5.24.2009

Suicide

I've been following news from South Korea's entertainment industry, and pretty used to ones about public figures who committed suicide. I know, writing "pretty used to" sounds senseless, but that's the fact. No, they were not in a particular suicide sect! They all killed themselves due to each personal problem.

Hope they rest in peace. But, why on earth do they think death can solve their problems?

And just minutes ago I read about former South Korean President Roh Moo-hyun who committed suicide this morning, 6.30am (4.30 am Jakarta).

I wanted to say this to him, "Dear, late Mr. Roh. Did you think your death will stop the investigation of your bribery scandal?"

But, all I can say is, "Rest in peace!"

Now, let's cut the distance. I am bringing the Indonesian flavour!

First, why do I never hear anything about Soeharto's cases after he died? Is death powerful to set people's mind? Does his death make us forgetting all?

Ok, not "us".

Perhaps the more suitable question is, "Is Soeharto's death able to make Indonesia's law amnesia?"

Ah, I think Indonesia's law is being schizophrenic at the moment!

Second, how many movies or drama you've watched that ended up by the death of the antagonists?

Bunches. After all, I hate that kind of plot. Even if I rated the story 10 out of 10 in the beginning or the middle, after finding out it was wrapped by the antagonist's death, I would immediately give it 0 out of 10. I watch dramas or movies to make me feel good, not to be treated as a fool who can't find logic solutions for my problems.

Woo the scriptwriter! Woo the producer who let the drama/movie to even see the sunlight!

We are not Japanese whose seppuku is treated as a tradition. There is a philosophical thought beyond that action. Even the modern Japanese tries to change that mindset!

I am being emotional, but I really hope everyone can enjoy their life.

There were a lot of people who respect their live. Instead of live longer, they died in a Hercules accident. There were people who really wanted to spend their New Year with their beloved family, but ended up as the victims of Adam Air's accident in Majene.

Isn’t it sadly enough that, as for now, all the victims are only remembered statistically?


_________
Updated at 2009.06.19

I read this in japantimes.co.jp. About suicide stereotype on Japanese. And how media contributed to that. Click here.

5.11.2009

From Andromeda Shun to Meteor Garden


Saat saya buat "Andromeda Shun" jadi status saya di facebook, beberapa teman penggemar Saint Seiya meninggalkan komentarnya. Lepas dari celaan mereka pada Andromeda Shun - yang katanya tidak punya nyali, selalu minta bantuan kakaknya (Phoenix Ikki), dan tampangnya terlalu feminin - saya menikmati debat online itu. Hey, masa-masa marah saat idola saya dicela itu sudah lama berlalu! :D

Buat saya, debat itu menunjukkan ada kesamaan kisah, kesamaan pengalaman yang bisa kami bagi. Yah, tontonan masa kecil itu.

Saya ingat, saya dan teman-teman sekos saya membahas Sailor Moon dalam waktu yang cukup lama. Betapa setiap kami punya obsesi pada Chiba Mamoru a.k.a Tuksedo Bertopeng. Betapa kami pernah mengasosiasikan diri dengan sailor favorit kami (SAILOR MARS!). Bahkan, seorang teman pernah bercerita, kalau di setiap jam istirahat zaman SD dulu, dia selalu ke toilet bersama gank-nya dan melakukan ritual transformasi menjadi sailor. "Dengan kekuatan bulan, akan menghukummu!" Hahahaaa ....

Dan, kalau dilanjut, saya mungkin akan membahas tentang Power Rangers, Ksatria Baja Hitam, Kera Sakti, ... banyak!

Itu kenangan masa SD. Dari masa SMP, topik yang paling sering saya bicarakan dengan teman-teman adalah MTV. Ya ... itu ... MTV waktu masih bermutu itu! Ketika Sarah Sechan, Jamie Aditya, Mike Kasem, Nadya Hutagalung, dan Donita jadi VJ-nya. Ah, jadi pengen nonton video "Jamie Anak Nakal" lagi. :D

Maju ke segmen saya berikutnya, SMU. Saya akan sebutkan Meteor Garden yang happening di masa akhir SMU saya. Jadi, Meteor Garden akan mewakili masa SMU dan masa awal kuliah saya.

Meteor Garden tahun 2002 itu merupakan drama Taiwan yang diadaptasi komik Jepang, Hana Yori Dango. Drama itu berkisah tenang San Chai, mahasiswi miskin berurusan dengan empat pemuda kaya (Tao Ming Tse, Hua Che Lei, Xi Men, dan Mei Zuo) yang menamakan diri F4 (Flower Four). Bla, bla, bla ... Tao Ming Tse jatuh cinta pada San Chai, bla, bla, bla, lalu berakhir bahagia. See, it's a cinderella story!

Para kaum pria, silahkan menyebut saya dan teman-teman perempuan saya terkena cinderella syndrome, namun kami berbahagia saat mengenang masa-masa itu. Kami tertawa saat mengingat dulu betapa sukanya kami pada anggota F4 tertentu (It was Mei Zuo for me!) dan bertanya-tanya mengapa kami bisa sebegitu sukanya pada mereka. Bahkan, dua bulan lalu, saat saya dan teman-teman sekos saya menghabiskan waktu menonton ulang DVD Meteor Garden itu, kami menertawai scenes tertentu, dan komentar "Aduh, norak!", "Kenapa dulu gw suka ini?", atau "Dulu kok gw lihat ini keren, ya?" kerap terdengar. Hahahaa ...

Iya, kalau ditanya sekarang, saya bisa bilang: akting Jerry Yan sangat jelek, Vic Zhou terlihat seperti orang penyakitan (bukan cool seperti yang digambarkan komiknya), Ken Zhu kurang playboy, dan Vanness Wu sangat pecicilan.

Saya pikir, efek Meteor Garden bukan hanya ada pada kami, para perempuan. Baru-baru ini saya menyusup ke file-file yang di-share oleh rekan-rekan sekantor saya. Saya kaget juga saat mengetahui kalau seorang rekan Tionghoa saya memiliki koleksi lengkap album F4.

Temuan itu mengingatkan saya pada pembicaraan dengan seorang teman Tionghoa di kantor sebelumnya.

"Eh, ternyata lu ada miripnya sama Mei Zuo, ya?"
"Yang F4 itu, ya? Teman gw juga pernah ngomong gitu."
"Oh ya? Trus reaksi lu?"
"Gw sih bangga-bangga aja."

Teman Tionghoa saya itu mungkin adalah yang direpresentasikan oleh skripsi seorang senior saya yang membahas tentang Meteor Garden dan identitas kaum muda Tionghoa. Bukankah, saat era Meteor Garden, sinetron Indonesia mulai menampilkan wajah oriental di antara pemerannya? Para pembuat sinetron punya tambahan pilihan untuk dijual, tidak lagi terbatas di wajah Indo.

Pada 2005, Jepang pun membuat dorama Hana Yori Dango (HanaDan) yang lebih setia pada komiknya. Pada 2007 dibuat pula sekuelnya: Hana Yori Dango Return dan pada 2008 ada versi filmnya. Akting, alur cerita, cast, chemistry, dan atmosfer kekayaannya jauh lebih baik daripada versi Taiwan. Itu jelas! Tetapi, walaupun saya jauh lebih menyukai HanaDan daripada Meteor Garden, dari aspek mana pun, saya tidak menyebut diri saya generasi HanaDan. Saya generasi Meteor Garden.

Ah, saya punya banyak cerita untuk anak saya nantinya, seperti Mama saya yang bercerita tentang film-film Roy Marten yang ditontonnya di masa remajanya.

Saya: "Waktu SD dulu, Mama suka nonton Saint Seiya sama Sailor Moon."
Anak saya: "Trus waktu SMP?"
Saya: "Mama nonton MTV. Waktu itu acara MTV masih bagus-bagus."
Anak saya: "Trus, waktu SMU?"
Saya: "Waktu akhir SMU, trus sampe kuliah, Mama nonton Meteor Garden."
Anak saya: "Trus, waktu udah kerja, Mama nonton acara tv apa?"
Saya: (sambil tersenyum bijak) "Mama gak nonton apa-apa. Mama kan sibuk kerja, Nak, waktu itu. "

Dalam hati, "Masak sih gw ngaku nonton sinetron Intan, Cinta, Bunga, Wulan, apalah itu? Atau acara-acara rekayasa itu? Apa kata anak gw ngebayangin Mama-nya yang pintar dan kritis ini nonton acara begituan? &@#$#&*&&##^*!!!!"

Sungguh imajinasi yang mampu melarang diri saya menonton sinetron saat ini. ^_~

5.04.2009

Mas? Pak? Om? "Aarrgghh!!"

"Hai Adek. Adek mau kue?" Tanyaku pada anak kecil yang memandang ke arahku sambil berdiri di pangkuan Ibunya. Saat itu, saya yang duduk di belakang kursi Ibunya memang sedang memegang sebuah kue.

