4.28.2009

Lapisan Bawang

Siapa yang tahu kalau saya punya kebiasaan mencampurkan cappucino ke nasi imbi saya? Tahu kalau saya tergila-gila dengan salah seorang anggota boyband Jepang? Atau, fakta kalau saya terlalu pengecut untuk menjadi seorang jurnalis?

Pada setiap manusia, selalu ada lapisan kepribadian yang akan terbuka secara perlahan-lahan saat berkomunikasi dengan manusia lain. Seperti lapisan bawang merah, kata Social Penetration Theory (Altman & Taylor). Jumlah lapisan yang kita buka terhadap seseorang mengindikasikan kedekatan kita terhadap orang tersebut. Hmm ... sebenarnya Altman & Taylor lebih fokus ke tingkatan yang dilewati dalam proses penetrasinya, kalau saya tidak salah. Tetapi tulisan saya di sini akan lebih praktis (dan narsis).

Lapisan terluar akan kita buka pada orang-orang yang baru kita kenal. Ini biasanya berisi informasi-informasi umum, seperti nama, tempat kerja, dll. Tetapi, untuk kasus saya, tempat kerja saat ini berada di lapisan yang lebih dalam, mungkin kedua atau ketiga. Seorang yang telah lama tinggal sekos bersama saya baru mengetahui tempat kerja saya. "Heh? Lu kerja di bisnis itu, Mon?"

Setiap orang memiliki lapisan beragam. Jadi, tema lapisan terdalam saya belum tentu merupakan lapisan terdalam bagi orang lain. Bahkan, dalam kasus saya, tema terdalam itu tergantung pada konteks ruang, waktu, dan lawan bicara. Bila kembali di kampung halaman saya, agama adalah topik yang tidak bisa saya ungkapkan. Padahal, agama bukanlah inti lapisan bawang saya. Sementara, bila di sini, posisi topik agama akan digantikan oleh topik lain. Bahkan pada Mama saya, saya tidak bisa membicarakan pernikahan - topik yang saya bicarakan secara santai dengan teman-teman saya.

Bagi orang lain, lapisan terdalam mereka bisa jadi adalah hubungan romantis, keluarga, cita-cita, sex, atau uang. Mine? None of those. :D

Pada lapisan mana pun, bahkan lapisan terdalam sekalipun, selalu ada kemungkinan untuk withdrawal. Tak heran bila semakin ke dalam, semakin sedikit jumlah orang yang mengetahuinya. Tetapi, semakin kecil pula kemungkinan untuk withdrawal, entah dari pihak yang mana pun. Saya adalah salah seorang yang sudah menjalani kesedihan melakukan withdrawal saat sudah berada di level terdalam.

Ah, saya jadi lupa kenapa saya mulai menulis ini. Tetapi ini bagus buat saya karena masih mengingat salah satu teori yang pernah saya pelajari di bangku kuliah dulu.

Kalau buat saya saat ini, ada beberapa yang berada di lapisan yang cukup dalam. Lagi-lagi belum yang terdalam, karena biasanya lapisan terdalam adalah milik diri sendiri. Dan tidak ada yang memaksa Anda untuk membuka lapisan itu. Lapisan yang dibuka dengan paksa berpotensi merusak hubungan Anda dengan orang yang bersangkutan. Kondisi karbitan itu malah akan memperbesar kesempatan untuk withdrawal. I've been there, done that. :D

Jadi, Anda tidak perlu untuk curhat bila memang Anda tidak bisa dan tidak ingin. Anda tidak perlu merasa tidak nyaman saat seseorang mengatakan Anda terlalu introvert. Jangan membuka dengan paksa "lapisan bawang" Anda. Kalau Anda buka paksa, yang rusak pertama kali adalah "bawang" Anda itu.

Dan bila ada yang curhat pada Anda, itu berarti Anda berhak untuk narsis dengan pikiran, "Ah, dia sudah membuka satu lapisan bawangnya pada saya!" :P

4.16.2009

News Sources


See the context here.

