4.23.2008

All-size

Di akhir 2003, untuk pertama kalinya saya ke pusat belanja Melawai untuk berburu pakaian. Dalam perburuan itu, saya menemukan satu baju yang saya suka. Tapi, yang dipajang itu lebih kecil dari ukuran saya yang XL ini.

Saya pun bertanya, "Mba, ada ukuran yang lebih besar, ga?"
Jawab si Mba penjaga toko, "Itu all-size, Mba."

All-size? Kalau tidak muat untuk saya, berarti bukan all-size, kan?

Kisah itu teringat ketika saya menonton Oprah Show di Metro TV. Oprah membahas tentang children with autishm. Salah satu hal yang ditekankan dalam topik kali itu adalah bahwa tidak semua perawatan cocok dengan semua anak dengan autisme. Mengikuti alur artikel ini, perawatan untuk autisme bukan all-size treatment.

Saya terkadang lupa kalau setiap orang itu unik sehingga perlakuan kepada mereka pun seharusnya berbeda satu sama lain. Tidak semua sikap dan sifat itu all-size. Kepada beberapa teman, sifat keras saya harus berukuran SS. Bahkan kepada diri saya sendiri, sifat keras itu pun harus kontekstual. Tidak ada satu ukuran mutlak bisa saya pakai dalam setiap time frame.

Saya juga tidak akan menerima kalau saya mendapatkan all-size treatment. Itulah sebabnya saya bersikap konfrontatif saat berada dalam kondisi yang memaksakan saya untuk nrimo-nrimo saja.

Karena saya unik. Karena ukuran all-size itu tidak untuk semua orang.

4.18.2008

Berita tentang Trenggiling

Hari ini saya membaca berita tentang 1,5 ton trenggiling yang dimusnahkan oleh aparat. Trenggiling-trenggiling yang sudah dibedah itu ditangkap di rumah warga Banjarmasin yang berniat untuk mengekspornya. Padahal trenggiling adalah binatang yang dilindungi negara karena hampir punah.

Saya trenyuh membacanya. Saya memang bukan aktivis untuk pelestarian hewan. Saya hanya pendukung. Alasan saya sangat personal.

Saya merasa salah satu kenangan masa kecil saya dirampas untuk kedua kalinya.

Dulu, saya pernah memelihara trenggiling. Memang piaraan yang tidak biasa, sehingga setiap sore halaman rumah saya selalu ramai didatangi orang-orang yang penasaran.

Tidak banyak yang saya ingat, sejujurnya. Saya masih kelas satu SD ketika itu. Saya juga lupa, kenapa Ayah saya memberikan trenggiling itu untuk saya piara. Tapi saya ingat kalau saya memberi pisang sebagai makanannya. Trenggiling saya paling suka bergelung di ventilasi di atas pintu masuk rumah.

Ayah saya membaw pergi trenggiling itu, bahkan sebelum saya memberi nama kepadanya. Kalau tidak salah, Ibu saya keberatan dengan aroma pisang yang merajai rumah. Atau, mungkin, ada yang membelinya? Entahlah. Saya tidak berhasil me-recall memori saya tentang itu.

Selayaknya anak kecil yang benda miliknya diambil, saya sedih. Tetapi, kalau saya pikir, bukan karena saya tidak punya binatang mamalia bersisik itu lagi, karena sepertinya rasa sayang saya belum sebesar itu. Lebih karena kehilangan kebanggaan atas sesuatu yang sangat pantas untuk dipamerkan.

Kehilangan itu terasa lagi ketika membaca artikel itu.

Sedari kecil, saya sudah didoktrin kalau alam Indonesia sangat kaya. Tetapi pendidikan konvensional yang saya dapatkan tidak membekali saya kebijakan untuk menghargai dan melestarikan alam Indonesia yang kaya ini. Mengenai potensi alam ini, yang saya punya adalah kesombongan: bahwa Indonesia adalah negara tropis sehingga banyak tanaman yang bisa tumbuh di sini; bahwa Indonesia memiliki banyak jenis hewan yang hanya dapat ditemukan di sini; bahwa tanah Indonesia menyimpan kekayaan alam berupa migas dan non migas yang dapat ditambang; dan banyak bahwa-bahwa berikutnya.

"Hasilnya, ditemukan 360 ekor trenggiling yang sudah dibedah dan dikuliti di dalam delapan lemari pendingin." Inilah bukti ketidakbijakan kita dalam memperlakukan alam Indonesia ini. Belum lagi kasus pada hewan-hewan lainnya, terutama hewan-hewan yang hampir punah. Ditambah lagi dengan kasus pembalakan liar.

Apakah karena kita berpikir kalau manusia memang memiliki kuasa atas hewan-hewan itu? Atas tumbuh-tumbuhan? Atas alam ini? Karena kita diberi akal budi?

Baiklah, kalau memang demikian. Kemudian, saya akan bertanya, di manakah akal budi itu sekarang?

Duh, tulisan ini memang terlalu emosional. Pun, terlalu personal. Tetapi, ini karena saya marah. Kemarahan karena kebanggaan akan alam Indonesia dihancurkan oleh sesama bangsa Indonesia. Kemarahan karena saya tidak dibekali kebijakan ala sekolah Toto-chan.

Kemarahan karena hidup trenggiling-trenggiling itu dihancurkan oleh ketidakbijakan.


Catatan:
Sumber artikel: www.kompas.com
Sumber gambar: www.deplujunior.org

4.10.2008

Tentang Bapak Bersepeda

Ini salah satu cerita Ibu saya kepada saya. Tentang seorang bapak yang selalu menaiki sepeda tua ke mana pun dia pergi. Padahal bapak itu memiliki sebuah usaha yang sangat maju. Pun, di kota tempatnya tinggal, dia termasuk golongan orang berada.

Bapak itu memiliki tiga orang anak. Ketiganya berkuliah atau bersekolah di tempat yang elit dan bagus. Masing-masing anak tersebut mengendarai mobil mewah. Sementara si Bapak itu tetap menaiki sepeda yang sama.

Lalu, seorang koleganya pun bertanya kepadanya. "Kenapa Bapak tidak naik mobil saja? Kenapa naik sepeda ini, padahal anak-anak Bapak mengendarai mobil mewah."

Inilah jawaban Bapak bersepeda itu. "Mereka itu - anak-anakku itu - pantas naik mobil, karena mereka anak orang kaya. Saya ini tetap anak dari seorang yang miskin."