11.27.2008

Liverpool's and Chelsea's Draw Results

Note:
Actually, this was published in my hubpages, but I decided to close mine for some (hopefully) idealistic reasons. So, here I move the one and only article I ever had there, with context's adjustment.
_________________________________________

Last weekend, Liverpool FC had a match against Fulham for the Barclay's Premier League. The Reds were only able to get one point.

As a Liverpool's fan myself, I felt a little bit disappointed since I was in a big expectation for the league's trophy (and I am still). Liverpool FC was in the second while Chelsea FC lead the temporary result. Both shared the same points, but Chelsea had the goals margin.

Actually, Chelsea's players could save the place if only they won and got a three-points. If only ....

Unfortunately (for them), they had a same destiny with Liverpool. Manchester United as well. The other big four - I talk about Arsenal FC here - had to face the lose.
Isn't it a funny coincidence between Liverpool and Chelsea?

_________________________________________

Updated at Dec 23rd, 2008

Wow! Another funny coincidence. OK, it's not funny anymore. It becomes annoying for a fan like me.

Liverpool came to Emirates Stadium two days ago. And The Reds got only one point from that Arsenal's clash. Chelsea had theirs the day after. "Theirs" refers to the match and the one point as well.

Why? Why can't Liverpool widen the gap with Chelsea? Why are both of them having the same results lately?

Aarrgghh ... I am annoyed since boxing days is just days more. It's in this week!

But, I think, I should be happy for Chelsea having a draw, because I would feel otherwise if they won. :D

11.23.2008

Excerption (1)

Followings are excerpted from Kurosagi - a Japanese drama - ep. 8.
___________________


Sumiko (to Yoshikawa):
“Have you ever tried to imagine the continuation of Cinderella's story?”

“Cinderella and the prince got married and lived happily ever after. Everyone is satisfied with this ending and shuts the book. But ultimately, they might not be able to get over the barrier of their status difference. The prince might have an affair. Their life begins only after the story ends.”

“When something happens, let's say, when the culprit is caught, society will deem the case closed. But to the victim and the ones involved, they will continue to live on forever in the incident.”

….

Kurosaki (to Yoshikawa):
“ …. It may be a thing of the past to the TV and newspapers, but until the victim himself decides so, the story will never end.”

11.17.2008

Kelima Orang Itu …

Ini kejadian di Sabtu lalu. Dimulai dengan adegan saya memasuki gerbong KRL (kereta rel listrik) kelas ekonomi di stasiun Juanda.

Penumpang di gerbong itu cukup padat, terlihat dari jumlah penumpang yang berdiri, bahkan agak berdesak-desakan. Tetapi ada satu bagian tempat duduk yang sama sekali sepi alias tidak ada penumpang yang berdiri menghadap tempat duduk itu. Memang ada yang berdiri di area itu, tetapi para penumpangnya lebih memilih untuk membelakangi siapa pun yang duduk di situ.

Karena penasaran sekaligus ingin membuat diri nyaman, saya berjalan ke arah area kosong itu. Mirisnya, saya kemudian mengerti alasan para penumpang menjauhi tempat itu.

Ada lima orang waria yang duduk di situ, masing-masing dengan pakaian mencolok, kosmetik yang bagus, dan peralatan mengamen. Tidak ada yang tertidur, pun mereka tidak membuka percakapan sendiri. Kelimanya mengamati isi kereta. "Apakah ini kali pertama mereka menaiki kereta, atau apakah mereka merasa diasingkan?" Pertanyaan itu berkelebat di kepala saya, walaupun saya masih sibuk dengan ponsel di tangan saya.

Beberapa saat setelah saya memasukkan ponsel ke dalam tas, seorang pedagang asongan lewat dan berkata ke arah kelima waria itu, "Eh, kasih duduk dong, tuh ibu-ibu. Elu-elu pada kan jantan!" Saya hendak protes karena disebut ibu-ibu, tetapi tertahan saat melihat perubahan di wajah mereka. Karena mereka disebut jantan?

"Duduk, Mba?" Waria yang memakai baju merah menawarkan untuk berbagi tempat duduk dengan saya.
"Ah, ga usah. Saya turun di UI, kok." Saya bingung, sebaiknya memakai sapaan Mas atau Mba.
"Itu mah jauh. Kita turun di Pasar Minggu." Ujar yang memakai baju warna hitam yang duduk di sebelah yang berbaju merah.

Saya pun memutuskan duduk di antara mereka berdua. Si berbaju merah pun mengajak saya bercanda, "Kan saya jadi ikut kelihatan cantik kalau Mba duduk di dekat saya." Itu jelas-jelas sebuah candaan dan basa-basi belaka.
"Saya mah, kalah jauh cantiknya sama Mba. Dandanan Mba bagus gini. Pakaiannya juga cantik." Itu adalah fakta. Itu pula alasan kenapa saya putuskan untuk menggunakan Mba.
"Ih, Mba, secantik apapun saya dandan, tetap kalah cantik sama yang asli." Mengapa kalimat ini menimbulkan simpati saya?
"Masa sih, Mba berpikiran begitu?"
"Ember." Dilengkapi dengan gerakan sedikit menepuk lengan kiri saya. ("Ember" adalah bahasa slang, singkatan dari "emang bener".)

Setelah hening sejenak, saya lalu bertanya ke yang berbaju merah, "Ini baru pada mau kerja atau udah pada kelar?"
"Baru keluar, Mba. Kita mau keliling Pasar Minggu." Diakhiri dengan sebuah senyuman manis.

Kereta berhenti di stasiun Manggarai. Seorang Ibu masuk dan berdiri di depan saya. Saya pun menawarkan tempat duduk saya kepada Ibu itu. Bukan karena saya adalah generasi muda yang baik hati, tetapi karena dada saya berdebar kencang ketika duduk di antara mereka.

Rasa insekuritas akibat pikiran yang sudah dirusak oleh prasangka negatif? Mungkin.

Mereka pun merasa tidak aman, sebenarnya. Pada saat berdiri menunggu kereta berhenti di Pasar Minggu, mereka saling berpegangan tangan seperti segerombolan anak TK yang hendak piknik. Apakah mereka merasa takut berada di antara komunitas yang menganggap mereka tidak normal?

Adalah sebuah kebiasaan bagi penumpang-naik untuk menerobos masuk ke dalam kereta, tidak mempersilakan para penumpang turun lebih dahulu. Pantas 'kan bila saya miris melihat para penumpang-naik membuka jalan lebar-lebar bagi kelima waria itu?

Kereta pun berjalan meninggalkan Stasiun Pasar Minggu. Saya masih berdiri. Kuping saya menangkap pembicaraan antara dua orang penumpang yang baru saja naik.

"Ih, banci tadi .... Seram banget gue ngeliatnya. Gue bahkan sampai mundur waktu liat mereka turun. Gue takut lihat bencong." Ujar salah seorang di antaranya.

Mereka memang menentang hakikat biologis mereka. Bisa jadi mereka beranggapan kalau mereka adalah perempuan yang terjebak dalam raga laki-laki. Tetapi apakah itu adalah alasan untuk merasa takut pada mereka? Apakah tepat untuk menempelkan kata menyeramkan pada diri mereka? Apakah kita harus menggunakan kata banci dan bencong? Ah, jadi teringat majas peyoratif dan amelioratif dari pelajaran Bahasa Indonesia di SLTP dulu.

Media memang memberitakan kriminalitas yang dilakukan oleh kaum queer (transeksual, transgender, gay, dan lesbian). Untuk kriminalitas yang sama, kenapa prasangka lebih negatif kepada pelaku queer daripada terhadap pelaku bukan queer?

Saya pernah menuliskan kalau kita tidak pernah bisa memilih menjadi perempuan atau laki-laki, tetapi kita bisa memilih untuk menjadi manusia yang lebih baik. Tetapi komunitas kita memang masih mengkategorikan manusia atas dua jenis saja, perempuan atau laki-laki. Tidak ada kelompok queer di dalam komunitas (yang kita sebut) normal ini.

Sayangnya, pertemuan dengan kelima orang itu belum cukup menjawab pertanyaan saya: Bagaimana bila saya berada dalam posisi mereka?

11.15.2008

A Little Girl's Story

A ten year little girl was sitting on her daddy's lap when the daddy said this, "Little girl, you have to keep your hair long, OK?"

"OK, Dad." Little girl answered quickly.

Three days later, the daddy was called to come with the Most Powerful Daddy.

That little girl kept her promise till the day she was accepted in her senior school where female students' hair must be shorter than the uniform's collar. "Daddy, what should I do? I am willing to keep my promise to you, but I do want to enter that school."

The little girl cried in her daddy's cemetery. Only the sunset heard the girl's wailing. An hour later, the gravitation called the hairs down as well as the water from her eyes.

It’s been 9 years since that little girl shortened her hair. She had her hair lengthened after her senior graduation.

But she still feels guilty.

11.10.2008

"Kenapa Semuanya Harus Seimbang?"

Seorang kenalan baru di goodreads bertanya, "Kenapa semuanya harus seimbang?".

Pertanyaan itu bertahan di kepala saya selama akhir pekan ini. Itu adalah pertanyaan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Keseimbangan. Apakah itu arti lain dari keadilan? Mencoba membedakan keduanya, saya teringat permainan jungkat-jungkit.