Jejak Reportase Investigasi

Note:
  1. Ini saya copy-paste dari Bab Pendahuluan skripsi saya (2006).
  2. Saya memang inkonsisten dalam penggunaan istilah karena disesuaikan dengan literatur yang dikutip. Berikut beberapa istilah yang dipakai: investigative reporting, reportase investigasi, investigative journalism, dan laporan penyelidikan. Istilah-istilah tersebut mewakili produk investigatif media massa.
  3. Yap, Bondan Winarno yang saya sebut di sini adalah orang yang sekarang dikenal dengan acara wisata kulinernya.
____________________________


Sebelum nama investigative reporting muncul, istilah muckracking journalism telah populer di era 1902-1912. Istilah muckracking diberikan oleh Presiden Amerika Serikat, Theodore Roosevelt kepada para reporter yang menyoroti muck (kotoran) Amerika Serikat. Ini adalah periode di mana tokoh pers dunia Joseph Pulitzer berseteru dengan Roosevelt. Ketika itu, Pulitzer membongkar kasus suap dalam pembelian tanah untuk Kanal Panama, yang diduga berkaitan dengan Roosevelt.

Sejarah reportase investigasi dunia tidak dapat dilepaskan dari karya investigasi dua wartawan harian The Washington Post, yakni Carl Bernstein dan Bob Woodward. Woodward dan Bernstein ditugasi oleh The Washington Post untuk menginvestigasi kasus pencurian kantor Partai Demokrat di kompleks kantor dan hotel Watergate, Washington D.C. Ternyata kasus pencurian tersebut berujung pada pengungkapan penyelewengan dana pemilu Presiden Amerika Serikat Richard M. Nixon. Nixon mundur dari jabatan Presiden Amerika Serikat pada 1974, di tengah-tengah masa jabatannya.

Investigative reporting juga dikenal di Indonesia seperti dilakukan harian Indonesia Raya sebagai pionirnya. Di bawah pimpinan Mochtar Lubis, harian ini menampilkan beberapa investigative reporting, salah satunya adalah investigasi terhadap sejumlah institusi penting di masa Orde Baru, seperti kasus korupsi di Pertamina pada tahun 1969 dan kasus korupsi di Badan Urusan Logistik (Bulog) tahun 1972. Ada pula investigasi terhadap Hospitality Committee dalam penyelenggaraan Konferensi Asia-Amerika pada April 1955 di Bandung. Ternyata komite ini menyediakan wanita-wanita penghibur untuk para peserta konferensi.

Jurnalisme Indonesia juga pernah menghasilkan sebuah liputan investigasi berskala internasional. Investigasi itu adalah mengenai skandal emas Busang yang dibuat oleh wartawan freelance Bondan Winarno. Investigasi ini diterbitkan dalam buku berjudul Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi.

Bre-X adalah perusahaan gurem yang mendadak terkenal karena menemukan tambang emas Busang. Tambang emas tersebut semula diduga memiliki kandungan emas terbesar di dunia. Wakil Komisaris Utama Bre-X John Felderhof yang mengatakan, Busang mungkin mengandung deposit 200 juta ons emas. Hal ini diumumkan pada 19 Februari 1997. Sebulan kemudian, Mike de Guzman, geolog yang bersama Felderhof menemukan deposit emas itu, terjun dari helikopter. Ia meninggalkan catatan yang mengindikasikan kejadian tersebut adalah sebuah bunuh diri. Pada 5 Mei 1997, Bre-X mengumumkan laporan independen yang ternyata menemukan kalau deposit emas itu hanya sebuah “pepesan kosong”.

Bukan hanya Bondan yang melakukan investigasi terhadap Busang. Douglas Goold dan Andrew Willis menerbitkan buku berjudul The Bre-X Fraud. Namun ada faktor pembeda yang signifikan. Bondan Winarno adalah wartawan yang pertama kali menyatakan de Guzman masih hidup. Pernyataan ini, tentu saja, dilengkapi dengan bukti, walau masih berstatus “bukti lunak” karena “bukti keras” belum ada. Bondan juga mendapatkan jawaban tertulis dari Felderhof.

Selain investigasi mengenai Busang, Bondan juga pernah menginvestigasi tentang tenggelamnya kapal penumpang Tampomas II di Selat Makassar. Investigasi ini diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Neraka di Laut Jawa pada awal 1980-an, kurang lebih tujuh belas tahun sebelum Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi diterbitkan. Bondan mengkategorikan tulisan tersebut sebagai sebuah karya jurnalistik dengan pendalaman investigatif.

Investigative reporting di Indonesia juga mengalami tekanan dari pemerintah. Dadi Sumaatmadja, mantan Redaktur Investigasi majalah Tajuk, menyebutkan, reportase investigasi dianggap sebagai buah terlarang oleh penguasa masa Orde Lama dan Orde Baru. Karena itulah harian Indonesia Raya menjadi bagian penting dalam sejarah investigative reporting di Indonesia, seperti yang disebutkan di awal.

Selain investigasi terhadap institusi pemerintah, Indonesia Raya juga pernah melakukan investigasi – atau apa yang disebut Sumaatmadja sebagai investigasi – seputar pernikahan Presiden Soekarno dengan Hartini yang beredar tanpa ada yang memberi kepastian. Dengan pengakuan penghulu yang menikahkan mereka dan salinan akte nikah, Indonesia Raya terbit.

Pada 1992, pelaksana harian Pemimpin Redaksi majalah Editor Saur Hutabarat menetapkan “Investigasi” sebagai salah satu rubriknya. Dadi Sumaatmadja dan Djoenaedy Siswo Pratikno menjadi pemimpin rubrik baru tersebut. Namun, majalah tersebut pun dibredel dua tahun setelah rubrik tersebut lahir. Selain Editor, media massa lain yang dibredel adalah Majalah Berita Mingguan Tempo (selanjutnya: majalah Tempo) dan tabloid Detik.

Pada 1996, majalah dwi-mingguan Tajuk menyatakan diri sebagai majalah “berita, investigasi, dan entertainmen.” Menurut Sumaatmadja, ketika itu, Tajuk menyebut diri sebagai satu-satunya majalah yang mengedepankan reportase investigasi.

Setelah Orde Baru jatuh, majalah Panji Masyarakat menyebut diri sebagai majalah investigasi. Panji Masyarakat memang memiliki rekaman pembicaraan via telepon antara Jaksa Agung Andi Muhammad Galib dengan Presiden B.J. Habibie.

Kejatuhan orde baru membangkitkan kembali majalah Tempo pada 6 Oktober 1998, menyusul penghapusan Peraturan Menteri Penerangan no.1 tahun 1984 tentang Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers. Majalah Tempo pascabredel diwarnai dengan munculnya rubrik “Investigasi“ yang bertahan sampai sekarang.

4.14.2009

Wartawan Perang

Teringat perbincangan dengan seseorang (yang bahkan saya tidak ingat lagi siapa) ketika kuliah dulu.

Dia:
"Kyanya lu emang suka banget sama jurnalistik, ya?"

Saya:
"Emang. Gw pengen banget jadi wartawan perang."

Dia:
"Kenapa?"

Saya:
"Highest achievement aja kalo jadi wartawan perang."

Dia:
"Tapi tanpa lu sadari, lu berharap perang tetap ada, kan?"

Saya terdiam.

4.07.2009

Push

Last Saturday, I went to 21 Cinema at Detos. I and my friend found "Push" as the most worth to watch compared to other movies. You know … the Indonesian movies that use long hair and thick white powder to scare you.

Anyway, I was quite entertained watching that movie, and it wasn't because of the cast, since I am not a fan of Chris Evans (as Nick). Yes, I like watching Dakota Fanning's movies, but this one doesn't reflect her acting's quality.

I won't summarize the story since Diurno can browse about it. I want to write what I found interesting in that movie.

First, it was like watching a documentary, not a movie. Sometimes, it would be a music clip every time Kira (played by Camilla Belle) appears. I wasn’t pretty surprised when I knew that "Push", "Lucky Number Slevin", and "Wicker Park" were directed by the same person, Paul McGuigan. Those three share the same style and psychological twisted ending.

Second, I love Fanning's tee in that movie. Played as Cassie, she only wears one tee, the one with Reduce, Reuse, Recycle written on. But that tee happens to be an irony for me. There is a scene where Cassie takes out a bottle from a plastic bag, and then she throws it on the street. While wearing that 3R tee! What an irony!

Third, the best fight scenes (in that movie, not EVER) are the ones between two movers, Nick and the sidekick of Djimon Honsou. It's entertaining, but don't compare it to other action movies. Just don't!

Fourth, I found a blooper! In plot that is, not special effect. There is a scene when Nick is pent-up in the car's baggage. He is supposed to be able to unlock the handcuffs that tie his hands while spending minutes in there. But, no! Apparently, he needs an open stage to perform his ability. After a man felt onto the baggage and happened to open it, Nick gets out with handcuffs still tie his hand. Get a fresh air, and tada ...! There you go!

I still enjoyed my time, though. Am I considered a weirdo if I confess writing those four in my book while watching? Yes, I am a weirdo. :D