Bukan, bukan tentang seorang marjinal yang berhasil mendapatkan dan mempertahankan spotlight. Juga bukan versi lain cerita Cinderella, apalagi tentang seorang filantropis.
Ini tentang Dedy Mizwar dan banyak nama lain.
Alia mengirimkan link ini dan membuat saya teringat tentang kampanye "Oprah for President - 2008".
Michael Moore adalah seorang yang cukup aktif dalam kampanye tersebut. Mengingat bahwa Moore kerap mengkritik pemerintahan negaranya sendiri, maka dukungannya terhadap Oprah hendaknya tidak dianggap sepele.
Siapa tak kenal Oprah? Dibantu oleh kekuatan media, masyarakat dunia mengenal Oprah sebagai seorang publik figur yang kerap mengangkat isu ekopolsosbudhankam. Bukan hanya berbicara, Oprah juga memberikan solusi dan bantuan, tentu saja dibantu oleh para stafnya.
Bukankah gambaran yang sama bisa kita lekatkan pada Dedy Mizwar?
Melalui beberapa buah karyanya, beliau mengkritik karakter bangsa ini. Beliau juga bukan seorang yang rajin nampang di infotainment. Singkat kata, beliau adalah seorang yang patut diteladani.
Saat partai-partai besar hanya membawa nama-nama besar pula, partai-partai kecil mencoba untuk antikonformis. Dedy Mizwar adalah seorang yang mampu menjadi daya jual mereka.
Karena Dedy Mizwar telah berkarya tanpa banyak omong.
Saya tidak merendahkan Dedy Mizwar. Bagi saya, beliau adalah salah satu mercusuar di kegelapan karakter dan orisinalitas bangsa ini.
Tetapi, apakah semua bisa menjadi Ronald Reagan? Seorang dari dunia showbiz, bahkan dianggap menjadi presiden terbaik yang pernah dimiliki oleh negaranya?
Maaf, kalau saya terkesan meragukan beliau, walau saya tahu kalau yang beliau tawarkan lebih dari popularitas semata.
Saya hanya takut, cahaya mercusuar itu akan dikalahkan oleh gemilang dan gelimang kekuasaan dan politik negara ini.
2.24.2009
2.20.2009
Stereotip
Dalam suasana bercanda, stereotip mungkin menyenangkan. Bukankah candaan bangsa ini memang berkisar di cela-celaan fisik dan etnis?
Saya tertawa sewaktu melihat tokoh Emon di film Catatan si Boy. Saya tertawa ketika bapak kos saya menirukan cara berjalan seseorang yang pincang. Saya tertawa saat teman-teman saya menceritakan lelucon yang berhubungan dengan suku tertentu.
Manusia hidup dalam stereotip. Berbagai pengalaman di masa lalu turut membentuk cara kita memandang dan menilai orang-orang yang kita temui di masa sekarang. Berbagai kisah yang kita baca dan dengar juga turut berkontribusi pada stereotip yang tertanam di pikiran kita. Yang salah adalah ketika stereotip membuat kita lupa bahwa setiap individu itu unik. Salah ketika kita menganggap ada satu sifat yang bisa digeneralisasi pada semua anggota komunitas tertentu.
Saya adalah seorang pemarah dan saya adalah seorang Batak. Anda berstereotip saat Anda kemudian menggeneralisasi kalau semua orang Batak itu pemarah karena Anda pernah bersinggungan dengan kemarahan saya.
Memang, stereotip identik dengan negativisme. Karena itulah stereotip menjadi racun saat dia berkembang menjadi prasangka.
Anda mungkin pernah mendengar lelucon ini.
Stereotip menjadi prasangka saat, misalnya, Anda merasa takut duduk di sebelah orang yang fitur wajahnya seperti seorang Batak. Anda takut karena menyangka kalau dia adalah seorang copet.
Stereotip kerap muncul di media. Bahkan, media menjadi agen yang mempertahankan keberadaan stereotip di masyarakat. Stereotip telah menjadi karakter klise. Seorang gemuk adalah seorang badut di kalangan teman-temannya. Perempuan cantik yang sangat peduli pada penampilan adalah seorang yang tidak "berotak". Seorang lelaki feminin adalah seorang gay. Seseorang bertato adalah pelaku kejahatan. Seorang perempuan yang baik adalah yang terlihat feminin, sementara yang tomboy itu tidak menghargai hakikatnya sebagai perempuan.
