8.22.2007
Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
"... Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa."
Masih ingat dengan potongan lagu yang wajib dinyanyikan di peringatan hari Guru? Sampai sekarang pun, di benak saya masih tertanam pengakuan kalau seorang guru itu adalah pahlawan tanpa tanda jasa.
Walau demikian, saya tidak akan menutup mata dengan kenyataan-kenyataan yang mengecewakan dari sosok-sosok yang seyogianya menjadi suriteladan itu. Misalnya pelecehan seksual terhadap murid, penjualan jawaban ujian, dan yang menginspirasi tulisan ini: mogok mengajar karena bonus.
Pagi ini saya menonton berita yang menyatakan, berpuluh-puluh guru mogok mengajar karena bonus yang dijanjikan kepada mereka terlambat diberikan. Yap, yang mereka tuntut adalah bonus yang terlambat, bukan gaji yang tidak dibayarkan.
Para guru tersebut dijanjikan akan mendapat bonus 8x gaji + 70% gaji bila target angka kelulusan bisa tercapai. Dan memang tercapailah target itu.
Yang menjadi concern saya, para bapak/ibu guru - yang seharusnya terpuji itu - mogok mengajar di hari sekolah. Alhasil, semua murid-murid di sekolah tersebut - mulai SD sampai SMA - pun harus pulang. Ketika diwawancarai, seorang guru menyatakan, mereka tidak akan mengajar sampai bonus diberikan.
Wow! Saya ingin tertawa mendengarnya. Tepatnya, tertawa miris. Bukannya saya menyatakan kalau mereka tidak pantas mendapatkan bonus. Hey, they deserve that! Tetapi, sebagai pendidik yang harus ing ngarsa sung tuladha, bukankah mereka dapat menggunakan cara lain?
Oke-lah. Sesuai dengan voice over di berita tersebut, para guru mengatakan kalau mogok adalah cara terakhir yang mereka lakukan, karena cara damai ternyata tidak berhasil. But, hey! Di mana komitmen untuk mencerdaskan anak bangsa? Mari tertawa miris menanggapi kejadian ini!
Teringat lagu Oemar Bakri-nya Iwan Fals, guru pun mendapat perlakuan tidak adil. Tetapi, saya pikir, "perlakuan tidak adil" hanya pantas dilabelkan pada para guru yang benar-bernar berkomitmen pada pengabdian mereka, namun tidak mendapatkan apresiasi sepantasnya. Untuk para guru yang tega mogok kerja demi menuntut bonus - bukan gaji - yang dijanjikan, apakah predikat itu masih bisa disandingkan bersama mereka? Untuk para guru yang melihat muridnya sebagai objek seksual, apakah apresiasi itu masih perlu? Untuk para guru yang menjual jawaban ujian, apakah mereka berhak untuk disejajarkan dengan Oemar Bakri?
Hmmm ... menyebut mereka sebagai guru pun saya tak rela!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment