I am barely watching TV lately. I blame my downloaded doramas that make me stick to my monitor.
But, it's Christmas moment. And I am betting on all my Japanese novels that most of the channels have already prepared what so-called their Christmas Special Program.
Another religion commodification.
What is this commodification thing? Can you find it in the dictionary? I can't. But, I will stick to that word because I can't find the literate word for what I am going to discuss here.
Prolog: Comodification
I heard it first from my senior's thesis. Coming from the word “commodity”, then modifying it with -fy. Literary, I define it as converting something-was-not-categorized-as-a-commodity-previously becomes a commodity. And everyone knows what commodity means: Things that give you a lot, lot of money.
Yup! I am talking about the capitalism bastards again!
Main topic: Christmas
What's Christmas, again? Can somebody tell me?
Oh, I remember! Isn't it a moment where Christians SHOULD celebrate Jesus' birth and the value beyond the birth? Or, has the meaning changed already? Even though I am being indifferent lately, I don't think it has changed. Because it is written in the BIBLE, for God's sake!
Then, why did those advertisements dance there? After every segment in what so-called Christmas Special Programs, I saw bunches of advertisements. Ah, yes ... it's a SPECIAL PROGRAM. And special programs means a lot of special sponsors, like the things I see in the Miss Universe broadcasting and so.
That's why they have annual special programs. And I just got another reason to dislike media's capitalism.
Beyond main topic: Religion Commodification
I remember making a paper for my Protestant Class back in college. I expressed my disagreement to those religion-based parties.
I don't have any grudge against any present political parties in Indonesia. And I don't affiliate with any.
I say: let politic stand alone. Having a religion as a base is considered a fraud. It's a religion commodification: they silently promoting that religion as their leading point compared to other more secular parties.
Leave the religion alone. Don't politize it. I have trauma from my childhood when these two sides fight each other to get the highest position in my church organization. I have enough with that!
Don't mix water and oil. You will have them ruined. You won't get any good of it. The only one way to get rid of them is fire. Set the fire, and the bad mixture will be gone.
I can smell anger in this writing. I can see moral judgment. And I won’t deny both this time.
12.24.2008
12.18.2008
Penjahat Bahasa
Dua hari lalu saya menaiki busway bis TransJakarta dan terjebak di space kosong di belakang supir. Karena tidak memungkinkan untuk tidur maupun membaca, maka saya pun menghabiskan waktu dengan memperhatikan kerja bapak supir itu.
Ada empat tombol di bagian kanan bapak supir. Ternyata itu adalah tombol-tombol untuk mengendalikan pintubusway bis itu. Posisinya: dua di atas dan dua di bawah. Atau, bisa disebut: dua di kanan dan dua di kiri. You can choose, by the way.
Anyway, dua tombol di bagian atas dipisahkan dengan tulisan PINTU, sedangkan dua tombol di bawah diberi keterangan L dan R. Yap, untuk membedakan kiri dan kanan, mereka menggunakan bahasa Inggris: Left and Right.
It reminded me of something I've read before. Tahu Benny & Mice, kan? Nah, salah satu komik mereka yang paling memorable buat saya adalah yang berjudul "Telor English Setengah Matang". Memang demikian penulisannya: Kata "Telor" dicoret dan ditimpali dengan kata "English".
Dalam komik itu, Benny & Mice menyindir masyarakat Indonesia (including me) yang suka mencampuradukkan kata-kata bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dalam satu kalimat. "So, udah gimana?", "Well, gw juga ga tau pasti.", "Eh, you know what, gw kemaren ketemu sama si itu loh!", "Ayo, tackle aja pemain itu. Yah ... dapat red card, deh!", "Benefit yg gw dapat lumayan sih. It's better-lah dari yang sebelumnya." atau "Happy Birthday, ya .... Wish you all the best!" Dan masih banyak lagi.
Bahkan, saat menulis Benny & Mice pun, otak saya membacanya: benni-en-mais. Sahabat saya yang penggemar Benny & Mice pernah memarahi saya, "Njis, baca itu benni-en-mice!" Dia bahkan membaca "&" sebagai "en". Saya baru sadar itu, hueheheee ....
