12.18.2008

Penjahat Bahasa

Dua hari lalu saya menaiki busway bis TransJakarta dan terjebak di space kosong di belakang supir. Karena tidak memungkinkan untuk tidur maupun membaca, maka saya pun menghabiskan waktu dengan memperhatikan kerja bapak supir itu.

Ada empat tombol di bagian kanan bapak supir. Ternyata itu adalah tombol-tombol untuk mengendalikan pintu busway bis itu. Posisinya: dua di atas dan dua di bawah. Atau, bisa disebut: dua di kanan dan dua di kiri. You can choose, by the way.

Anyway, dua tombol di bagian atas dipisahkan dengan tulisan PINTU, sedangkan dua tombol di bawah diberi keterangan L dan R. Yap, untuk membedakan kiri dan kanan, mereka menggunakan bahasa Inggris: Left and Right.

It reminded me of something I've read before. Tahu Benny & Mice, kan? Nah, salah satu komik mereka yang paling memorable buat saya adalah yang berjudul "Telor English Setengah Matang". Memang demikian penulisannya: Kata "Telor" dicoret dan ditimpali dengan kata "English".

Dalam komik itu, Benny & Mice menyindir masyarakat Indonesia (including me) yang suka mencampuradukkan kata-kata bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dalam satu kalimat. "So, udah gimana?", "Well, gw juga ga tau pasti.", "Eh, you know what, gw kemaren ketemu sama si itu loh!", "Ayo, tackle aja pemain itu. Yah ... dapat red card, deh!", "Benefit yg gw dapat lumayan sih. It's better-lah dari yang sebelumnya." atau "Happy Birthday, ya .... Wish you all the best!" Dan masih banyak lagi.

Bahkan, saat menulis Benny & Mice pun, otak saya membacanya: benni-en-mais. Sahabat saya yang penggemar Benny & Mice pernah memarahi saya, "Njis, baca itu benni-en-mice!" Dia bahkan membaca "&" sebagai "en". Saya baru sadar itu, hueheheee ....

Ironis, karena ternyata kita (baca: bangsa Indonesia) jadi pihak yang paling merusak bahasa kita sendiri. Bagaimana mungkin kita bisa mengharapkan bahasa Indonesia jadi bahasa internasional kalau kita sendiri tidak menganggap penting untuk menggunakannya secara berkualitas?

Ini bukan hal yang saya dengar atau tonton sekali dua kali. Kesalahan repetitif sehingga tidak lagi dianggap salah. Coba, kalimat apa yang biasanya digunakan untuk bertanya kepada seorang pengguna bahasa asing, apakah dia mampu berbahasa Indonesia atau tidak?

Ini: "Can you speak Bahasa?"

Itu sama saja dengan menanyakan: "Can you speak LANGUAGE?"

Apakah terlalu melelahkan untuk bertanya: "Can you speak Bahasa Indonesia?"

Masih ada contoh kesalahan repetitif lainnya.

"Aku ga akrab dengan dia, secara aku jarang ngobrol ma dia." "Secara ya ... gw kan masih baru di sini."

Akhirnya kita menyalahartikan kata "secara" itu. "Secara" sekarang menggantikan fungsi kata "berhubung".

Sampai saat ini, saya boleh bersombong hati karena bisa bertahan dari terpaan "secara". Lalu, kenapa pula saya memakai subjek "kita" di paragraf sebelumnya? Ah, that's what they call majas pras pro toto.

Back to the topic. Saya bertahan dari "secara", namun gagal terhadap terpaan "lucu".

"Lucu" seyogianya dilabelkan pada sesuatu yang bisa membuat kita tertawa. Tetapi, in the end, saya juga jadi ikut-ikutan melabelkan kata "lucu" pada semua yang membuat saya tertarik. "Dompet ini lucu, ya.", "Ah ... cowo itu mukanya lucu, ya?"

Aarrgghh!! JS. Badudu, silahkan laporkan saya! Saya adalah salah seorang dari banyak penjahat bahasa di Indonesia ini!

Bahkan saya pun menulis dengan telor English setengah matang!

11 comments:

Himawan Pridityo said...

Menarik juga ya, berbicara tentang kelatahan masyarakat kita. Hanya saja, kalau kita bandingkan dengan negara jiran, kelatahan mereka lebih menjadijadi. Apa mungkin ini sebuah kecenderungan genetik? Toh, Indonesia dan Malaysia kan samasama melayu. Bisa begitu?

nocturnal-Mona said...

Hmm .. gak bisa komentar juga, sih, kalau dibandingkan dengan jiran kita, karna saya sama sekali gak tau masalah kebakuan bahasa mereka.

Yang terpikirkan malah ini adalah kecenderungan krisis identitas dan sense of belonging di negara2 berkembang. Hmm .. could be. :D

alwaysalia said...

Njis, bacanya "benimice" atuh hihih

iya, "lucu" susah tuh. tapi kalo dipikir-pikir, apalagi yang cocok untuk jadi terjemahan "cute"? daripada bilang "kiut" yang diambil dari English, mending terima aja perluasan arti "lucu" (pembenaran:p)

Himawan Pridityo said...

Cute. Kiut? Why not "manis"? Bukankah itu jauh lebih mengena daripada lucu?!

Kayaknya bagus juga mempelajari sejarah "cute". Ini saya ambil dari dictionary.com, kirakira bisa dibahas lagi deh:

Word History: Cute is a good example of how a shortened form of a word can take on a life of its own, developing a sense that dissociates it from the longer word from which it was derived. Cute was originally a shortened form of acute in the sense "keenly perceptive or discerning, shrewd." In this sense cute is first recorded in a dictionary published in 1731. Probably cute came to be used as a term of approbation for things demonstrating acuteness, and so it went on to develop its own sense of "pretty, fetching," first recorded with reference to "gals" in 1838.

Andrey PhX said...

daripada mikirin penjahat bahasa.. mikirin tuh bln 2 R. Madrid - Liverpool... wakakakaka

Anonymous said...

@ Andrey ...

Klo ttg Madrid vs Liverpool, gw tahu lu pasti ada di pihak gw, Ndrey. SECARA lu kan ga suka Madrid, huehehehe ....

nocturnal-Mona said...

@ Alia

Iya gitu, bacanya bennimice? Simbol "&"-nya ga dibaca?

@ Himawan
Gak heran kalau nanti, di masa depan, "perluasan" makna yang kita kenal sekarang akan dianggap sebagai makna lumrah. :D

sonny said...

Ada 2 pola yg kita bs gunakan u mbahas mas-a-lah (kata serapan dr B Arab) atau problematika (kata serapan dari B Inggris) ini.

Pertama, secara ilmiah (bentuk kata sifat, serapan langsung dari bahasa Arab) atau menggunakan perspektif keilmuan. Kedua, ringan atau cendrung pragmatis.

PERTAMA
Kita bisa membawa masalah ini ke peta masalah yg lebih besar: Indonesia sbg sebuah entitas multi-etnis/multi-bahasa yang tidak sepenuhnya solid. Identitas kolektif kita retak-retak karena masing-masing etnis/komunitas/kelas sosial (grass root-middle-high; santri-abangan-priyayi) cendrung mengasosiasikan dirinya ke Timur (dan Timur Tengah) atau ke Barat; sindrom inferiority complex negara yg pernah terjajah; hegemoni budaya berikut bahasa dari bangsa-bangsa yang lebih "besar"; diskursus bahasa - ilmu pengetahuan - kekuasaan; politik bahasa; hipotesa Sapir-Whorf : manusia yg menciptakan bahasa atau bahasa yg menciptakan manusia? ; rekayasa sosial (social engineering) hingga strategi budaya;

Tapi mungkin lebih menarik kita berangkat dari bagaimana berbagai negara menggunakan bahasa sebagai pembentuk identitas nasionalnya.

AMERIKA
Sebelum PD2, Amerika boleh dibilang mengisolasi diri dari dunia. Strategi ini menciptakan budaya khas (kulit putih) Amerika dan bahasa American English. Dan lagi memang sebagai bekas jajahan Inggris, dalam beberapa beberapa konteks mereka menciptakan budaya tanding (counter culture) yang membedakan mereka dengan budaya Inggris yang aristokrat, anglikan. Dan lagi, Amerika memang Negeri Impian bagi banyak intelektual bebas, pelarian politik dan ilmuwan jenius. A melting pot. American Dreams

Setelah PD2 dalam tingkat tertentu mereka mempertahankan budaya mereka dari rezim komunis Sovyet. Di Amerika, rata-rata olahraga populer adalah yang menggunakan tangan (American football, softball (baseball?), basketball dan kemudian tenis). Amerika menggunakan istilah soccer untuk football, olahraga terpopuler sejagat. Soccer memang jadi eskul di sekolah dasar, tapi tidak disediakan lagi di level pendidikan lanjutan. Dalam benak anak-anak Amerika ditanamkan stereotip bahwa soccer adalah olahraga kaum komunis.

JEPANG
Jepang di era Restorasi Meiji adalah Jepang yang bergolak. Di satu sisi mereka menjunjung tinggi keluhuran budaya mereka, terutama kaum Samurai yang semakin terpinggirkan. Di sisi lain, adopsi sistem militer Barat membuat mereka menjadi terbuka dengan teknologi. Konon, mereka sampai mencuri teknologi Amerika. Saya sendiri pernah mendengar bahwa orang Jepang yang pulang dari Amerika diperiksa ketat agar tidak "membawa teknologi" Amerika. Bahkan mereka menelan kertas-kertas catatan di dalam perut mereka. Mirip penyeludup narkoba.

Ketika cukup kuat, ekspansi teknologi dan bisnis Jepang membuat panik Amerika. Neraca perdagangan Jepang - Amerika selalu surplus. (Mirip situasi Cina - Amerika saat ini). Produk Jepang mudah diterima di Amerika, tapi tidak sebaliknya karena berbagai alasan, salah satunya kuatnya hubungan industrial antar perusahaan di Jepang serta hubungan perusahaan - individu masyarakat Jepang. (Pension plan Jepang adalah yang terbaik. Tak heran banyak warga Jepang yang panjang umur)

Di sisi lain, budaya yang teknokratis memang menyerang Jepang. Jepang adalah contoh paling nyata krisis manusia modern. Tapi di sisi lain, mereka menciptakan budaya sendiri yang di beberapa sisi berbeda dengan "patron-nya" Amerika: budaya manga dan Harajuku.

Konon warga asing di Jepang sulit menemukan orang Jepang yang bisa berbahasa Inggris. Buku-buku asing lebih banyak ditemukan dalam bahasa Jepang. Marka lalu lintas jarang yang menggunakan bahasa Inggris. Kosakata asing diserap Jepang tapi dengan menggunakan huruf Katakana, bukan Hiragana atau Kanji.


GONTOR
Gontor di beberapa segi berusaha mengisolasi santrinya dari pengaruh luar Gontor. Jangan heran, istilah LUAR di Gontor digunakan mirip penggunaan istilah ABROAD. Begini ceritanya:
Setelah pulang dari liburan, semua barang bawaan santri harus melalui sebuah ruangan yang disebut COSTUM. Terjemahan tepatnya BUDAYA atau PENYESUAI BUDAYA. Setelah santri menyelesaikan urusan tetek bengek administrasi, barang-barang tersebut baru boleh diambil. Walkman, radio, catur, buku-buku "gak jelas" takkan lolos. Tidak ada sangsi meski ketahuan membawa barang-barang demikian kecuali membawa yang porno-porno. Yang ini bisa ruwet bgt.
SURAT-SURAT santri dibuka amplopnya dengan hati-hati, dibaca sekilas oleh bagian KEAMANAN dan kemudian di-lem rapi. Surat-surat cinta gak bakalan lolos. Lagian, gimana mo mikir urusan cinta, kegiatan di akhir pekan aja seabreg-abreg. Santri junior (kelas 1-4) keluar kampus untuk tamasya ke kota kecil Ponorogo paling 2 bulan sekali SEMPATnya. Di kota Ponorogo ini, bagian KEAMANAN berkeliling mengawasi tindak tanduk santri. Ah, gimana mo punya pacar nih :) Jangan heran kl soal cinta, Himawan tu ingusan bgt :p

Mo ke kota Madiun atau kota yang lebih jauh yang tidak ada si KEAMANAN itu? Izinnya lebih ruwet. Setiap beberapa bulan juga diadakan PEMERIKSAAN LEMARI mendadak.

CARA BERPAKAIAN santri juga diatur ketat. Celana jeans gak boleh karena mungkin dianggap western atau lebih tepatnya gak formal (tidak sesuai dengan miliu Balai Pendidikan..). Baju bercorak kotak-kotak dilarang karena dianggap biasanya mahal. Jadi biasanya gw berangkat ke kelas (sekolah) dengan baju-baju kasual, celana katun, dan lebih sering baju putih atau baju lengan panjang.

Karena kecendrungan isolatif, budaya seni pertunjukan di Gontor sulit menerima pengaruh luar. Jangan heran di millenium baru ini, kegiatan seni masih mengandung unsur budaya 70 atau 80an. Norak ah :)

Kecendrungan isolatif juga yang menciptakan bahasa Arab Gontory. Bahasa Arab yang hanya bisa dimengerti sesama Gontorians. Contohnya istilah SUYUK atau SUYU'. Terjemahan harfiahnya KOMUNIS. Di Gontor digunakan pertama kali untuk mengejek orang yang tidur di tengah orang-orang yang sedang belajar. Dan belajar diam-diam ketika orang lain tidur. Tapi belakangan, penggunaannya lebih umum sebagai terjemahan dari SIALAN LU !

INDONESIA
Masalah terbesar Indonesia adalah kesalahan berbahasa ditemukan di semua level, bahkan di level kenegaraaan. MetroTV pernah menayangkan acara yang memperlihatkan buruknya bahasa Indonesia para menteri dan lembaga-lembaga negara. Istilah-istilah Inggris akhirnya jadi jamak dipakai. Sunset policy? Selama ini institusi negara cenderung tidak pernah "meminta fatwa" para pakar bahasa Indonesia soal penyerapan istilah-istilah asing.

BAHASA MENCIPTAKAN MANUSIA ?
Apa beda "i broke my leg" dan "kaki saya patah." Menurut Kang Jalal, "i broke my leg" menunjukkan pribadi yang bertanggung jawab (ingat Trust Society?), sementara "kaki saya patah" cendrung netral atau mungkin apologetik ?

KEDUA, DI TINGKAT INDIVIDU, saya SETUJU dengan seorang SENIOR (Ubed, ITQAN, 692) ketika pulang dari Mesir dan berbicara di depan bocah-bocah ingusan di ITQAN: kalian boleh menggunakan ARAB GONTORY setiap hari. Tapi di forum-forum resmi atau situasi tertentu, kalian harus bisa menunjukkan kemampuan bahasa ARAB FUSHAH (Arab fasih, resmi). Btw, bahasa Arab sendiri terbagi atas Arab A'miyah (Arab pasaran, sehari-hari) dan Arab Fushah (Arab fasih).
Saya pikir setiap bahasa mempunyai 2 aspek ini: yang pasaran dan yang fasih. Dalam bahasa Inggris, kita mengenal bahasa slang. Di Indonesia, kita mengenal bahasa "gw - loe." Kita membutuhkannya untuk berkomunikasi secara akrab dan luwes. Bukankah bahasa adalah ALAT bukan TUJUAN.

Terkadang PRAGMATISME dibutuhkan untuk berdamai dengan realitas. Selama tidak menyinggung hal-hal substantif :)

alwaysalia said...

@ himawan
jadi manis bisa berarti 2 kata dlm english; cute dan sweet?

@mona
perasaan gw pernah liat tulisannya di bukunya atau di mana gitu, benni-mice. jadi daripada pusing2 mikirin dan atau and, mending sambung ajah :)

sonny said...

alia should add:

@sonny: blablablabla

:((

nocturnal-Mona said...

@ Sonny
Lama baru dikomen ... Sorry ...
Tapi gw belajar banyak dari komen lu. Ketahuan banget kalo Sonny lebih banyak baca buku daripada gw, huehehehe ....

Wah, Sonny minta dikomentarin Alia? :D
Gw yakin, Sonny tau kenapa Alia ga komentarin komen-nya Sonny. And I bet Alia's reason is the good one. :)