Ada saat di mana si A ada di atas sedangkan si B menjadi pemberat di seberang sana. Keadilan adalah saat si B yang ada di atas dan tugas pemberat ada di badan si A.

Keseimbangan adalah momen di mana tak ada yang di atas maupun di bawah. Jungkat-jungkit itu berada dalam posisi mendatar. Keseimbangan adalah saat di mana si A tidak merasa B memiliki sesuatu yang seharusnya bisa dimilikinya. Keseimbangan adalah saat di mana si B tidak ingin si A mengalami kekurangan yang dialaminya.

Tetapi, sampai baris ini pun saya belum mampu menjawab "Kenapa semuanya harus seimbang?".

Dalam kedangkalan pikiran saya, keseimbangan adalah bagian dari dunia yang utopis. Dan sama seperti konsep utopia, keseimbangan bisa menjadi membahayakan ("Keseimbangan itu bukan keadilan!") tetapi menjadi sebuah imajinasi yang memberi harapan bagi masa depan yang lebih baik.

Keseimbangan, sama seperti dunia yang utopis, juga bisa menjadi sebuah kemungkinan yang tidak mungkin direalisasikan. Sama seperti dua orang anak yang bermain jungkat-jungkit, mereka punya "kekangan waktu untuk bermain", "rasa lelah sebagai manusia", bahkan "mortalitas jungkat-jungkit itu". Tetapi saya punya keyakinan kalau manusia bisa "membangun jungkat-jungkit baru", "menyediakan waktu untuk bermain jungkat-jungkit", dan "tidak mempedulikan rasa lelahnya".

Memikirkan dan mencoba menahan diri agar tidak membaca apapun yang pernah ditulis orang lain tentang konsep keseimbangan, saya memutuskan untuk tidak lagi bertanya kenapa semuanya harus seimbang. Mungkin saya bisa mencoba beropini dengan mengatakan, "Karena itu yang diinginkan oleh banyak orang.", "Karena keadilan juga selamanya tidak adil bagi kompleksitas manusia.", atau "Karena manusia harus dihindarkan dari keinginan untuk menukarkan penderitaannya dengan kesenangan sesamanya." Tetapi saya tidak akan menjawab itu (walau saya sudah menulisnya di sini).

Bagi saya, keseimbangan adalah tujuan, bukan alasan untuk melakukan hal-hal selanjutnya.

Sama seperti balasan saya kepada kenalan baru saya itu.

Kenapa harus seimbang, ya? I'll take time to think about it. Biar jawaban saya ga keliatan bodoh. :P

Tapi saya jadi terpikir begini. Kenapa karma ada? Karena dunia berharap ada keseimbangan. Kenapa ada konsep surga-neraka, baik-buruk? Karena keseimbangan.

Alasan yang sama kenapa ada dikotomi hitam-putih. Tetapi ada banyak orang yang memilih untuk jadi "abu-abu".

Jadi, sekarang saya bertanya, "Bagaimana caranya untuk meraih titik yang seimbang itu?"


Kredit foto: www.indonetwork.co.id

11.06.2008

Karena Obama Berkulit Hitam

Menjelang electoral vote lalu, muncul keraguan kalau Efek Bradley akan terjadi. Barack Obama memang memenangi banyak polling pra electoral vote di AS. Tetapi Obama adalah seorang kulit hitam dan rasisme masih menjadi identitas negara itu.

Saya adalah salah satu yang berharap agar Obama menang. "Tahunnya kulit berwarna", demikian judul salah satu email di milis yang saya ikuti. Bukan karena saya mengikuti perkembangan politik AS, tetapi karena saya pernah membaca tentang rasisme dan pergerakan skin head di negara itu.

Ironisnya, bagi saya, Obama memenangi serangkaian pemlihan itu justru karena dia adalah seorang kulit hitam. Itu bermula dari pilihan dua identitas marjinal yang disediakan Partai Demokrat: mendukung perempuan atau mendukung kulit hitam. Feminisme atau rasisme?

Pergerakan feminisme lebih ke arah kultur, sedangkan rasisme memiliki sejarah politis. Dunia lebih bisa menerima pemimpin pria berwarna kulit apapun dibandingkan seorang pemimpin perempuan berkulit putih. Bagaimanapun, seberapa liberal pun dunia ini sekarang, calon pemimpin perempuan punya lebih banyak tantangan dibandingkan calon pemimpin lelaki. Perempuan harus membuktikan skill dan kemapanan emosionalnya agar dapat diterima masyarakat yang akan dipimpinnya. Lihat saja, bahkan cara berpakaian Hillary Clinton pun menjadi sasaran kritik! Hmmm ... sepertinya Rod Lurie, dkk. harus memperpanjang serial Commander in Chief, nih.

