11.06.2008

Karena Obama Berkulit Hitam

Menjelang electoral vote lalu, muncul keraguan kalau Efek Bradley akan terjadi. Barack Obama memang memenangi banyak polling pra electoral vote di AS. Tetapi Obama adalah seorang kulit hitam dan rasisme masih menjadi identitas negara itu.

Saya adalah salah satu yang berharap agar Obama menang. "Tahunnya kulit berwarna", demikian judul salah satu email di milis yang saya ikuti. Bukan karena saya mengikuti perkembangan politik AS, tetapi karena saya pernah membaca tentang rasisme dan pergerakan skin head di negara itu.

Ironisnya, bagi saya, Obama memenangi serangkaian pemlihan itu justru karena dia adalah seorang kulit hitam. Itu bermula dari pilihan dua identitas marjinal yang disediakan Partai Demokrat: mendukung perempuan atau mendukung kulit hitam. Feminisme atau rasisme?

Pergerakan feminisme lebih ke arah kultur, sedangkan rasisme memiliki sejarah politis. Dunia lebih bisa menerima pemimpin pria berwarna kulit apapun dibandingkan seorang pemimpin perempuan berkulit putih. Bagaimanapun, seberapa liberal pun dunia ini sekarang, calon pemimpin perempuan punya lebih banyak tantangan dibandingkan calon pemimpin lelaki. Perempuan harus membuktikan skill dan kemapanan emosionalnya agar dapat diterima masyarakat yang akan dipimpinnya. Lihat saja, bahkan cara berpakaian Hillary Clinton pun menjadi sasaran kritik! Hmmm ... sepertinya Rod Lurie, dkk. harus memperpanjang serial Commander in Chief, nih.

Obama kemudian menjadi calon presiden dari Demokrat, berhadapan dengan McCain. Kesalahan terbesar McCain bukan pada kebijakan politik, latar belakang, maupun cara dia menyerang Obama, tetapi karena strategi McCain yang mengajak Sarah Palin sebagai wakilnya. Menghadapkan marjinalitas dengan marjinalitas, McCain? Lihat saja apa yang terjadi pada Ms. Clinton!

Saat ini orang-orang berusaha memperjuangkan kaum marjinal agar tidak lagi terpinggirkan. Dalam kasus AS, yang menjadi kaum marjinal (no particular order) adalah kulit hitam, perempuan, dan queer. Ketika ada momentum seperti ini, bila ditanyakan mana yang paling diijinkan jadi pemimpin, bukankah pilihan akan jatuh ke pria kulit hitam yang bukan queer? Itu retoris. Ketika kulit hitam dihadapkan pada kulit putih, lagi-lagi dengan alasan perjuangan bagi kaum marjinal, kulit hitam akan menjadi pemenang.

Apakah kemenangan Obama menjamin rasisme akan menghilang? Tidak. Seperti yang saya sebut di atas, rasisme di belahan dunia mana pun, berkaitan dengan sejarah politik yang sudah berurat berakar. Lalu, apakah ini memastikan Obama dapat menjadi menjadi pemimpin yang baik yang membawa perubahan, sesuai dengan tagline kampanyenya?

Untuk itu, Obama harus belajar dari Lewis Hamilton. Hamilton menjadi pemenang F1 tahun ini, bukan karena dia berkulit hitam, tetapi karena dia adalah hasil sinkronisasi skill, taktik, pabrikan, dan mekanik.

Ditambah ketidakbecusan kompetitornya.



Kredit foto:
Obama: www.kompas.com
Hamilton: www.detiksport.com

2 comments:

Serendipity said...

Sepertinya Balugu harus membuat blog juga deh, heheheh

Tau kau kan maksudku apa???

nocturnal-Mona said...

Ngerti-lah aku itu, Rud. :D