Ironis, karena ternyata kita (baca: bangsa Indonesia) jadi pihak yang paling merusak bahasa kita sendiri. Bagaimana mungkin kita bisa mengharapkan bahasa Indonesia jadi bahasa internasional kalau kita sendiri tidak menganggap penting untuk menggunakannya secara berkualitas?
Ini bukan hal yang saya dengar atau tonton sekali dua kali. Kesalahan repetitif sehingga tidak lagi dianggap salah. Coba, kalimat apa yang biasanya digunakan untuk bertanya kepada seorang pengguna bahasa asing, apakah dia mampu berbahasa Indonesia atau tidak?
Ini: "Can you speak Bahasa?"
Itu sama saja dengan menanyakan: "Can you speak LANGUAGE?"
Apakah terlalu melelahkan untuk bertanya: "Can you speak Bahasa Indonesia?"
Masih ada contoh kesalahan repetitif lainnya.
"Aku ga akrab dengan dia, secara aku jarang ngobrol ma dia." "Secara ya ... gw kan masih baru di sini."
Akhirnya kita menyalahartikan kata "secara" itu. "Secara" sekarang menggantikan fungsi kata "berhubung".
Sampai saat ini, saya boleh bersombong hati karena bisa bertahan dari terpaan "secara". Lalu, kenapa pula saya memakai subjek "kita" di paragraf sebelumnya? Ah, that's what they call majas pras pro toto.
Back to the topic. Saya bertahan dari "secara", namun gagal terhadap terpaan "lucu".
"Lucu" seyogianya dilabelkan pada sesuatu yang bisa membuat kita tertawa. Tetapi, in the end, saya juga jadi ikut-ikutan melabelkan kata "lucu" pada semua yang membuat saya tertarik. "Dompet ini lucu, ya.", "Ah ... cowo itu mukanya lucu, ya?"
Aarrgghh!! JS. Badudu, silahkan laporkan saya! Saya adalah salah seorang dari banyak penjahat bahasa di Indonesia ini!
Bahkan saya pun menulis dengantelor English setengah matang!
Ada empat tombol di bagian kanan bapak supir. Ternyata itu adalah tombol-tombol untuk mengendalikan pintu
Anyway, dua tombol di bagian atas dipisahkan dengan tulisan PINTU, sedangkan dua tombol di bawah diberi keterangan L dan R. Yap, untuk membedakan kiri dan kanan, mereka menggunakan bahasa Inggris: Left and Right.
It reminded me of something I've read before. Tahu Benny & Mice, kan? Nah, salah satu komik mereka yang paling memorable buat saya adalah yang berjudul "
Dalam komik itu, Benny & Mice menyindir masyarakat Indonesia (including me) yang suka mencampuradukkan kata-kata bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dalam satu kalimat. "So, udah gimana?", "Well, gw juga ga tau pasti.", "Eh, you know what, gw kemaren ketemu sama si itu loh!", "Ayo, tackle aja pemain itu. Yah ... dapat red card, deh!", "Benefit yg gw dapat lumayan sih. It's better-lah dari yang sebelumnya." atau "Happy Birthday, ya .... Wish you all the best!" Dan masih banyak lagi.
Bahkan, saat menulis Benny & Mice pun, otak saya membacanya: benni-en-mais. Sahabat saya yang penggemar Benny & Mice pernah memarahi saya, "Njis, baca itu benni-en-mice!" Dia bahkan membaca "&" sebagai "en". Saya baru sadar itu, hueheheee ....
Ironis, karena ternyata kita (baca: bangsa Indonesia) jadi pihak yang paling merusak bahasa kita sendiri. Bagaimana mungkin kita bisa mengharapkan bahasa Indonesia jadi bahasa internasional kalau kita sendiri tidak menganggap penting untuk menggunakannya secara berkualitas?
Ini bukan hal yang saya dengar atau tonton sekali dua kali. Kesalahan repetitif sehingga tidak lagi dianggap salah. Coba, kalimat apa yang biasanya digunakan untuk bertanya kepada seorang pengguna bahasa asing, apakah dia mampu berbahasa Indonesia atau tidak?
Ini: "Can you speak Bahasa?"
Itu sama saja dengan menanyakan: "Can you speak LANGUAGE?"
Apakah terlalu melelahkan untuk bertanya: "Can you speak Bahasa Indonesia?"
Masih ada contoh kesalahan repetitif lainnya.
"Aku ga akrab dengan dia, secara aku jarang ngobrol ma dia." "Secara ya ... gw kan masih baru di sini."
Akhirnya kita menyalahartikan kata "secara" itu. "Secara" sekarang menggantikan fungsi kata "berhubung".
Sampai saat ini, saya boleh bersombong hati karena bisa bertahan dari terpaan "secara". Lalu, kenapa pula saya memakai subjek "kita" di paragraf sebelumnya? Ah, that's what they call majas pras pro toto.
Back to the topic. Saya bertahan dari "secara", namun gagal terhadap terpaan "lucu".
"Lucu" seyogianya dilabelkan pada sesuatu yang bisa membuat kita tertawa. Tetapi, in the end, saya juga jadi ikut-ikutan melabelkan kata "lucu" pada semua yang membuat saya tertarik. "Dompet ini lucu, ya.", "Ah ... cowo itu mukanya lucu, ya?"
Aarrgghh!! JS. Badudu, silahkan laporkan saya! Saya adalah salah seorang dari banyak penjahat bahasa di Indonesia ini!
Bahkan saya pun menulis dengan
12.09.2008
Konvergensi Media
Hari ini Kompas online menulis tentang konvergensi media. Itu adalah sebuah keharusan, katanya, karena masyarakat modern tidak hanya membaca satu media saja. Maka, Kompas menuliskan kalau konsep media di masa depan adalah bentuk konvergensi itu.
Sebuah pembenaran untuk monopoli media? Hmm ... usah melihat ke masa depan, karena sudah demikian adanya, semenjak kata "industri" dilabelkan pada media di Indonesia ini. Tak heran bila opini mayoritas mudah terbentuk karena karakter masyarakat yang belum sepenuhnya melek media ini menerima satu jenis informasi yang menerpa dari berbagai sudut. Bentuk lain dari kebenaran publik terbentuk dari suara terbanyak?
Perlu UU ini dan UU itu untuk regulasi konvergensi? Ah, munafik! Perusahaan media adalah pihak yang paling mudah sekali membawa bendera kebebasan berekspresi (terutama kebebasan pers) bila suatu saat tersandung regulasi, padahal sudah jelas-jelas terbukti salah. Alasan mengapa kita masih mendapati narasumber rahasia, rekaman tersembunyi, dan cara-cara tidak etis lainnya? Mereka lupa kalau ada persyaratan yang harus diikuti bila menggunakan narasumber rahasia atau rekaman tersembunyi. Atau, sengaja dilupakan untuk memberi kesan "informasi berbahaya dari seorang yang kompeten" sehingga bisa meraih simpati pembaca? Salah satu bukti kehebatan politik media.
Inilah yang terjadi saat kapitalisme menyamar sebagai idealisme.
Sebuah pembenaran untuk monopoli media? Hmm ... usah melihat ke masa depan, karena sudah demikian adanya, semenjak kata "industri" dilabelkan pada media di Indonesia ini. Tak heran bila opini mayoritas mudah terbentuk karena karakter masyarakat yang belum sepenuhnya melek media ini menerima satu jenis informasi yang menerpa dari berbagai sudut. Bentuk lain dari kebenaran publik terbentuk dari suara terbanyak?
Perlu UU ini dan UU itu untuk regulasi konvergensi? Ah, munafik! Perusahaan media adalah pihak yang paling mudah sekali membawa bendera kebebasan berekspresi (terutama kebebasan pers) bila suatu saat tersandung regulasi, padahal sudah jelas-jelas terbukti salah. Alasan mengapa kita masih mendapati narasumber rahasia, rekaman tersembunyi, dan cara-cara tidak etis lainnya? Mereka lupa kalau ada persyaratan yang harus diikuti bila menggunakan narasumber rahasia atau rekaman tersembunyi. Atau, sengaja dilupakan untuk memberi kesan "informasi berbahaya dari seorang yang kompeten" sehingga bisa meraih simpati pembaca? Salah satu bukti kehebatan politik media.
Inilah yang terjadi saat kapitalisme menyamar sebagai idealisme.
Subscribe to:
Posts (Atom)