9.01.2008

Menjadi Imun

Pagi ini saya berada segerbong lagi dengan perempuan tua yang saya sebutkan di postingan sebelumnya. Sebenarnya ini kali ketiga saya melihatnya. Dan, ah, ya ... beliau masih berbau kompos, walau kali ini beliau tidak membawa karungnya.

Perempuan itu juga memakai baju dengan motif yang sama. Apakah itu baju yang sama atau beliau punya beberapa baju bermotif begitu, saya tidak tahu. Yang saya tahu, dia selalu duduk di tempat duduk yang paling dekat dengan pintu dan selalu tertidur. Bersikap tidak peduli pengaruh bau itu pada orang-orang yang - karena padatnya penumpang - tidak punya pilihan lain selain berdiri di depannya.

"Emang ni Ibu gak bisa nyium apa?" Begitu yang saya pikirkan, sebagai salah seorang penumpang yang merasa terpaksa berdiri di depannya.

Lalu teringat istilah ini: imunitas. Apakah Ibu itu sudah kebal dengan aroma itu? Dari tiga kali pertemuan itu, saya mengasumsikan kalau beliau memang "hidup" dengan aroma kompos itu.

Sama seperti yang saya alami setiap pagi. Dari Stasiun Juanda, saya harus melewati tempat pembuangan sampah (TPS) skala kecil dalam perjalanan menuju kantor saya. Sejujurnya saya heran melihat orang-orang berkegiatan di TPS itu namun tidak menutup hidung sama sekali. Bahkan ada tempat makan di dekat tempat itu.

Seseorang pernah bercerita pada saya mengenai pengalamannya meliput di pengadilan. Sebagai reporter pemula, dia meliput di pengadilan kasus-kasus "kecil", seperti maling ayam atau copet.

Hakim : "Kamu kenapa maling ayam?"
Terdakwa : "Gak ada duit, Pak."
Hakim : "Ya sudah, jangan diulang lagi. Seminggu ya, di penjara."
Lalu ketok palu tiga kali.

Di tengah tawa menanggapi cerita itu, pendengar yang lain menanggapi, "Udah kebal kali ya, hakim itu."

Saya setuju. Setiap hari berhadapan dengan hal yang sama akan membuat kita kebal terhadap aspek-aspek tertentu dari hal tersebut.

Saat ini saya bekerja di perusahaan yang bergerak di industri yang sejujurnya tidak pernah saya hargai sebelumnya: multi level marketing (MLM). Tetapi saya menerima pekerjaan ini karena saya bertugas untuk menulis. "It's OK sepanjang gw tidak berurusan sama distributor atau jual-jual produknya," begitu yang terpikir di awal. Bagaimana pun, ketika itu saya berstatus pengangguran.

Kenapa saya tidak suka dengan MLM? Saya ini salah seorang konsumen, walau pun bukan pelanggan fanatik. Saya hanya tidak bersedia menerima efek "multi level" ini dalam kehidupan pribadi saya.

Seorang senior dari SMU, kita namakan Senior A, pernah mengajak saya, "Dek, nanti datang ya. Ada seminar bagus." Saya yang tidak punya pikiran negatif apa pun, ditambahi respek pada senior tersebut, mengiyakan ajakan itu. Saya pergi bersama dua orang senior yang kebetulan seangkatan dengan Senior A. Dan kami bertiga terdampar di seminar MLM. ("Kami bukan MLM, tapi network marketing." Yeah, bukankah itu setali tiga uang?)

Saya mengikuti seminar itu. "Kan udah bayar uang masuk." Alasan yang kemudian saya sesali karena ada rasa marah yang mengganjal di hati selama acara itu. Dan, ngomong-ngomong, kenapa juga saya diwajibkan bayar uang masuk?

Ada satu kalimat bernada kecewa yang terucap dari kedua senior itu. "Kok si A itu tega, ya. Dia gak lagi lihat kita tulus sebagai temannya, tapi jadi sumber uang buat dia." Kalimat yang menjadi jawaban atas kemarahan yang mengganjal di hati saya.

Itu kejadian sekitar tahun 2003. Kemudian di tahun 2005, saya aktif di beberapa proyek-proyek penelitian di kampus, walau hanya sebagai tenaga pembantu. Lalu, seorang teman sekos yang mulai dekat dengan saya berkata, "Eh, ntar lu ada waktu ga jam 4. Teman gw mau ngajakin lu ikut proyek, nih."

"Boleh, boleh. Ketemu di mana?" Terbayang ada tawaran ikut penelitian entah ke mana.

Ternyata, saudara-saudari, setelah effort yang keluarkan untuk bisa ke tempat itu, saya kecewa untuk kedua kalinya. Teman sekos saya itu memprospek saya untuk menjadi downline-nya. Kenapa harus di tempat ini? Kenapa bukan di kos saja?

Dan, kenapa dia mengkhianati pertemanan kami dengan bisnis itu? Teringat lagi ucapan senior saya, "Kok si A itu tega, ya. Dia gak lagi lihat kita tulus sebagai temannya, melainkan sumber uang buat dia."

Sekarang saya berada di bisnis MLM, walau bukan di bagian distribusinya. Belakangan saya merasa mulai imun terhadap pola kerja MLM ini. Saya tidak seskeptis dulu lagi. Saya sekarang mengerti pola pikir para distributor itu. Sejujurnya, terbersit juga rasa kagum pada mereka. Bagaimana pun, kalau tidak tekun, tidak akan sukses di bisnis ini.

Namun, saya ingin tetap bertahan pada batasan yang saya telah buat, dibantu oleh dua pengalaman tidak menyenangkan itu. Saya tidak ingin pola pikir para distributor itu memasuki pola pikir saya juga. Saya tidak ingin, setiap kali bertemu dengan keluarga, sahabat, dan teman-teman saya, prospek menjadikan mereka sebagai downline merajai otak dan hati saya.

Jadi, salahkah saya bila berpikir untuk mengundurkan diri dari tempat ini?

Sebelum saya benar-benar imun. Sebelum saya menganggap lumrah konsep membisniskan hubungan baik.

No comments: