Saya tertawa sewaktu melihat tokoh Emon di film Catatan si Boy. Saya tertawa ketika bapak kos saya menirukan cara berjalan seseorang yang pincang. Saya tertawa saat teman-teman saya menceritakan lelucon yang berhubungan dengan suku tertentu.
Manusia hidup dalam stereotip. Berbagai pengalaman di masa lalu turut membentuk cara kita memandang dan menilai orang-orang yang kita temui di masa sekarang. Berbagai kisah yang kita baca dan dengar juga turut berkontribusi pada stereotip yang tertanam di pikiran kita. Yang salah adalah ketika stereotip membuat kita lupa bahwa setiap individu itu unik. Salah ketika kita menganggap ada satu sifat yang bisa digeneralisasi pada semua anggota komunitas tertentu.
Saya adalah seorang pemarah dan saya adalah seorang Batak. Anda berstereotip saat Anda kemudian menggeneralisasi kalau semua orang Batak itu pemarah karena Anda pernah bersinggungan dengan kemarahan saya.
Memang, stereotip identik dengan negativisme. Karena itulah stereotip menjadi racun saat dia berkembang menjadi prasangka.
Anda mungkin pernah mendengar lelucon ini.
"Bagaimana cara menghitung populasi orang Batak di Jakarta ini? Gampang, hitung aja jumlah semua metromini, lalu dikalikan tiga. Tiga itu berarti supir, kondektur, dan seorang copet."
Stereotip menjadi prasangka saat, misalnya, Anda merasa takut duduk di sebelah orang yang fitur wajahnya seperti seorang Batak. Anda takut karena menyangka kalau dia adalah seorang copet.
Stereotip kerap muncul di media. Bahkan, media menjadi agen yang mempertahankan keberadaan stereotip di masyarakat. Stereotip telah menjadi karakter klise. Seorang gemuk adalah seorang badut di kalangan teman-temannya. Perempuan cantik yang sangat peduli pada penampilan adalah seorang yang tidak "berotak". Seorang lelaki feminin adalah seorang gay. Seseorang bertato adalah pelaku kejahatan. Seorang perempuan yang baik adalah yang terlihat feminin, sementara yang tomboy itu tidak menghargai hakikatnya sebagai perempuan.
Belum lagi kalau sudah bersinggungan dengan topik sensitif, misalnya agama.
Tetapi, tak pantas kalau membicarakan stereotip hanya dari sisi negatifnya saja. Bisa jadi di masa lalu kita punya kesan positif tentang seseorang. Apalagi kalau kesan itu juga kita dapatkan dari orang yang berbeda. Misalnya, seorang Tionghoa adalah pekerja keras, seorang Batak berjiwa pemimpin, dan seorang Padang adalah pedagang yang sukses.
Stereotip positif jelas tidak akan membuat kita berprasangka. Stereotip negatif pun tidak bisa dibilang salah seratus persen bila hanya berperan sebagai referensi tambahan. Salah ketika telah menjadi prasangka. Bukankah sejarah telah membuktikan kalau prasangka bermanifestasi ke dalam banyak hal negatif, seperti homophobia, pembersihan etnik, rasisme, pogrom, dan genosida?
Sayang sekali kalau otak yang berharga ini diracuni oleh stereotip.
Don't judge it by the color, confuse it for another
You might regret what you let slip away
(Jason Mraz - A Geek in the Pink)
2 comments:
Stereotip, entah itu positif atau negatif adalah bahan mentah dari prasangka. Dan kalau mau ditelusuri, asal muasal stereotip adalah gosip. Kenapa? Karena di sanalah awal terjadinya konsensus. Kebetulan stereotip ini sendiri merupakan konsensus umum bukan penilaian individual. Jadi, si Mraz ini kayaknya ingin memberikan warna dalam penafsiran individu bukan publik. Kecuali si individu tadi kemudian menyebarkan penafsirannya yang lalu diadopsi oleh seluruh anggota komunitas lewat forumforum macam gosip tadi.
Sayang sekali bukan, ternyata kebebasan individu justru berperan dalam pembatasan individu. Dan sayang juga, karena kita adalah makhluk sosial, kadangkadang kita membutuhkan stereotip tadi. Entah sebagai lelucon entah juga sebagai kompas petunjuk, meski kita tahu kompas itu tidak sepenuhnya valid atau menunjuk ke arah yang seharusnya. Dan sayangnya, ternyata kita malah membutuhkannya.
Gimana, mau membuat stereotip yang benar, menjauhinya, atau malah bermasalah dengan proses verivikasi?
:D
Dipikir-pikir, stereotip positif memang bisa jadi buruk kalau jadi mendiskreditkan komunitas di luar yang distereotipkan itu.
Stereotip difungsikan sebagai kompas? Hmm ... satu pemikiran baru tuh buat gw. :D
Saya pilih verifikasi. :D
Stereotip jadi referensi, tapi kita harus liat juga individunya. Gimana pun, setiap individu itu kan unik. :)
Post a Comment