Apa kesamaan tokoh Tuk Bayan Tula di buku Laskar Pelangi dengan samurai legendaris Musashi?
Mereka berdua telah sampai di level tertinggi di pencarian mereka. Level itu ditempati oleh filosofi mendasar yang sering dianggap sepele.
Bagi Tuk Bayan Tula, sang sesepuh kemistisan, pencapaian tertinggi itu adalah "memberikan jalan keluar yang tidak mistis sama sekali." Masih ingat dengan isi kertas yang Tuk berikan kepada Societeit de Limpai itu, 'kan?
Sementara bagi Musashi, samurai yang menguasai jalan pedang, pencapaian itu adalah "bertarung tanpa pedang."
Seperti juga pendekar tak bernama yang diperankan oleh Jet Li di film Hero arahan Zhang Yimou. Jet Li, yang telah mendapat kesempatan untuk membunuh kaisar yang dianggap bertanggung jawab terhadap masalah masyarakat, akhirnya mengurungkan niatnya. Bagi Jet Li, kematian Sang Kaisar bukannya menyelesaikan masalah, namun akan memperumit keadaan. Perubahan rencana ini pun membuat Jet Li gugur sebagai the Nameless Hero.
Pencapaian tertinggi bagi Nameless Hero itu adalah ketika dia menyadari kematian tokoh antagonis bukanlah jalan keluar terbaik. (Ini adalah alasan kenapa saya tidak suka sinetron, film, atau buku yang mengakhiri ceritanya dengan kematian tokoh antagonis.)
Teringat satu waktu ketika saya dimarahi oleh guru SD saya. Ketika itu saya terlibat perkelahian fisik dengan salah seorang siswa di sekolah saya. Guru saya itu - yang tahu kalau saya ikut latihan karate - menasihati saya dengan kalimat, "Hanya orang yang pengetahuannya tanggung yang akan pamer. Kalau dia sudah pintar, dia tidak akan pamer. Dengan sendirinya kepintarannya itu akan diketahui oleh orang lain."
Saya tidak pernah tahu bagaimana level tertinggi yang bisa saya capai bila saya meneruskan latihan karate saya itu. Saya berhenti di saat saya masing "tanggung".
2 comments:
iyah, gw jg mulai tidak suka sama ending yg tokoh antagonis mati. terlalu biasa gitu...
apa karena itu semata-mata krn bosan ya? toh buku, film, sinetron, udah didominasi ending semacam itu
Even the best can be improved. Bagi saya tidak ada akhir dari sebuah pengetahuan. Diawali filsafat, ia berkembang menjadi pengetahuan umum kemudian sains, techne dan arts. Mereka yg terpedaya oleh arts akan menganggapnya sebagai akhir dan terjerumus kedalam repetisi dangkal. Bagi yg peka, arts inilah yg justru membuka kembali awal ilmu baru: arts memulai siklus pengetahuan baru dengan kembali lagi kepada filsafat.
Sayangnya, untuk memulai siklus baru, butuh sebuah dekonstruksi. Ia harus meniadakan keseluruhan proses. Pada kasus Tuk Bayan, saya rasa ia sudah kembali ke titik awal dengan mengasingkan diri. Tapi jelas, ia belum memulai siklus baru. Musashi pun hanya berakhir pada arts semata. Kenapa? Karena umur manusia yg pendek dan pengetahuan yg begitu luas. Meskipun demikian, bukan berarti siklus baru ini tidak mungkin terjadi pada masa hidup seseorang. Yg dibutuhkan jelas, sikap terbuka dan nalar kritis. Kalau sudah begitu, tidak akan ada lagi orang yg merasa lebih dengan ilmu yg dimiliki.
Post a Comment