Obama kemudian menjadi calon presiden dari Demokrat, berhadapan dengan McCain. Kesalahan terbesar McCain bukan pada kebijakan politik, latar belakang, maupun cara dia menyerang Obama, tetapi karena strategi McCain yang mengajak Sarah Palin sebagai wakilnya. Menghadapkan marjinalitas dengan marjinalitas, McCain? Lihat saja apa yang terjadi pada Ms. Clinton!

Saat ini orang-orang berusaha memperjuangkan kaum marjinal agar tidak lagi terpinggirkan. Dalam kasus AS, yang menjadi kaum marjinal (no particular order) adalah kulit hitam, perempuan, dan queer. Ketika ada momentum seperti ini, bila ditanyakan mana yang paling diijinkan jadi pemimpin, bukankah pilihan akan jatuh ke pria kulit hitam yang bukan queer? Itu retoris. Ketika kulit hitam dihadapkan pada kulit putih, lagi-lagi dengan alasan perjuangan bagi kaum marjinal, kulit hitam akan menjadi pemenang.

Apakah kemenangan Obama menjamin rasisme akan menghilang? Tidak. Seperti yang saya sebut di atas, rasisme di belahan dunia mana pun, berkaitan dengan sejarah politik yang sudah berurat berakar. Lalu, apakah ini memastikan Obama dapat menjadi menjadi pemimpin yang baik yang membawa perubahan, sesuai dengan tagline kampanyenya?

Untuk itu, Obama harus belajar dari Lewis Hamilton. Hamilton menjadi pemenang F1 tahun ini, bukan karena dia berkulit hitam, tetapi karena dia adalah hasil sinkronisasi skill, taktik, pabrikan, dan mekanik.

Ditambah ketidakbecusan kompetitornya.



Kredit foto:
Obama: www.kompas.com
Hamilton: www.detiksport.com

11.04.2008

If Tomorrow Never Comes

Ada tradisi mangandung dalam sub-etnis Batak Toba. Ini adalah meratapi jenazah seseorang sambil melantunkan syair atau kalimat curahan kesedihan hati. Bila "meratapi" diterjemahkan menjadi "mangandung", maka "ratapan" menjadi "andung-andung".

Saya ingat salah satu andung-andung Mama ketika Bapak saya meninggal di 26 April 1993. Mama, di antara deraian air matanya, menyebutkan kalau sampai kematiannya datang, Bapak tidak pernah mengatakan holong (sayang) kepada Mama.

Saya adalah seorang anak perempuan yang dibesarkan dengan keinginan untuk mendapatkan pria pejuang cinta seperti Bapak saya. Lepas dari kenyataan bahwa Bapak harus menyerah kepada kondisi alaminya sebagai seorang lelaki dan seorang Batak konservatif, semua orang di sekitar keluarga kami bisa melihat dengan jelas bagaimana besarnya rasa holong Bapak kepada Mama.

Ini hal yang tidak pernah saya bicarakan secara gamblang dengan Mama, tetapi saya tahu Mama pun meyakini hal yang sama. Itulah alasan kenapa beliau bertahan dalam tekanan tradisi yang harus kami hadapi. Keyakinan yang sama juga yang membuatnya tidak menikah sampai sekarang. Bapak sudah menetapkan standar yang terlalu tinggi dalam hidup Mama.

Ada yang menyebutkan, rasa sayang tak harus diucapkan dengan kata-kata karena perbuatan mampu menyampaikannya dengan lebih jujur. Tetapi, Mama saya tetap merasa ada yang kurang saat pengungkapan itu tak didapatkannya dan tak akan pernah. Rasa "ada yang kurang" itu bukan pada yang seharusnya mengucapkan, tetapi pada pihak yang ingin mendengarnya.

Sebuah contoh sempurna untuk "if tomorrow never comes."

11.03.2008

Without Computer and Love?

I had my hard disk damaged. It was begun with the late awareness of virus existence in my computer and ended with ensuring myself not to act a genius in computer thingy. My computer? It can't be operated till a new hard disk installed.

Beforehand, I thought I couldn't live without my computer (stressing at my computer, not computer in general). Apparently, I still have my days running as strange as usual. I am still thinking about things, still sharing them here (using my office's computer).

But, I am in urge for buying a new hard disk. Yes, I can live without my computer. I just don't want to.

Does it sound like loving someone? We can live without our beloved one. “You can turn off the sun, but I am still gonna shine,” Jason Mraz sang. But, do you want to live without him or her?

So, what's the cheesiest line in a love story or a love song? Yeah, the "I can't live without you!" line.