Ini kejadian di Sabtu lalu. Dimulai dengan adegan saya memasuki gerbong KRL (kereta rel listrik) kelas ekonomi di stasiun Juanda.
Penumpang di gerbong itu cukup padat, terlihat dari jumlah penumpang yang berdiri, bahkan agak berdesak-desakan. Tetapi ada satu bagian tempat duduk yang sama sekali sepi alias tidak ada penumpang yang berdiri menghadap tempat duduk itu. Memang ada yang berdiri di area itu, tetapi para penumpangnya lebih memilih untuk membelakangi siapa pun yang duduk di situ.
Karena penasaran sekaligus ingin membuat diri nyaman, saya berjalan ke arah area kosong itu. Mirisnya, saya kemudian mengerti alasan para penumpang menjauhi tempat itu.
Ada lima orang waria yang duduk di situ, masing-masing dengan pakaian mencolok, kosmetik yang bagus, dan peralatan mengamen. Tidak ada yang tertidur, pun mereka tidak membuka percakapan sendiri. Kelimanya mengamati isi kereta. "Apakah ini kali pertama mereka menaiki kereta, atau apakah mereka merasa diasingkan?" Pertanyaan itu berkelebat di kepala saya, walaupun saya masih sibuk dengan ponsel di tangan saya.
Beberapa saat setelah saya memasukkan ponsel ke dalam tas, seorang pedagang asongan lewat dan berkata ke arah kelima waria itu, "Eh, kasih duduk dong, tuh ibu-ibu. Elu-elu pada kan jantan!" Saya hendak protes karena disebut ibu-ibu, tetapi tertahan saat melihat perubahan di wajah mereka. Karena mereka disebut jantan?
"Duduk, Mba?" Waria yang memakai baju merah menawarkan untuk berbagi tempat duduk dengan saya.
"Ah, ga usah. Saya turun di UI, kok." Saya bingung, sebaiknya memakai sapaan Mas atau Mba.
"Itu mah jauh. Kita turun di Pasar Minggu." Ujar yang memakai baju warna hitam yang duduk di sebelah yang berbaju merah.
Saya pun memutuskan duduk di antara mereka berdua. Si berbaju merah pun mengajak saya bercanda, "Kan saya jadi ikut kelihatan cantik kalau Mba duduk di dekat saya." Itu jelas-jelas sebuah candaan dan basa-basi belaka.
"Saya mah, kalah jauh cantiknya sama Mba. Dandanan Mba bagus gini. Pakaiannya juga cantik." Itu adalah fakta. Itu pula alasan kenapa saya putuskan untuk menggunakan Mba.
"Ih, Mba, secantik apapun saya dandan, tetap kalah cantik sama yang asli." Mengapa kalimat ini menimbulkan simpati saya?
"Masa sih, Mba berpikiran begitu?"
"Ember." Dilengkapi dengan gerakan sedikit menepuk lengan kiri saya. ("Ember" adalah bahasa slang, singkatan dari "emang bener".)
Setelah hening sejenak, saya lalu bertanya ke yang berbaju merah, "Ini baru pada mau kerja atau udah pada kelar?"
"Baru keluar, Mba. Kita mau keliling Pasar Minggu." Diakhiri dengan sebuah senyuman manis.
Kereta berhenti di stasiun Manggarai. Seorang Ibu masuk dan berdiri di depan saya. Saya pun menawarkan tempat duduk saya kepada Ibu itu. Bukan karena saya adalah generasi muda yang baik hati, tetapi karena dada saya berdebar kencang ketika duduk di antara mereka.
Rasa insekuritas akibat pikiran yang sudah dirusak oleh prasangka negatif? Mungkin.
Mereka pun merasa tidak aman, sebenarnya. Pada saat berdiri menunggu kereta berhenti di Pasar Minggu, mereka saling berpegangan tangan seperti segerombolan anak TK yang hendak piknik. Apakah mereka merasa takut berada di antara komunitas yang menganggap mereka tidak normal?
Adalah sebuah kebiasaan bagi penumpang-naik untuk menerobos masuk ke dalam kereta, tidak mempersilakan para penumpang turun lebih dahulu. Pantas 'kan bila saya miris melihat para penumpang-naik membuka jalan lebar-lebar bagi kelima waria itu?
Kereta pun berjalan meninggalkan Stasiun Pasar Minggu. Saya masih berdiri. Kuping saya menangkap pembicaraan antara dua orang penumpang yang baru saja naik.
"Ih, banci tadi .... Seram banget gue ngeliatnya. Gue bahkan sampai mundur waktu liat mereka turun. Gue takut lihat bencong." Ujar salah seorang di antaranya.
Mereka memang menentang hakikat biologis mereka. Bisa jadi mereka beranggapan kalau mereka adalah perempuan yang terjebak dalam raga laki-laki. Tetapi apakah itu adalah alasan untuk merasa takut pada mereka? Apakah tepat untuk menempelkan kata menyeramkan pada diri mereka? Apakah kita harus menggunakan kata banci dan bencong? Ah, jadi teringat majas peyoratif dan amelioratif dari pelajaran Bahasa Indonesia di SLTP dulu.
Media memang memberitakan kriminalitas yang dilakukan oleh kaum queer (transeksual, transgender, gay, dan lesbian). Untuk kriminalitas yang sama, kenapa prasangka lebih negatif kepada pelaku queer daripada terhadap pelaku bukan queer?
Saya pernah menuliskan kalau kita tidak pernah bisa memilih menjadi perempuan atau laki-laki, tetapi kita bisa memilih untuk menjadi manusia yang lebih baik. Tetapi komunitas kita memang masih mengkategorikan manusia atas dua jenis saja, perempuan atau laki-laki. Tidak ada kelompok queer di dalam komunitas (yang kita sebut) normal ini.
Sayangnya, pertemuan dengan kelima orang itu belum cukup menjawab pertanyaan saya: Bagaimana bila saya berada dalam posisi mereka?
2 comments:
gw pernah bertahun2 yl se-KRL sama banci2. Wuih, cantik bgt ! Sumpeh. Coba kalo beneran
Overall, i miss querr in my mind map. Bukan apa2. Belum/lupa baca buku2 klasik ttg banci. Mereka kan bukan fenomena baru. Sudah ada sjk berabad2. That's why we need history :)
Iya, itu bukan fenomena baru. Sayangnya pemikiran masyarakat masih tetap sama.
Kalo udah nemu referensi historis ttg waria, please let me know, ya ... :D
Post a Comment