"Gak usah, Om. Makasih, Om." Sambil menyelesaikan kalimatnya, si Ibu membalikkan badannya ke belakang. Saya terdiam mendengar jawaban itu. Si Ibu memandang ke arah saya. Saya menunggu, apakah beliau menyadari kesalahannya. Lalu, "Adek, jangan ganggu Om-nya, ya. Om-nya lagi sibuk pegang kamera."

GUBRAK!!

Dan itu bukan kali pertama saya disalahduga sebagai lelaki.

Pengalaman pertama itu di tahun 2002, di Matahari Dept. Store yang dulu ada di Depok Mall. Saat itu, customer service-nya meminta KTP saya karena saya mendaftar untuk mendapatkan Matahari Club Card.

"Mas, saya bisa minta KTP-nya?"

WHAT??

Saya berikan KTP saya dengan bagian depan menghadap ke atas.

"Saya pegang dulu KTP-nya, Mas."

WHAT??

Lalu dia melihat bagian belakang KTP saya, dan, "Aduh, maaf, ya, Mba. Ternyata Mba, ya."

Kali itu, saya dan teman saya tertawa. Saya pikir itu lumrah, karena rambut saya masih sangat pendek. Maklum, sisa-sisa pendidikan semi-militer dari zaman SMA.

Kali kedua, tahun 2005, di dalam KRL Ekonomi menuju Tebet. Saat itu, saya dan kakak kos saya berdiri berhadapan dengan kondisi kereta tidak terlalu padat. Seperti biasa, para pedagang bersilewaran, salah satunya adalah si bapak pedagang pulpen ini.

"Mas, pulpennya, Mas." Dia menyodorkan dagangannya ke arah wajah saya. Saya menggelengkan kepala.

"Serebu, Mas. Serebu." Di titik ini, kakak sekos saya tertawa.

Saya dipanggil Mas! Lagi!

Bapak pedagang itu pergi tanpa merasa sudah menyalahdugai saya.

Dan kejadian ketiga berlangsung hanya setengah jam setelahnya.

Turun di stasiun Tebet, saya melanjutkan perjalanan dengan Metromini 52. Saya duduk di kursi dekat pintu depan, merapat ke dinding, dan tempat duduk sebelah kanan saya kosong. Persis sebelum Metromini berangkat, seorang perempuan naik dan duduk di sebelah kanan saya itu.

Dalam perjalanan, saya menyadari kalau perempuan itu selalu memperhatikan saya. Merasa jengah juga, dan mulai berpikir yang tidak-tidak. Lalu, tanpa tedeng aling-aling, dia bertanya, "Mas, bukannya itu jepit rambut cewek, ya?"

Ya, saat itu saya memang memakai jepit rambut feminin. Mungkin si Bapak pedagang tadi tidak memperhatikan jepit rambut itu. Tapi, si Mba yang ini, sebegitu besarkah rasa penasarannya?

Aarrgghh!! Dipanggil Mas lagi!! Bahkan disangka punya keanehan karena memakai jepit rambut perempuan!

Dua tahun kemudian, datanglah si kejadian keempat.

Kejadian pertama hingga ketiga bisa saya anggap lumrah karena cara berpakaian saya yang memang tomboy. Tapi, di kejadian keempat ini, saya harus mencari alasan lain.

Dengan berpakaian feminin karena akan bertemu klien, - memang tidak dengan rok - saya menghentikan taksi di depan kantor saya. Saya buka pintu. Saat saya hendak duduk, si Bapak Supir menyapa saya, "Selamat Pagi, Pak."

PAK??

Dalam hati, "Oke, tenangkan diri. Mungkin beliau hanya salah ucap. Saya 'kan sudah dandan begini."

"Pagi, Pak. Kita ke BCA Slipi, ya, Pak." Saya berharap dia bisa menyadari salah duganya itu.
"BCA Slipi, ya, Pak? Mau lewat mana, Pak?"

WHAT?? PAK?? LAGI!!

Untungnya di saat turun, beliau menyebut saya, "Ibu."

Kejadian kelima, dan semoga Diurno belum bosan, terjadi di KRL Ekonomi. Dalam keadaan berdiri agak berdesakan, si Mas pedagang koran lewat dan memegang bahu saya sambil berkata, "Maju dikit, Mas. Saya mau lewat."

HEH??

Satu setengah tahun kemudian, saya dipanggil "Om."

Hahahaaa ....

It’s just a simple lesson of live. Be careful what you wish for. To realize that I once wished being born as a man, I shouldn't be upset with those mistaken-as-a-man experiences, should I?

Hehehee ….