8.21.2009

Folklor Menyikapi "Indonesia vs Malaysia"

Lagu "Rasa Sayange", batik, reog, dan sekarang Tari Pendet.

Saya tidak tahu pasti, apakah klaim ini milik siapa akan berhubungan dengan registrasi hak cipta nantinya. Walaupun saya memperkirakan kalau itu tidak menjadi hal besar karena registrasi hak cipta kategori seni haruslah mencantumkan siapa nama penciptanya. Apakah kita pernah tahu siapa pencipta karya-karya itu?

Tetapi, kali ini kita berhubungan dengan kepemilikan, bukan siapa penciptanya. Dalam kasus ini, dari sudut pandang kita sebagai orang Indonesia, pihak Malaysia-lah yang menjadi "pencuri".

Saya tidak akan membela Malaysia. Menyalahkan pemerintah Indonesia? Tulisan bernada seperti itu banyak beredar di internet. Tetapi, saya ingin melihat ini dari sudut pandang folklor. Mengapa? Karena saya pernah mengikuti kelas mata kuliah jurusan Antropologi itu ketika saya berkuliah dulu. Dan itulah yang membuat saya cenderung adem-ayem menghadapi berita-berita media massa mengenai topik ini.

Dalam studi folklor, lumrah bila beberapa daerah memiliki tarian, musik, lagu, legenda, mitos, lelucon, peribahasa, dll. yang mirip satu sama lain. Bahkan, kesamaan nama juga adalah bagian dari folklor! Tetapi setiap daerah akan menambahkan unsur-unsur baru ke dalam budaya folklor itu, tetapi tetap saja akan ada kemiripan dengan yang ada di daerah lain.

Manusia itu selalu berpindah tempat. Bersamanya, mereka membawa pengetahuan yang telah dipelajari di tempat sebelumnya kemudian menyebarkannya secara oral di tempat yang baru. Pengetahuan yang terkategorikan sebagai folklor adalah yang bersifat anonim alias kita tidak tahu siapa pencipta awalnya.

Di kemudian hari, akan ada proses pencatatan ulang folklor. Buku tarian, legenda, mitos, cerita rakyat, dll. itu tidak membuatnya kehilangan makna ke-folklor-annya karena penulisnya hanya berfungsi sebagai "pengumpul", bukan "pencipta". Pun, pengumpul tidak bisa mengklaim kalau itu adalah karya ciptanya.

Menyikapi "Indonesia vs Malaysia" ini, kita tidak mungkin meniadakan kemungkinan perpindahan tempat manusia-manusia sebelum kita. Jangan-jangan, Indonesia juga bukan tempat lahir folklor itu? Tak ada kepastian, kan?

Kita bisa bilang kalau punya mereka mirip dengan punya kita. Tapi apakah itu artinya mereka meniru? Tidak, karena dalam studi folklor, tidak ada kata meniru. Semuanya adalah pengetahuan bersama yang kemudian mengalami modifikasi di setiap daerah yang disinggahi oleh pengetahuan itu.

Ah, sebuah opini yang utopis.

________________________________


Fun fact:
Sumatra Utara punya cerita rakyat bernama "Simardan" dan ini mirip dengan kisah "Malin Kundang" yang berasal dari Sumatra Barat. Tidak percaya? Baca tentang Simardan di sini dan tentang Malin Kundang di sini, walaupun Anda pasti sudah familiar dengan kisah kedua itu. Nah, sebuah contoh folklor yang nyata, kan?

8 comments:

Himawan Pridityo said...

Masalah copyright lagi rupanya? Kenapa tidak dimasukkan dalan GPL (General Public License) saja macam Linux? Bukankah, kebudayaan itu milik peradaban manusia? Dengan memasukkannya ke dalam kategori free, berarti kita bisa berpartisipasi dalam pengembangannya bukan.

Andrey PhX said...

bingung gw... katanya serumpun.. koq doyan ribut ya?

anggun said...

hai iseng blogwalking hehe menarik karena saya juga menyukai antropologi, tapi antropologi haruslah dibarengi dengan studi historis dan sosiologi kalo nggak bisa timpang.

permasalahannya, walaupun Malaysia bilang masyarakat Jawa ada disana, tapi masyarakat Jawa yang ada secara historis tidak mengembangkan atau bahkan membawa budaya mereka ke sana. Reog memang benar-benar merupakan budaya baru akibat keinginan Malaysia menjadikan bagian dari budayanya. Tapi sayang sekali, sebenarnya kalau negara Malaysia yang agamanya kuat itu tahu, bahwa budaya reog juga mengandung nilai sejarah jawa memiliki kultur homoseksual, apa mungkin mereka akan menerima kenyataan budaya seperti itu dengan keagamisan mereka? sementara disana sikap homopobic masih kuat?

no 2. tentang pendet, ini juga merupakan hal yang aneh, karena kalau dirunut dalam sejarah, Malaysia tidak pernah mengalami persebaran agama Hindu kecuali dari India, yang jelas budayanya berbeda dengan Bali. Persebaran agama yang terjadi secara histori adalah agama Buddha akibat pengaruh Sriwijaya, dan agama Islam secara umum. Selain itu masyarakat Bali merupakan masyarakat plagmatis secara sifat sosiologi, jadi bukan tipe perantau seperti umumnya orang sumatra dan jawa (kecuali akibat transmigrasi dan urbanisasi), sangat aneh kalau tiba-tiba malaysia mengakui adanya persebaran tari pendet di negaranya apabila kita lihat dari penjelasan ini bukan?

anggun said...

no.3 Malaysia menanggapi dengan alasan serumpun, tidaklah salah. tapi kalau mereka memang serumpun melayu, maka budaya yang harusnya ditonjolkan bukankah lebih tepat apabila budaya melayu? bukan budaya jawa dan pendet? karena melayu itu banyak. ada astro melayu, neo melayu, ... bangsa melayu di malaysia berbeda dengan bangsa melayu yang menyebar di daerah batak, padang, jawa, bali. apabila mereka serumpun melayu, maka lebih cocok budayanya diambil dari daerah kepulauan di riau (saya lupa nama pulaunya) atau batam yang juga melayu. kita orang indonesia tidak boleh tidak paham akan hal ini karena ini sejarah bangsa. jangan sampai tertipu. maaf kalau ini menyinggung, tapi di buku antropologi dan sejarah, hal ini cukup jelas diterangkan kok.

no.4 mengenai folklor, sebagian besar kebudayaan yang berkembang di indonesia berasal dari budaya india dan cina dan sebagian dari Siam (Thailand) dan ada pula dari negroid di daerah timur. NAMUN, nenek moyang orang indonesia memiliki local genius sendiri sehingga kita mampu mengembangkan keahlian budaya dari kedua budaya tua itu menjadi budaya baru yang jauh berbeda. Ingat, JAUH BERBEDA. tidak serupa. makanya bisa disebut Kebudayaan Asli Indonesia.

no.5 pada website youtube yang menampilkan TV ad dari Discovery Channel yang bertajuk "Enigma Malaysia", seorang malaysia berkomentar kalau mereka tidak pernah mengklaim budaya indonesia sebagai budaya mereka, tapi mereka menghargai budaya yang ada di malaysia karena disana juga tinggal orang jawa. Kalau mereka tidak mengklaim dan tidak mengcopyright maka kita memang salah. tapi kalau ternyata mereka memang mengklaim dan alasannya karena ada orang jawa yang tinggal disana, sekali lagi aneh bukan? kalau begitu kenapa tidak mereka klaim steak dari Eropa? kenapa mereka tidak klaim agama Islam dari Arab? kenapa mereka tidak klaim naga China? padahal disana kebudayaan ini lebih banyak berkembang dan tki jawa pun tentu tidak seberapa persennya tinggal disana.

