Ada tradisi mangandung dalam sub-etnis Batak Toba. Ini adalah meratapi jenazah seseorang sambil melantunkan syair atau kalimat curahan kesedihan hati. Bila "meratapi" diterjemahkan menjadi "mangandung", maka "ratapan" menjadi "andung-andung".
Saya ingat salah satu andung-andung Mama ketika Bapak saya meninggal di 26 April 1993. Mama, di antara deraian air matanya, menyebutkan kalau sampai kematiannya datang, Bapak tidak pernah mengatakan holong (sayang) kepada Mama.
Saya adalah seorang anak perempuan yang dibesarkan dengan keinginan untuk mendapatkan pria pejuang cinta seperti Bapak saya. Lepas dari kenyataan bahwa Bapak harus menyerah kepada kondisi alaminya sebagai seorang lelaki dan seorang Batak konservatif, semua orang di sekitar keluarga kami bisa melihat dengan jelas bagaimana besarnya rasa holong Bapak kepada Mama.
Ini hal yang tidak pernah saya bicarakan secara gamblang dengan Mama, tetapi saya tahu Mama pun meyakini hal yang sama. Itulah alasan kenapa beliau bertahan dalam tekanan tradisi yang harus kami hadapi. Keyakinan yang sama juga yang membuatnya tidak menikah sampai sekarang. Bapak sudah menetapkan standar yang terlalu tinggi dalam hidup Mama.
Ada yang menyebutkan, rasa sayang tak harus diucapkan dengan kata-kata karena perbuatan mampu menyampaikannya dengan lebih jujur. Tetapi, Mama saya tetap merasa ada yang kurang saat pengungkapan itu tak didapatkannya dan tak akan pernah. Rasa "ada yang kurang" itu bukan pada yang seharusnya mengucapkan, tetapi pada pihak yang ingin mendengarnya.
Sebuah contoh sempurna untuk "if tomorrow never comes."
2 comments:
perempuan memang begitu, selalu ingin mendengar kata sayang dan laki-laki kebanyakan tidak mau mengucapkannya berulang-ulang karena berpikir apa yg sudah dilakukannya adalah perwujudan sempurna rasa sayang itu....
Kompleksitas hubungan perempuan dan lelaki. :D
Post a Comment