Hari ini Kompas online menulis tentang konvergensi media. Itu adalah sebuah keharusan, katanya, karena masyarakat modern tidak hanya membaca satu media saja. Maka, Kompas menuliskan kalau konsep media di masa depan adalah bentuk konvergensi itu.
Sebuah pembenaran untuk monopoli media? Hmm ... usah melihat ke masa depan, karena sudah demikian adanya, semenjak kata "industri" dilabelkan pada media di Indonesia ini. Tak heran bila opini mayoritas mudah terbentuk karena karakter masyarakat yang belum sepenuhnya melek media ini menerima satu jenis informasi yang menerpa dari berbagai sudut. Bentuk lain dari kebenaran publik terbentuk dari suara terbanyak?
Perlu UU ini dan UU itu untuk regulasi konvergensi? Ah, munafik! Perusahaan media adalah pihak yang paling mudah sekali membawa bendera kebebasan berekspresi (terutama kebebasan pers) bila suatu saat tersandung regulasi, padahal sudah jelas-jelas terbukti salah. Alasan mengapa kita masih mendapati narasumber rahasia, rekaman tersembunyi, dan cara-cara tidak etis lainnya? Mereka lupa kalau ada persyaratan yang harus diikuti bila menggunakan narasumber rahasia atau rekaman tersembunyi. Atau, sengaja dilupakan untuk memberi kesan "informasi berbahaya dari seorang yang kompeten" sehingga bisa meraih simpati pembaca? Salah satu bukti kehebatan politik media.
Inilah yang terjadi saat kapitalisme menyamar sebagai idealisme.
9 comments:
Semestinya, media kita harus ingat pepatah, "Pers memang bebas tapi pengacara mahal", ujung-ujungnya kayak serial James Bond "Tomorrow Never Dies", cuma bad guy-nya siapa ya..
Dari sisi teknologi, konvergensi media memang tak bisa dielakkan. Para teknolog selalu berusaha menemukan cara u mempermudah kita berurusan dg banjir informasi. Dulu kita hanya mengenal PDA & HP sebagai 2 gadget yg harus ditenteng secara terpisah.
Saat ini keduanya konvergen bahkan dilengkapi dg banyak pilihan akses internet: wi-fi, HSDPA/ 3,5 G, WiMAX.
Dari sisi budaya, tesis Third Wave-nya Toffler sudah terlewati. Kita bahkan berada di Knowledge-based Society, tidak lagi di Information Society. Entah di gelombang keempat atau kelima-kah kita saat ini. Mengambil terminologi serupa, era Web 2.0 tidak lama lagi menuju Web 3.0
Kita bahkan mengenal istilah Creative Industry, Creative Capitalism dst. Terlepas dr sisi buruk budaya yg begitu teknokratis, agaknya informasi, knowledge, net & web menjadi kata kunci zaman ini.
Masalah utamanya bukan pada sisi konvergensi, tapi kecenderungan oligopolistik para pemilik modal untuk memiliki banyak media. Kita mengenal konglomerasi media TransTV, Kompas, MediaGroup, ANTV, Jawa Pos dst. Oligopolistik hanyalah bentuk lain dari monopoli bahkan kediktatoran gaya baru. Apa yang disebut sebagai kebebasan pers akhirnya hanya merupakan semakin sempitnya pilihan-pilihan media. Masyarakat dg mudah digiring untuk menyetujui suatu opini tertentu yang dikehendaki para pemilik modal. Kasus Lapindo mungkin contoh paling miris ttg hal ini. Dari sebuah bencana hasil rekayasa manusia bisa dianggap sebagai bencana alam.
Di sisi ini, Citizen Journalism sebagai bagian dari budaya civil society dibutuhkan sebagai penyeimbang. Masalahnya memang, daya jangkau CJ tidak sejauh media konvensional dan konvergensinya. Akhirnya kita bicara soal LEGAL FORMAL : ATURAN. Tapi masalah tidak berhenti begitu saja.
Pertama, eksekutif dan legislatif amat lamban memahami urgensi aturan ini. Orang-orang dunia OpenSource amat merasakan hal ini. Pemerintah tidak satu suara bila bicara soal penggunaan OpenSourceSoftware bahkan untuk instansi-instansi negara saja. Sementara 4 menteri mengikrarkan OSS, SBY asyik bergandengan tangan dengan Bill Gates: datang ke Redmond (Microsoft HQ) dan Gates datang ke Istana.
Sementara legislatif kita asyik memainkan isu-isu yang lebih mendulang suara & headline koran. Hal-hal teknis semacam ini luput begitu saja. Kita memang tak punya STRATEGI KEBUDAYAAN. Menyebalkan !
Strategi kebudayaan, manipulusdek, manikebu, bloggersociety, web 5.0, independesi, akhirnya, tanggung jawab ilmuwan. Kemana perginya para intelektual kita saat ini?
Rumah kebebasan pers adalah di ranah kepentingan publik. Yang salah adalah kebebasan pers menjadi alasan untuk mengukuhkan posisi di pasar.
Konvergensi teknologi memang adalah keharusan, bahkan untuk media tradisional seperti koran sekalipun. Saya setuju ini. Tetapi, trend sudah menunjukkan kecenderungan negatif. Alasan ekonomis (eufemisme untuk kapitalis) dan politis akan memutasikan konvergensi teknologi menjadi konvergensi pesan. Dan itulah yang akan menjadi titik kritis dalam sejarah jurnalisme.
Para intelektual ke mana perginya? Sedang bergumul dengan realitas. :D
Semoga mereka membawa kemenangan bernama "idealisme tanpa kebutuhan untuk kompromi".
Berbicara tentang media memang seperti melihat seseorang dengan lingkaran suci di kepalanya, namun ternyata juga memiliki ekor Lucifer.
The hero as well as the villain.
Iya, salah satunya lagi patah hati tuh di blognya :P
Ah, ya ... salah seorang kaum intelek itu ya?
Hmmm ... :P
yayaya..
aku setuju itu: konvergensi teknologi akhirnya hanyalah konvergensi pesan. Pilihan-pilihan kita jd semakin sempit.
Mungkin ada baiknya aku bicara soal cara pandang ilmu marketing ttg pilihan-pilihan. Catet dulu, ilmu marketing itu amat manipulatif dan sedikit menakutkan krn ia dibentuk scr interdisipliner.
Misalnya nih, Mona ketemu 10 cowok charming..
Iya..iya.. deh,
Misalnya nih, Son ketemu 10 cewek charming. Dari 10 itu hanya 4 yg nyangkut di hati. Yg lain entah dimana nangkringnya. Yah, anggap saja yg 6 jd my sisters scr gw anak bungsu. Dari 4 itu hanya 1 yg bener2 bikin pusing, nyebelin tapi mengasyikkan.
Ilmu marketing mengatakan bahwa tidak mudah bagi seseorang untuk pindah menyukai sesuatu yg baru (dalam konteks ini, tentu produk). Ada cost-nya. Biaya. Tapi ilmu merketing cenderung mengatakan bahwa biaya itu lebih immateri ketimbang materi. Tu kan, manusia lebih sering bertindak irrasional dalam menentukan pilihan ketimbang rasional. Statement ini juga bisa ditemukan dalam Psikologi Komunikasi-nya Kang Jalal. Mother Teresa jg bilang begitu kaan..
===
Ketika kita dihadapkan dengan 10 pilihan media, mungkin hanya 1 - 2 yang akan kita baca. Sebabnya bisa tidak sepele (preferensi) dan sepele (waktu untuk membaca/mendengar). Masalah timbul bila 2 media yg kita pilih untuk dikonsumsi itu ternyata dimiliki oleh 1 konglomerat media. Akhirnya, kita mempercayai apa yg kita baca dari media itu sebagai satu-satunya kebenaran. Lebih parah lagi ternyata, di Indonesia ini pilihan media tidak sampai 10.
Masih mending aku kaaan. Punya 10 pilihan, tersaring jadi 4 dan sakit kepala gara-gara 1
:D
===
@hp : gw gak ngrasa intelektual tuh, apalagi hero. Gw cm ngrasa lu villain! Napa pula lu mo S2 bidang bisnis? Itu udah kavling gweeee :p Sana, blajar filsafat kek, sejarah kek, antropologi kek. Antropology is sexy, u know ! And, gw tau bahasa Inggris lu tu kayaknya aja bagus, padahal cuman otodidak. Otodidak itu not perfect, hp. Jangan cari beasiswa ke Amrik. Aussie aja, cari temen gw Donny Sofyan disana, di ANU. Lo boleh bdebat ama dia kalo sanggup. Dari tafsir sampe filsafat bakal keok luuu..
Yudi Latif aja bljar ke Aussie. Btw, rumornya YL bakal hadir di Silatnas kemaren. Nyatanya nggak. Sedih gw
bukannya himawan lagi patah hati jg? :p
oops, gak bermaksud tertawa di atas penderitaan orang lain loh :)
@Sonny
(1)
Bagus mana: "Ngerasa diri ga intelek, tapi dibilang intelek sama orang lain" atau "Ngerasa diri intelek, tapi ga dianggap intelek sama orang lain". Hahahahaha ...
(2)
Iya, bener tuh ... masalahnya adalah kalau kita menganggap yg kita baca itu adalah satu2nya kebenaran.
Masyarakat memang harus diarahkan untuk lebih melek media.
@Himawan
Alia emang gitu. :(
Huehehehee ...
Post a Comment