12.07.2011

Sapuan di Lapangan Parkir Ragunan

Sreg, sreg, sreg. Terdengar suara sapuan Sri di lapangan parkir Taman Margasatwa Ragunan. Dengan sapu lidi bergagang panjang yang dipegangnya, Sri mengumpulkan bunga dan dedaunan yang gugur dari pohon-pohon yang melindungi mobil-mobil mewah yang sedang parkir.

“Saya sudah sepuluh tahun kerja di sini,” katanya, sambil terus bekerja. “Dari awal, mandor sudah poskan saya di luar. Di dalam masih ada teman-teman saya.” Dengan gerakan wajah, dia menunjuk seorang pria di kejauhan yang juga berseragam biru dongker. Sama seperti Sri, pria itu sedang menyapu lapangan parkir.

Ia lalu menghilang di antara dua mobil sedan mengkilat. Tak sampai dua menit, dia muncul lagi sambil menyapu setumpuk guguran kelopak merah.

“Tiga puluh ribu sehari,” itu honornya. Hari Sabtu dan Minggu pun mereka harus masuk. Lumrah, karena di akhir pekanlah pengunjung Ragunan bertambah banyak. “Saya kerjanya sama PT. PT itu dipake sama Ragunan,” kata perempuan yang tinggal di Cilandak itu.

Pohon-pohon rindang itu tidak mampu memberinya keteduhan. Keningnya berkeringat, setetes dua tetes jatuh ke lapangan. Matahari memang sungguh terik di siang itu.

“Disapu paling nggak tiga kali sehari,” ceritanya. Bunyi sreg, sreg, sreg masih tetap terdengar dari sapuannya. “Mulai jam tujuh. Istirahatnya jam duabelas sampai jam satu. Kalau kotor lagi, ya, disapu lagi.” Ia menoleh ke jalur yang telah disapunya. Di sana, kelopak-kelopak bunga merah kembali mewarnai jalur itu.

Di jalur itu pula, beberapa tumpukan sampah yang dikumpulkan Sri siap untuk diangkut. Seorang pria menyekop tumpukan itu, lalu memasukkannya ke tempat sampah. Nantinya sampah-sampah itu akan dibawa dengan truk.

“PT Dwi Karya,” Adriyanto, pria itu, memberitahu nama perusahaan yang mempekerjakan mereka. Ia berseragam coklat muda, berbeda dengan Sri. “Saya bukan mandor di sini,” ujarnya sambil tersenyum.

Adriyanto lanjut berjalan, masih dengan sekop di tangannya. Ia mengikuti tumpukan yang ditinggalkan Sri dan rekannya. Mereka bergerak menjauhi antrian orang-orang yang hendak membeli tiket masuk. Jelas, para pengunjung itu ingin melihat satwa koleksi Ragunan. Tiada di antara mereka yang menoleh ke arah Sri atau Adriyanto. Mungkin, pandangan mereka memang terhalang oleh barisan mobil-mobil mewah itu.

Matahari masih bersinar terik saat sebuah sedan bergerak meninggalkan lapangan parkir itu. Mobil itu melindas tempat jatuhnya keringat Sri yang tak lagi berbekas.

11.21.2011

"Selamat Ulang Tahun, Mex."

Beberapa bulan lalu, Mama bertemu dia dalam mimpinya. Dia terlihat sudah dewasa. "Tampan dia," Mama bercerita. Seandainya dia masih hidup, mungkin memang sebesar itulah dia.

Dalam mimpi itu, Mama bertemu dia di Medan. Terasa kalau kami sudah lama tak bertemu, kata Mama.

Mereka mengobrol tentang banyak hal, salah satunya tentang saya.
Dia, "Kakak apa kabar, Ma?"
Mama, "Kakakmu sekarang nganggur, belum dapat kerja dia."
Dia, "Mudah-mudahan bentar lagi dapat, ya, Ma."
Mama, "Makanya baik-baik kau, Mex. Mama masih sibuk ngurusin Kakakmu."

Saya menangis sejadi-jadinya saat Mama menceritakan mimpinya itu via telepon.

Ketika itu, saya sudah berbulan-bulan menganggur dan hampir mengalami krisis percaya diri. Saya putus kuliah S2 dan hidup hikikomori. Lalu, di awal November, saya diterima bekerja di tempat yang sesuai dengan idealisme saya sejak kuliah S1 dulu.

Saat pergantian hari tadi, saya menangis saat menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun untuk dia. Saya berusaha untuk tidak bersedih, karena saya ingin mengingatnya bukan sebagai "adik yang sudah meninggal," namun sebagai "adik yang pernah lahir."

Kepadanya, kali ini saya bisa bilang, "Dek, Kakak sekarang sudah kerja di tempat yang kakak pengen dari dulu."

Sekali lagi, seperti tahun-tahun sebelumnya, "Selamat ulang tahun, Mex."

Kakak selalu merindukanmu.

9.12.2011

When The Great Gatsby Died

Who will cry when I die?

I ask myself that question because I just finished reading F. Scott Fitzgerald’s The Great Gatsby, one that been dubbed as Great American Novel.

Through the eyes of Nick, Fitzgerald shows us what kind of person Gatsby was – celebrity might be the modern term that can describe Gatsby. He was a party thrower in his awesome castle, yet no one knew (except Nick later on) where he and his money came from. Rumor had it that he graduated from Oxford, was a war’s hero, and once killed a person.

At first, we might think that Gatsby invited Nick to one of his parties because Nick was his neighbor. Later on, as Gatsby’s history was peeled layer by layer, Fitzgerald awed us after the real reason opened before our eyes. (I am trying not to give any spoiler here.)

But, being a celebrity, a party thrower didn’t make a lot of people come to his funeral (yes, he was dead, and no, I don’t think this is a spoiler, because the greatness of the book is in Fitzgerald’s storytelling and the thing between Gatsby – Nick – Daisy – Tom). Even Daisy didn’t come either.

Even if I try, I can’t blame Gatsby, saying that it came from his bad deeds or accusing him as a bad person, because he wasn’t, at least in my eyes.

But he had Nick there.

***

I want to have a “Nick” in my funeral service, because I am sure I’ll die someday. A “Nick” that who is not a family member. Because I am still alive right now, the book makes me asking the question above. “Who will cry when I die?” Even though death might be happiness because as a Christian, I believe death will bring me to eternal live, I am still hoping selfishly that someone will cry for me when I die someday.

3.19.2011

Karena Saya Tersinggung

Saya pernah sakit hati oleh komentar yang menyinggung suku dan agama saya. Komentar itu dipublikasikan oleh mantan teman blogger di status facebooknya, seorang teman yang saya kira punya pemikiran yang luas dan bijak, namun dirusak oleh status yang dibuatnya saat ia sedang lelah. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Karena ia kemudian tidak berniat merevisi atau menghapus statusnya itu, setelah saya minta dengan baik-baik, saya kemudian menghapusnya dari friend list di facebook dan blog roll di blogspot ini.

Bila ia merasa saya sakit hati karena ia yang berbeda agama dan suku dengan saya menulis status seperti itu, dia salah. Bilapun orang yang bersuku dan agama yang sama dengan saya yang melakukannya, saya juga akan sakit hati. Saya sakit hati karena saya-lah yang menentukan apakah saya tersinggung atau tidak. Saya sebagai orang yang memiliki suku dan agama itu. Makanya, saya yakin saya akan lebih sakit hati lagi bila orang yang memiliki suku dan agama yang sama dengan saya yang membuat status seperti.

Saat saya membaca statusnya itu, saya tidak sedang merasa lelah atau mood saya buruk. Hari itu, hidup saya indah bagai pelangi. Status facebook-nyalah yang merusak hari saya. Dan sebelum saya berkomentar di statusnya itu, saya bertanya dulu kepada teman-teman yang beragama dan bersuku sama dengan saya, untuk memastikan apakah saya lumrah atau tidak bila merasa tersinggung.

Kenapa sih, saya sakit hati? Karena dia menyinggung dua identitas paling penting dalam hidup saya, identitas yang saya pertahankan setelah melewati berbagai pergumulan dan pencarian jati diri agar dua identitas tersebut bukan hanya sebagai kumpulan huruf di KTP saya.

Saya tidak menghargai perbedaan yang ada karena saya merasa sakit hati? Sebentar, saya coba buat statistik saya. Cek, cek, cek. Saya selalu berada di komunitas multi-suku dan multi-agama. Kami hidup dengan damai sejahtera dan toleran karena mereka adalah orang-orang yang juga menghargai saya dan saya pun menghargai mereka. Masih berani mengatakan saya tidak menghargai perbedaan?

Saya selalu berpendapat, karakter seseorang yang sesungguhnya terlihat jelas pada saat ia sedang sendirian atau sedang marah. Saya tidak mau terjadi kali kedua, makanya saya menghapusnya, mumpung hanya ada satu kesan buruk. Mumpung saya masih bisa mengingat pemikiran-pemikiran baik dari mantan teman itu. Mumpung saya masih bisa berpendapat kalau dia lupa ada saya di antara sekian ribu friend list di facebook-nya.


モナでした。

Back from Hiatus

おひさしぶり。

I am back after being in hiatus from this blog for almost, I guess, 8 months.

Somehow, I made this blog as my serious and logic blog, while mine in wordpress is more personal and the one in livejournal is way more .. pleasure-seeking. And lately, life is not as easy as it used to be, thus this blog was not the place I come to share.

But I miss this blog. I miss to find the logic and idealism in me. While I am at it, I have to admit that I re-open my facebook page and tweet much in twitter. Yeah, I take back the spit I have in my previous post.

This blog may as well be more personal.

モナでした。