11.21.2011

"Selamat Ulang Tahun, Mex."

Beberapa bulan lalu, Mama bertemu dia dalam mimpinya. Dia terlihat sudah dewasa. "Tampan dia," Mama bercerita. Seandainya dia masih hidup, mungkin memang sebesar itulah dia.

Dalam mimpi itu, Mama bertemu dia di Medan. Terasa kalau kami sudah lama tak bertemu, kata Mama.

Mereka mengobrol tentang banyak hal, salah satunya tentang saya.
Dia, "Kakak apa kabar, Ma?"
Mama, "Kakakmu sekarang nganggur, belum dapat kerja dia."
Dia, "Mudah-mudahan bentar lagi dapat, ya, Ma."
Mama, "Makanya baik-baik kau, Mex. Mama masih sibuk ngurusin Kakakmu."

Saya menangis sejadi-jadinya saat Mama menceritakan mimpinya itu via telepon.

Ketika itu, saya sudah berbulan-bulan menganggur dan hampir mengalami krisis percaya diri. Saya putus kuliah S2 dan hidup hikikomori. Lalu, di awal November, saya diterima bekerja di tempat yang sesuai dengan idealisme saya sejak kuliah S1 dulu.

Saat pergantian hari tadi, saya menangis saat menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun untuk dia. Saya berusaha untuk tidak bersedih, karena saya ingin mengingatnya bukan sebagai "adik yang sudah meninggal," namun sebagai "adik yang pernah lahir."

Kepadanya, kali ini saya bisa bilang, "Dek, Kakak sekarang sudah kerja di tempat yang kakak pengen dari dulu."

Sekali lagi, seperti tahun-tahun sebelumnya, "Selamat ulang tahun, Mex."

Kakak selalu merindukanmu.