no.6 mengenai kapitalisasi copyright, saya sedih sekali karena sebagian besar orang indonesia menganggap remeh hal ini, bahkan para pemerintah, seniman dan profesional juga meremehkan hal ini. padahal coba, kalau nanti anak kita bilang, "bu, aku ingin les tari malaysia" padahal yang dia tarikan adalah tari pendet, apa tidak sakit hati? kalau nanti pengrajin gak lagi membatik, kebaya dianggap punya malaysia, apa tidak sedih?

yah, sori yah saya kayak bikin satu entri blog lagi disini, soalnya saya sedih baca tulisan ini. saya sih gak suka juga dengan orang yang "menyerang" malaysia dengan caci maki dan cara lain yang gak smart, tapi kita juga gak boleh bodoh dan lengah. sudah bukan rahasia umum kita sedang "dipepet" oleh negara-negara tetangga, dan percayalah mereka akan melakukan segala cara untuk mendapatkan kita yang harusnya kaya raya ini.

oh ya, saya dapat link ini dari niken. dia tau email saya kok (kalo gak salah hehe), siapa tau kita bisa diskusi lebih lanjut tentang hal ini kalau berminat atau punya tanggapan :) terimakasih.

nocturnal-Mona said...

@ Himawan
Bukannya GPL itu buat software ya? Bisa utk karya budaya juga?

@ Andrey
Hahahahaa ....

@ Anggun
Welcome. :)
Mudah2an Anggun baca respon ini.

Thanks untuk respon mendalamnya. I enjoy and teach myself reading them. :)

Kok jadi sedih baca tulisan saya? Karena saya tidak menyalahkan Malaysia pun tidak membela Indonesia secara gamblang? Saya tdk mengangkat angle itu karena sudah banyak yg demikian.In the end, semuanya kembali ke pemerintah, kan?
Tapi kenapa saya merasa diserang dengan kata "bodoh dan lengah", ya? Hahahaa ....

Nevertheless, saya kasih standing ovation untuk respon mendalam Anggun. :)

anggun said...

eh saya kesini lagi deh .. habis penasaran di balas tidak komennya hehehe..

iya, sedihnya teh karena masalah budaya gak bisa dilihat dalam satu sisi antropologi aja, dan alasan folklor saja karena kasus antropologi kan banyak. ada banyak yang harus dilihat dalam budaya, kalo antropologi cukup maka gak akan ada budayawan xD

trus yang "bodoh dan lengah" waduh iya, saya minta maaf.. kayaknya saya terbawa panas dengan sikap banyak orang yang tidak ambil pusing dan apatis soal ini, biarpun saya juga gak suka dengan yang ekstrimis tapi dangkal yang saling caci maki itu.. tapi tanpa sadar saya kayanya malah jadi salah satu diantaranya hiks hiks. kalau anda tidak merasa bodoh dan lengah, mohon tidaklah merasa diserang hehe maaf sekali lagi, saya benar-benar tidak bermaksud seperti itu xP

thanks, saya juga bukan ahlinya. ini juga studi hasil penasaran kok hehehe.. ngomong-ngomong, senang ada yang bahas dari sisi antropologi. satu dari seribu blog indonesia kayaknya yang bahas seperti ini x)

oia, salam kenal hehehehe.. *lupa* :D

nocturnal-Mona said...

@ Anggun

Eh, iya, salam kenal juga. :D

Anggun jelas lebih ahli daripada saya. Dan lebih niat, sampe bikin riset sendiri. :D

Iya, ini jadi masukan buat saya. Nanti kalau mau nulis, harus liat dari berbagai sisi. Thanks ya ...

Dan tetap berkunjung ya ... :)

Himawan Pridityo said...

GPL sebenarnya bisa jadi case study untuk ranah budaya yg makin lama makin homogen. Ia merupakan perlawanan terhadap kapitalisme dan konsumerisme yg akut, sedikit2 lisensi, hak cipta, mana bisa budaya berkembang jika begitu.

Budaya dalam titik tertentu bersifat cair dan terbuka, ia milik siapapun yg concern kepadanya. Mereka yg mengembangkan dan membantu sebuah produk budaya, sejatinyalah bagian dari budaya tersebut. Bukan mereka yg hanya mengambil keuntungan finansial n mengeksploitasinya.