10.19.2009

The Sense of Being a Human

We sometimes forget about the sense of being a human.

I am writing this while watching information about the funeral of Azhari's mother. Rahma was interviewed about what kind of person her mother was. On the cemetery, Rahma walked surrounding by lots of microphones and cameras.

I may say that the Azharis love media attention. But, did the journalists need to question her in mourning?

Few days ago, I watched a talk show re-run by TVone in the midnight. They talked about the death of Saefudin Jaelani and M. Syahrir. What bothered me most was this particular clip in which TVone's reporter interviewed SJ's sister. (Or was it MS'? I can't remember well.)

What did the faceless reporter ask her? I don't know the exact questions, but based on her answers, the question was likely about how and why SJ (or MS) could involve in terrorism and who persuaded who.

I may understand the importance of this issue in our country. But, could the respective television company remember the sense of being a human? That lady just lost her brother! Her family will be called as the family of a terrorist, and yet her face wasn't blurred at all!

I understand what professionalism should be. But, did that sister have a vital role in solving terrorism issue in our country? If she had, she wouldn't agree to be interviewed by a mass media.

This controversy was once a huge topic back in my college time. Do you still remember the Lion Air's accident in Solo? ANTV had the so-called exclusive footage of that accident since one of their cameramen was involved in it. The cameraman recorded the moment when the flight attendants helped the passengers to get out of the crashed plane.

So, the cameraman preferred holding camera rather than helping the victims? The cameraman could walk around, obviously.

I ask myself a lot regarding this issue. What should I do if I am involved in the similar circumstances?
________________________________

Ps.
Another inspiration of this writing is the upcoming Japanese documentary drama about Tomohiko Mitsuyama, a real newsperson who involved in Hanshin-Awaji earthquake disaster in 1995. Mitsuyama was conflicted about pointing the camera at disaster victims and to struggle and worry about his work.

10.07.2009

The Infotainment-esque Facebook

Ironis.

Saya melihat facebook page seorang teman yang sedang berada di Padang saat gempa itu terjadi. Saya tersentuh dengan wall posts penuh perhatian yang mereka berikan kepada teman itu, namun kemudian the nocturnal-mona mengambil alih sisi melankolis itu.

Karena, hal pertama yang akan dilakukan oleh seseorang setelah gempa terjadi adalah menyalakan komputer, laptop, atau blackberry-nya, lalu log in ke facebooknya.

Oke. Memang bukan seperti itu.

Ada juga sih, sisi baiknya. Bila kemudian si teman itu merespon dalam beberapa hari kemudian, itu adalah tanda positif kalau dia ternyata selamat dari gempa itu. Horay!

Wall dan status di facebook jadi tempat curhat sudah jadi umum. Thanks to hide/remove option di setiap feed yang masuk ke homepage saya, tetapi ini tidak menghalangi saya untuk berpikir kalau Facebook sudah menjadi infotainment-esque. Paling tidak, infotainment versi Indonesia.

Sekilas infotainment Indonesia.

Infotainment adalah mutasi dari genre berita dunia hiburan Indonesia, karena genre ini tidak lagi berfokus pada kata berita, melainkan pada kata informasi. Itulah etimologinya, yakni informasi dan entertainment. Tetapi kemudian, ketika kapitalisme telah menunjukkan kuasanya di genre itu, infotainment kemudian mencoba mengkomodifikasi idealisme jurnalisme dengan menggunakan kata "jurnalisme infotainment", "infotainment investigasi", atau "wartawan infotainment". Dalam ranah jurnalisme ideal, "jurnalisme infotainment" sama artinya dengan "sampah", "infotainment investigasi" sama dengan "gosip, paparazzi, opini, dan berbagai hal tanpa basis fakta", sementara "wartawan infotainment" adalah "pekerja media", ameliorasi dari "gosiper".

Jurnalisme itu adalah ruang publik. Media massa adalah yang menyalurkan content ruang publik ke ruang pribadi. Itulah salah satu alasan utama kenapa infotainment tidak akan pernah terkategorikan di ranah itu, karena karakter infotainment Indonesia adalah ruang pribadi memasuki ruang publik. Mengapa sakaratul maut Sukma Ayu harus disiarkan di televisi? Kenapa saya harus tahu apa isi kamar atau tas si orang itu? Mengapa mereka menggunakan media televisi untuk menyampaikan kekecewaan atau ancaman ke mantan istri atau suaminya? Intinya, mengapa content ini ada di televisi saya?

Anda bisa bilang, "Mon, kalau ga suka, pilih aja channel lain, atau matiin tv lu!"

Saya jawab, "Saya hidupin tv karena saya butuh hiburan. Tapi saya tidak punya pilihan karena memang, tidak banyak pilihan yang tersedia." Singkirkan User and Gratification Theory! Salahkan rating AC Nielsen yang memicu homogenitas acara di satu slot waktu tayang!

Lalu, bagaimana the infotainment-esque facebook ini?

Facebook punya feeds. Inilah yang kemudian membuat facebook menjadi ruang publik, bukan sekadar jejaring sosial. Itulah mengapa kadang saya mengernyitkan kening saat melihat status atau wallpost yang di-feed ke saya. Demikian juga dengan sekian banyak kuis yang tidak jelas itu. Bagi saya, pengguna facebook yang bijak adalah yang bisa mengerti bahwa apa pun yang dilakukannya di facebook akan menginvasi home orang lain. Anggaplah seperti Anda buang air besar di dalam rumah Anda, tapi ada saluran bernama facebook yang menyalurkan tinja itu ke rumah tetangga-tetangga Anda, bahkan mungkin ke rumah orang yang Anda add hanya untuk sekadar menambah jumlah teman di facebook Anda.

Untuk ironi teman saya yang mengalami gempa itu, begini teori saya.

Anda pernah menonton infotainment di mana salah satu so-called selebriti menyampaikan ucapan belasungkawa atau selamat kepada rekannya sesama so-called selebriti? Bagaimana nocturnal-mona menanggapinya? Yeah, right! Hanya supaya Anda bisa dilihat sebagai orang yang perhatian kepada rekan Anda.

Mungkin saya salah bersikap sekeras dan senegatif itu. Saya mengerti, ketika kartu pos, telegram, dan kartu ucapan hari raya kemudian digantikan oleh SMS. Saya mengerti, mengapa facebook begitu populer. Tetapi, dalam kasus ini, saya melihatnya sebagai sebuah ironi.

Bila Anda perhatian, maka Anda akan segera menghubungi via telepon, bukan via wallpost facebook, karena Anda pasti bisa membayangkan kondisi rekan Anda itu.

Ironis, karena konsep "perhatian" pun sudah bermutasi secara virtual.