8.29.2007
Manusia Lelaki dan Manusia Perempuan
"Aku membesarkan dia seperti laki-laki .... Pada akhirnya, Shizuka, dia mati karena dia seorang perempuan."
- (Lian Hearn's Brilliance of the Moon) -
Muto Kenji bercerita kepada keponakannya, Shizuka, mengenai putrinya, Yuki, yang dipaksa menelan racun oleh keluarga Kikuta. Alasannya? Karena dia melahirkan seorang keturunan Kikuta dan dianggap tidak mampu menanamkan kebencian dan kekejaman pada diri bayi Kikuta tersebut.
Apa pandangan para feminis tentang ini? Bahwa perempuan selalu menjadi korban? Bahwa kaum perempuan harus melawan mainstream patriarkis? Bahwa perempuan jangan mau dimarjinalisasi lagi? Bahwa perempuan harus memperjuangkan eksistensinya?
Bagaimana perempuan dapat memperjuangkan eksistensinya? Apakah dengan cara merendahkan kaum lelaki sehingga kendali akhirnya berada di tangan pemilik gen XX?
Lepas dari masalah konteks dan dinamika aplikasi, - walaupun independensi ini akan ditentang oleh kaum kualitatif - bukankah ini akan hanya akan mengulang lakon yang sama, namun diperankan oleh pihak yang berbeda? Kita hanya akan kembali pada status quo yang, tentu saja, efek maskulinnya telah tergantikan oleh efek feminin.
Apa pun itu, pada dasarnya saya tidak setuju dengan radikalisme "rendahkan kaum pria bila Anda ingin diakui". Tindakan seperti itu tidak akan menyelesaikan masalah yang sudah berurat-berakar ini.
Lalu, bagaimana dengan opsi kesetaraan? Setuju. Tetapi, wahai perempuan, apakah Anda siap dengan segala risikonya?
Saya melihat konsep kesetaraan sebagai konsep yang tidak adil bagi kondisi biologis dan psikologis perempuan. Bila Anda ingin dianggap setara, maka cuti haid dan cuti hamil harusnya ditiadakan. Perempuan mendapatkan cuti itu karena mereka adalah perempuan. Bila Anda memang ingin dianggap setara, jangan mengambil keuntungan dari lelaki yang memberikan tempat duduknya kepada Anda, misalnya di bis, kereta, atau ruang tunggu. Bila Anda menuntut kesetaraan, jangan mengeluh bila lelaki yang sedang bersama Anda saat ini ternyata bukan penganut paham "lady's first".
Bila Anda memang penuntut kesetaraan, maka Anda harus menolak kesenangan yang Anda dapatkan karena keperempuanan Anda itu.
Lalu, saya ada di mana? Saya menyatakan perempuan harus diperlakukan dengan baik, bukan karena dia perempuan, tetapi karena dia adalah seorang manusia. Di atas segala hal, di atas segala status dan peran yang kita pegang, kita adalah manusia. Jangan pernah melupakan ini.
Saya coba ilustrasikan dengan percakapan berikut. Saya sengaja tidak mengidentifikasi jenis kelamin kedua tokoh berikut.
A: "Kasihan banget, Ibu itu disiksa sama suaminya."
B: "Memang .... Gue kasihan sama perempuan, selalu jadi korban."
A: "Lu kasihan sama dia, karna dia perempuan?"
B: "Iya. Kita hidup di masyarakat patriarkis begini. Lelaki akan jadi pemenang. Mungkin tidak secara hukum, tapi secara sosial akan demikian."
A: "Gw kasihan sama Ibu itu, bukan karna dia perempuan, tapi karna dia adalah manusia yang dirugikan oleh manusia lain. Hukum apa pun tidak akan mentoleransi hal itu.
Sekali lagi, di atas segala hal, kita adalah manusia. Kita tidak pernah bisa memilih menjadi "perempuan" atau "lelaki", namun kita memiliki pilihan untuk menjadi "manusia yang lebih baik".
Jadi, saya merasa iba kepada Yuki, bukan karena dia sebagai perempuan, tetapi karena sebagai manusia, dia harus menjadi korban untuk manusia lain. Yap, homo homini lupus. Manusia adalah serigala bagi manusia lain.
_____________________
Catatan: Saya menggunakan kata perempuan, yang kalau di-break akan menjadi per-empu-an (yang di-empu-kan). Saya tidak menggunakan kata wanita karena, seperti yang pernah saya dengar, identik dengan kata betina.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment