Kakek yang akan saya ceritakan berikut ini adalah seorang yang saya kenal di kampung halaman saya. Selayaknya kota kecil, setiap orang umumnya tahu kisah orang lain, terutama mereka yang sudah tinggal lama di situ. Sayangnya saya tidak bisa lagi mengonfirmasi cerita ini karena Kakek itu sudah meninggal.
Begini kisah yang saya dengar.
Dulu, di masa mudanya, beliau bekerja sebagai petani di daerah yang jauh lebih terpencil dibandingkan kampung halaman saya itu. Saat berada di sawahnya, seseorang yang dikenalnya datang dan memberi cangkul kepadanya. Cangkul itu akan menjadi haknya bila dia memberi cap jempol di kertas yang dibawa si pemberi cangkul tersebut.
Syarat yang sederhana. Maka beliau pun setuju, tanpa tahu daftar apa yang ditandatanganinya itu. Maklum, beliau buta huruf.
Kenyataan baru terungkap saat pemerintah mulai memberantas Partai Komunis Indonesia (PKI), segera setelah kasus G30S/PKI. Ternyata daftar yang dicap jempol oleh kakek itu adalah tanda keikutsertaan sebagai anggota PKI.
Sebuah cangkul dan seseorang yang buta huruf. Ironis.
Berpuluh tahun kemudian, putri bungsunya hendak dilamar oleh seorang anggota militer. Tetapi bangsa ini tahu apa yang terjadi pada keturunan seseorang yang pernah memiliki keterlibatan dengan PKI. Akhirnya Kakek itu melepas statusnya sebagai seorang ayah. Putrinya itu didaftarkan sebagai anak adiknya. Statusnya berganti dari ayah kandung menjadi paman.
Karena sebuah cangkul.
Ada pula kisah lain. Tentang seorang pengajar di tempat saya berkuliah dulu. Ini pun tidak bisa saya konfirmasi langsung karena hubungan saya dengan beliau tidaklah sedekat itu.
Bapak itu telah lama menjadi asisten pengajar, tetapi tidak pernah bisa diproses menjadi dosen. Alasannya, kakek beliau pernah memiliki keterlibatan dengan PKI.
Bagusnya, kali ini beliau sudah mendapat pengakuan sebagai dosen. Efek positif dari orde reformasi?
Di tahun 2005, saat saya magang sebagai reporter di salah satu televisi swasta, saya berkesempatan untuk menemani reporter senior meliput sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Itu adalah sidang class action menuntut pertanggungjawaban para presiden RI - mulai dari Soekarno sampai Soesilo Bambang Yudhoyono - atas kerugian material dan immaterial yang dialami para penuntut. Para penuntut adalah anak, cucu, dan cicit orang-orang yang tercatat pernah memiliki keterlibatan dengan PKI. Selain tuntutan ganti rugi material, mereka menuntut supaya mereka tidak mendapat getah untuk suatu hal yang tidak mereka lakukan. Sederhananya, bukan mereka yang terlibat dengan PKI, tetapi mengapa mereka harus menanggung akibat keterlibatan ayah, kakek, atau buyut mereka di organisasi tersebut?
Tuntutan mereka yang lain adalah agar pemerintah menghapuskan pasal yang menyebut PKI sebagai partai terlarang.
Saya pribadi tidak setuju kalau pasal itu dihapus. Apakah film G30S/PKI yang dulu diputar di TVRI setiap tanggal 30 September itu berhasil mendoktrinisasi otak saya? Mungkin. Saya selalu mengangap sejarah politik sebagai kreativitas mereka yang memegang kuasa. "Realitas itu semu, Kawan!" ujar pengikut mazhab kritis.
Ketidaksetujuan saya juga bukan karena ideologi komunisme yang mereka anut, tetapi karena proses rekruitmen mereka yang sungguh tidak bersih. Memberi cangkul pada seorang petani buta huruf lalu memintanya mencap jempol tanda keanggotaan? PKI menjadi terlarang karena mereka sudah menjalankan cara yang terlarang, itu menurut saya. Ah, saya menunggu banyak partai lain untuk mendapat cap ini juga, karena "serangan fajar" masih dipakai di pelosok-pelosok sana.
Tetapi ketidaksetujuan itu tidak jadi alasan untuk memberi "getah cempedak" kepada para keturunannya. Karena, bisa jadi, semuanya hanya bermula dari proses barter sebuah cangkul gratis dengan sebuah cap jempol.
__________________
*edited at Dec 5th, 2009 for making a better plot.
3 comments:
Stigma! Betapa susahnya menghapus kata itu dari ingatan sejarah. Meski bangsa kita pelupa, tapi mereka tidak pernah melupakan kata itu. Karena disadari atau tidak, stigma selalu berkaitan diri mereka juga. Ketakutan kita kepada PKI, tak lain dari ketakutan kita terhadap stigma. Jenis hukuman sosial yang bisa menimpa siapa saja. Jangan-jangan bangsa ini terpenjar oleh stigma.
Itu dia kata yang tepat! Stigma!
Bangsa ini kurang edukasi sos-pol, kalau menurut saya. :)
Novel2 dan cerpen2 Ahmad Tohari bnyk dilatarbelakangi sisi gelap sejarah Indonesia ini. Selain Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, ia menulis novel Kubah. Tentang seorang tahanan "ex-PKI" yg pulang ke desanya dan menghadapi sulitnya diterima di masyarakat.
Mitologisasi adl slh st cara OrdeBaru mengukuhkan kekuasaannya. Salah satunya lewat tayangan film G30S/PKI.
Bahkan sejarah yg hanya berjarak 3 - 4 dekade dr kita saja begitu samar-samar. Apalagi yg berabad-abad lalu. Tugas sejarawan mmg berat. Salah satunya, memperbaiki historiografi sebagai basis rekonsiliasi
Post a Comment