Belum lagi kalau sudah bersinggungan dengan topik sensitif, misalnya agama.
Tetapi, tak pantas kalau membicarakan stereotip hanya dari sisi negatifnya saja. Bisa jadi di masa lalu kita punya kesan positif tentang seseorang. Apalagi kalau kesan itu juga kita dapatkan dari orang yang berbeda. Misalnya, seorang Tionghoa adalah pekerja keras, seorang Batak berjiwa pemimpin, dan seorang Padang adalah pedagang yang sukses.
Stereotip positif jelas tidak akan membuat kita berprasangka. Stereotip negatif pun tidak bisa dibilang salah seratus persen bila hanya berperan sebagai referensi tambahan. Salah ketika telah menjadi prasangka. Bukankah sejarah telah membuktikan kalau prasangka bermanifestasi ke dalam banyak hal negatif, seperti homophobia, pembersihan etnik, rasisme, pogrom, dan genosida?
Sayang sekali kalau otak yang berharga ini diracuni oleh stereotip.
Saya tertawa sewaktu melihat tokoh Emon di film Catatan si Boy. Saya tertawa ketika bapak kos saya menirukan cara berjalan seseorang yang pincang. Saya tertawa saat teman-teman saya menceritakan lelucon yang berhubungan dengan suku tertentu.
Manusia hidup dalam stereotip. Berbagai pengalaman di masa lalu turut membentuk cara kita memandang dan menilai orang-orang yang kita temui di masa sekarang. Berbagai kisah yang kita baca dan dengar juga turut berkontribusi pada stereotip yang tertanam di pikiran kita. Yang salah adalah ketika stereotip membuat kita lupa bahwa setiap individu itu unik. Salah ketika kita menganggap ada satu sifat yang bisa digeneralisasi pada semua anggota komunitas tertentu.
Saya adalah seorang pemarah dan saya adalah seorang Batak. Anda berstereotip saat Anda kemudian menggeneralisasi kalau semua orang Batak itu pemarah karena Anda pernah bersinggungan dengan kemarahan saya.
Memang, stereotip identik dengan negativisme. Karena itulah stereotip menjadi racun saat dia berkembang menjadi prasangka.
Anda mungkin pernah mendengar lelucon ini.
"Bagaimana cara menghitung populasi orang Batak di Jakarta ini? Gampang, hitung aja jumlah semua metromini, lalu dikalikan tiga. Tiga itu berarti supir, kondektur, dan seorang copet."
Stereotip menjadi prasangka saat, misalnya, Anda merasa takut duduk di sebelah orang yang fitur wajahnya seperti seorang Batak. Anda takut karena menyangka kalau dia adalah seorang copet.
Stereotip kerap muncul di media. Bahkan, media menjadi agen yang mempertahankan keberadaan stereotip di masyarakat. Stereotip telah menjadi karakter klise. Seorang gemuk adalah seorang badut di kalangan teman-temannya. Perempuan cantik yang sangat peduli pada penampilan adalah seorang yang tidak "berotak". Seorang lelaki feminin adalah seorang gay. Seseorang bertato adalah pelaku kejahatan. Seorang perempuan yang baik adalah yang terlihat feminin, sementara yang tomboy itu tidak menghargai hakikatnya sebagai perempuan.
Belum lagi kalau sudah bersinggungan dengan topik sensitif, misalnya agama.
Tetapi, tak pantas kalau membicarakan stereotip hanya dari sisi negatifnya saja. Bisa jadi di masa lalu kita punya kesan positif tentang seseorang. Apalagi kalau kesan itu juga kita dapatkan dari orang yang berbeda. Misalnya, seorang Tionghoa adalah pekerja keras, seorang Batak berjiwa pemimpin, dan seorang Padang adalah pedagang yang sukses.
Stereotip positif jelas tidak akan membuat kita berprasangka. Stereotip negatif pun tidak bisa dibilang salah seratus persen bila hanya berperan sebagai referensi tambahan. Salah ketika telah menjadi prasangka. Bukankah sejarah telah membuktikan kalau prasangka bermanifestasi ke dalam banyak hal negatif, seperti homophobia, pembersihan etnik, rasisme, pogrom, dan genosida?
Sayang sekali kalau otak yang berharga ini diracuni oleh stereotip.
Don't judge it by the color, confuse it for another
You might regret what you let slip away
(Jason Mraz - A Geek in the Pink)
2.10.2009
Jason Mraz: "Seeds Sewn"
Subscribe to:
Posts (Atom)