seputar pernikahan Presiden Soekarno dengan Hartini yang beredar tanpa ada yang memberi kepastian. Dengan pengakuan penghulu yang menikahkan mereka dan salinan akte nikah, Indonesia Raya terbit.
Pada 1992, pelaksana harian Pemimpin Redaksi majalah Editor Saur Hutabarat menetapkan “Investigasi” sebagai salah satu rubriknya. Dadi Sumaatmadja dan Djoenaedy Siswo Pratikno menjadi pemimpin rubrik baru tersebut. Namun, majalah tersebut pun dibredel dua tahun setelah rubrik tersebut lahir. Selain Editor, media massa lain yang dibredel adalah Majalah Berita Mingguan Tempo (selanjutnya: majalah Tempo) dan tabloid Detik.
Pada 1996, majalah dwi-mingguan Tajuk menyatakan diri sebagai majalah “berita, investigasi, dan entertainmen.” Menurut Sumaatmadja, ketika itu, Tajuk menyebut diri sebagai satu-satunya majalah yang mengedepankan reportase investigasi.
Setelah Orde Baru jatuh, majalah Panji Masyarakat menyebut diri sebagai majalah investigasi. Panji Masyarakat memang memiliki rekaman pembicaraan via telepon antara Jaksa Agung Andi Muhammad Galib dengan Presiden B.J. Habibie.
Kejatuhan orde baru membangkitkan kembali majalah Tempo pada 6 Oktober 1998, menyusul penghapusan Peraturan Menteri Penerangan no.1 tahun 1984 tentang Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers. Majalah Tempo pascabredel diwarnai dengan munculnya rubrik “Investigasi“ yang bertahan sampai sekarang.
No comments:
Post a Comment